Willem Wandik S.Sos (Ketum DPP GAMKI) – Hut Injil masuk Tanah Papua yang diperangati di Tanah Papua berdasarkan SK Gubernur Nomor 140/2008, tidak hanya menjadi acara seremonial belaka, merayakan masuknya injil sebatas rutinitas simbolis “ibadah ritual, acara makan bersama, aktivitas kumpul bersama, perayaan di instansi pemerintah, rumah ibadah, dan lingkungan masyarakat”, tetapi jauh lebih dari … Baca lebih lanjut
Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menigkatkan Angka Kemiskinan
Pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dari Pertalite, Solar, dan Pertamax. Harga terbaru BBM bersubsidi dan non-subsidi itu mulai berlaku pada Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30 dengan rincian kenaikan BBM bersubsidi Pertalite dari Rp 7.650 per liter jadi Rp 10.000 ribu per liter dan Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter jadi Rp … Baca lebih lanjut
Tanah Papua Belum Siap, Jangan Paksakan Pembentukan DOB

Terdapat beberapa alasan mengapa Pembentukan DOB di Tanah Papua menjadi 3 provinsi saat ini tidak tepat “Prematur dan cenderung dipaksakan” dan bertentangan dengan realitas
aspirasi rakyat di Tanah Papua:
Pertama:
Tanah Papua Menghadapi Isu Sentralisasi Pemerintahan “kendali pusat” yang kuat atas pengelolaan sumber daya keuangan dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam status sebagai daerah khusus dengan jaminan UU otsus (Hak yang diperoleh dengan pengorbanan darah generasi Tanah Papua), bukan hasil dari pemberian gratis rezim pusat.. Saat ini tampak pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua, menjadi rebutan kepentingan konsensi perusahaan nasional dan multinasional, dengan jaminan penempatan Pasukan Militer untuk menjamin keamanan investasi.. Padahal diketahui oleh mereka, bahwa hubungan OAP terhadap tanah dan hutan, menjadi satu kesatuan tatanan masyarakat adat, dengan sistem pengelolaan lahan, tanah dan hutan yang di lakukan secara bersama
sama (komunal), bukan melalui pengelolaan investasi bermodel monopolistik perusahaan nasional.. pada akhirnya, benturan “kultural” dan ambisi invasi monopolistik untuk menguasai resources di Tanah Papua, menghasilkan tragedi dan kekerasan bersenjata, yang sayangnya juga di sponsori oleh pasukan militer Indonesia dengan dalih menjaga dan merawat investasi.
Saat ini dengan kendali pemerintahan otonomi khusus yang masih berada di wilayah Jayapura (dengan status Provinsi Papua), kesewenang wenangan menetapkan wilayah operasi militer khusus, Daerah operasi militer (DOM), secara nyata di pertontonkan oleh rezim pusat, dengan tidak menghargai tatanan pemerintahan yang sah di Tanah Papua (keberadaan negara di daerah, yang di dukung oleh rakyat sebagai hasil dari pemilu daerah yang sah pula)..
Tanpa mendengarkan aspirasi rakyat di Tanah Papua, untuk menyelesaikan terlebih dahulu akar masalah konflik “intervensi militer yang dibungkus kepentingan monopoli sumber daya alam, praktek neo-kolonoialisme 4.0 dengan intervensi ijin ijin monopolistik ala Jakarta yang diberikan kepada Korporasi Nasional dengan beking para penguasa – elit politik”, pemerintah pusat mendorong gerakan untuk memutuskan, memisahkan, bangsa Ras Melanesia, menjadi wilayah wilayah ala karesidenan
kecil “mirip seperti pemisahan Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta oleh belanda” untuk melemahkan perjuangan rakyat Ras Melanesia Tanah Papua, melalui keputusan Sentralistik Pemekaran Provinsi Papua, dan dengan tujuan memudahkan jalan, bagi bagi jatah kaplingan lahan tambang, perkebunan, dan lahan olahan kayu hutan tropis terbesar di Tanah Papua..
Rakyat di Tanah Papua, sejatinya tidak membutuhkan pemekaran Provinsi Papua, melainkan membutuhkan perlindungan terhadap keberlangsungan wilayah wilayah adat (unity, persatuan, kearifan lokal, hidup bersahaja, terlepas dari rasa takut, tidak di bunuh, dapat melakukan pelayanan gereja secara damai dan aman) yang tidak dikooptasi untuk sekedar melayani kepentingan invetasi dan implikasi militeristik yang ikut serta di dalamnya.
Kedua:
Tanah Papua menghadapi revisi UU otsus Papua dengan niat Pemerintah Pusat yang setengah hati (banyak aspirasi yang tidak terakomodir dalam revisi Otsus)
Seharusnya Pemerintah Pusat berkaca terlebih dahulu, melakukan introspeksi kedalam, dengan banyaknya penolakan opsi pemekaran Provinsi
Papua, yang di dukung oleh elemen masyarakat asli Papua secara luas, dimana rakyat yang menolak itu bukan partisan dari dukungan politik siapapun.. Mereka bersuara dari nurani mereka sebagai masyarakat asli Papua..
Terdapat pengalaman yang kurang mengenakkan, bahkan menjadi catatan hitam bagi orang asli Papua, dimana paket “janji revisi Otsus Papua” yang katanya menjadi solusi bagi konflik berkepanjangan di Tanah Papua, pada faktanya justru menjadi ajang bagi pemerintah pusat, untuk mengurangi kewenangan otsus, menjarah kembali hak hak dan kewenangan Pemerintahan Daerah di Tanah Papua, dikembalikan ke Pemerintah Pusat, dengan kendali otoritas penuh, dan yang dibungkus dengan ambisi legalisasi penguasaan sumber daya alam di Tanah Papua..
Kami tentunya banyak belajar dari sikap “hipokrit pusat” di masa lalu, dan tidak ingin terjebak pada janji janji manis, yang justru melemahkan posisi Masyarakat Asli Papua dalam pendekatan legalitas UU..
Kami hanya ingin mengingatkan kepada Pemerintah Pusat, bahwa sikap inkonsistensi para elit dan wacana yang terus mempertontonkan sikap
munafik, kebohongan, akan melahirkan perlawanan secara luas di masyarakat asli Papua..
Jika pusat tidak bisa membantu satu inci pun masalah di Tanah Papua, kami menghimbau jangan membuang satu inci kotoran sejarah Pemekaran yang kami tidak butuhkan di Tanah Papua, dan konsep pemekaran itu, hanya akan menjadi sampah kotoran pikiran dan kepentingan para elit pusat, yang sejatinya akan kami lawan dengan cara yang menyakitkan.. Wa Wa
Ketiga:
Belum tuntasnya konflik bersenjata dan implikasi pelanggaran HAM yang terus menjadi beban sejarah di Tanah Papua
Pertumpahan darah di Tanah Papua itu bukanlah mitos karya fiksi seperti yang tampil dilayar layar TV nasional.. melainkan realitas “kepedihan, kepahitan, kesakitan, kehilangan, yang dirasakan oleh orang asli Papua, ras melanesia” dalam kesehariannya (dalam kurun waktu yang tidak bisa diprediksi, bisa berlangsung 10 tahun, bisa berlangsung 20 tahun, atau bahkan akan menjadi konflik abadi).. Itu bukan keadaan candaan yang bisa hanya diselesaikan oleh “omongan niat baik semata”, apalagi Elit Pusat makin memperuncing masalah, seperti menyiramkan Bensin dalam Api, dengan mengatur opsi Pemekaran di Provinsi
Papua.. Kami perlu sekali lagi mengingatkan kepada Suku Suku lain yang ada di Republik Indonesia ini, bahwa Orang Asli Papua yang merupakan keturunan Ras melanesia itu, memiliki prinsip hidup Komunal “hidup bersama”, bukan hidup individualistik “memisahkan diri secara sosial dari kelompok masyarakat lainnya”..
Mendorong pemekaran Provinsi Papua ditengah pertumpahan darah di Masyarakat Komunal Tanah Papua itu merupakan penghinaan kepada eksistensi masyarakat komunal Tanah Papua, yang memiliki ikatan hidup bersama sebagai satu kesatuan masyarakat adat.. Pada gilirannya, akan mendorong konflik sektarian, memprovokasi perasaan tidak suka kepada suku suku komunal lainnya, karena perbedaan wilayah administrasi Pemerintahan.. Sampai kapan, Pemerintah Pusat, selalu salah mendiagnosis kebutuhan rakyatnya, dimana ada peperangan di wilayah adat masyarakat komunal Tanah Papua yang seharusnya dituntaskan terlebih dahulu, dan pada saat yang bersamaan, justru elit nasional sibuk mengurus pemekaran dan persiapan ijin ijin konsesi yang siap di tandatangani sebagai imbalan dukungan pemekaran.. itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa kami maafkan.. Wa Wa
Keempat:
Masyarakat asli Papua memandang pemekaran sebagai politik adu domba dan pemisahan “elemen sosio kultural historis bangsa ras melanesia” Tanah Papua sebagai satu kesatuan historis dan filosofis hidup orang ras melanesia (Bangsa komunal, bukan bangsa individualistik)
Dapat diterangkan bahwa Tanah Papua dan rakyatnya “the people” adalah satu kesatuan “tubuh”, pikiran dan jiwa, sekalipun terdiri dari ratusan suku suku komunal, makna “bhineka tunggal ika” yang sering di gunakan sebagai doktrin persatuan bernegara di republik ini, sejatinya telah lama mengakar dan di praktekkan dalam kehidupan sosial rakyat di Tanah Papua yang menggambarkan satu identitas rakyat dan bangsa Papua itu sendiri..
Sekalipun terjadi perang antar suku di Tanah Papua, itu merupakan ekspresi kebudayaan “tatanan hukum masyarakat adat” untuk menyelesaikan perselisihan di antara ratusan suku suku komunal yang mendiami Tanah Papua.. Sekalipun dalam berperang, adat dan tradisi tidak bisa dipisahkan dari cara menyelesaikan perselisihan dan bahkan selalu melibatkan anggota komunitas masyarakat yang lebih besar (tidak diputuskan secara individualistik)..
Baik dalam hubungan sosial yang damai (seperti pernikahan, mendirikan rumah, membuka kebun, mengurus orang sakit), maupun dalam hal penyelesaian konflik melalui peperangan adat, semuanya dilakukan berdasarkan keputusan komunal “rakyat bersama sama pemimpin adat/kepala suku” untuk memutuskan dan menjalankan keputusan tersebut secara bersama sama..
Ketika, elit nasional mendorong gerakan pemekaran, melalui “otoritas sepihak pusat” tanpa meminta persetujuan dan pertimbangan masyarakat komunal yang sejatinya memiliki hak suara dan bahkan sebagai pemilik saham atas setiap lembah, gunung, hutan, pesisir pantai, maka, gerakan pemekaran tersebut merupakan “ide/gagasan” yang tercela dan tidak akan mendapatkan legitimasi dukungan dari rakyat di Tanah Papua..
Bahkan agenda pemekaran tersebut, dapat dimaknai sebagai “agenda pemecah belah, agenda pencetus permusuhan diantara masyarakat komunal” yang akan memperkeruh situasi kedamaian di Tanah Papua..
Jika sebelumnya peperangan hanya terjadi pada kelompok yang bekerja untuk gerakan politik
pemisahan negara melawan kekuasaan vertikal pemerintah, maka dengan lahirnya “upaya pecah belah yang dimaknai sebagai agenda otoritatif pemekaran ala pusat”, maka konflik yang akan berkembang dimasa masa mendatang akan berubah menjadi “katastrofi” konflik komunal yang justru akan menghancurkan sendi sendi kehidupan masyarakat adat di Tanah Papua..
Jika pilar sosial dan masyarakat adat terpecah belah dalam konflik horizontal, maka untuk tujuan apa masa depan pembangunan dilakukan di Tanah Papua? Untuk apa otsus di revisi jika pada akhirnya tatanan sosial masyarakat adat justru runtuh dan terjebak dalam konflik? Ataukah kondisi demikian diharapkan oleh para pendesain RUU pemekaran, agar Tanah Papua akan lebih mudah di kontrol dan dikendalikan.. Jika itu yang menjadi tujuannya, maka “laknat Tuhan lah” yang akan menimpa para perancang makar dan kerusakan di Tanah Papua.. Dan dengan segenap hati dan keyakinan, kami menolak untuk menerima takdir semacam itu.. Karena Rakyat dan bangsa Papua, merupakan bangsa pejuang, yang tidak akan tunduk pada kehendak luar yang ingin menghancurkan masa depan generasi di Tanah Papua..
Wa Wa Matur Nuwun Horas..
Jalur Lintas Pantai Selatan Jawa Tidak Kunjung Tuntas

Jalur lintas pantai selatan pulau jawa sepanjang 1.604 km membentang dari provinsi banten hingga jawa timur tak kunjung selesai padahal akses jalan ini sangat penting bukan hanya sekedar membuka akses transportasi akan tetapi memiliki dampak ekonomi yang sangat signifikan sehingga dapat mengurangi kesenjangan dengan wilayah pantai utara (Pantura) jawa yang potensi ekonominya lebih maju. Masalah utama terhambatnya proyek pengerjaan jalan pantai selatan selama ini adalah masalah pendanaan namun melalui program Regional Road Development Project (RRDP) yang didanai oleh Islamic Development Bank (IDB) dengan masa pengerjaannya Agustus 2019-Februari 2023 jalur pantai selatan diharapkan dapat di selesaikan dengan tepat waktu sehingga progres pertumbuhan ekonomi bisa lebih meningkat, mengingat saat ini kita masih merasakan dampak pandemi covid 19 yang merambat ke semua sektor termasuk ekonomi oleh karenanya pemerintah harus segera membuat kebijakan yang menstimulus pertumbuhan ekonomi yang salah satunya yaitu mempercepat progres penyelesaian proyek jalan pantai selatan ini.
Saat ini tengah dilakukan peningkatan kualitas layanan Jalur Pansela Jawa sepanjang 99,6 km yang terdiri dari 9 ruas/seksi yaitu ruas/seksi 1 dan 2 di wilayah Jawa Tengah (Jateng) sepanjang 10,65 Km dan seksi 3, 4, 5 di wilayah D.I Yogyakarta sepanjang 17,32 Km dan seksi 6, 7, 8, 9 di wilayah Jawa Timur (Jatim) sepanjang 71,69 Km. tentu banyak tantangan teknis yang dihadapi selama proses pengerjaan jalan pansela jawa ini di antaranya kondisi topografi seperti pengunungan, bebatuan, sungai, dan kondisi lainnya yang membutuhkan pengerjaan khusus tanpa merusak ekosistem sekitar proyek tersebut. Oleh karena itu sangat perlu untuk memanfaatkan teknologi agar mempercepat proses pengerjaan jalan lintas pantai selatan tersebut.
Sistem Proporsional Tertutup | Kemunduran Demokrasi di Indonesia
Pasca reformasi 1998 Negara Indonesia telah memasuki sistem demokrasi terbuka yang dimana rakyat diberi mandat untuk menentukan dan memilih pemimpin yang di kehendaki. Oleh karena itu untuk mengakomodir aspirasi rakyat maka sistem pemilu telah mengalami beberapa kali perubahan dan di tahun 2009 untuk pertama kalinya sistem pemilu proporsional terbuka di terapkan karena dianggap lebih aspiratif … Baca lebih lanjut
Memaknai Pidato Politik AHY | Bersama Rakyat Demokrat S14P Memperjuangkan Perubahan dan Perbaikan
Bertempat di lapangan tenis indoor senayan Jakarta pada tanggal 14 Maret 2023 ketua umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono menyampaikan pidato politik mengenai arah dan sikap politik partai demokrat. Terdapat 3 hal pokok yang menjadi fokus dalam pidato politik tersebut yaitu Persoalan kehidupan rakyat yang menyangkut ekonomi dan kesejahteraan, Persoalan Hukum, keadilan, kebebasan dan … Baca lebih lanjut
Tanah Papua Terus Berdarah
Tanah Papua kembali berduka, konflik sosial yang terjadi di wamena kembali memakan korban jiwa dan aparat keamanan kembali berperan terhadap jatuhnya korban jiwa. Kejadian yang terus terulang seolah kita tidak pernah belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya. Setidaknya dalam tiga bulan terakhir telah terjadi enam kali peristiwa penembakan warga papua oleh aparat keamanan di Mappi, Tolikara, Sentani, … Baca lebih lanjut
60 Tahun Gereja Ijili di Indonesia (GIDI) | Semangat Trasformasi dan Menebar Spirit Damai
Tanggal 12 Februari 2023 adalah hari yang bersejarah bagi Gereja Injili di Indonesia (GIDI) karena tepat 60 Tahun yang lalu Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di dirikan oleh Badan Misi UFM dan APCM yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond. Di usia yang ke 60 tahun GIDI telah bertransformasi bukan saja hanya sekedar melaksanakan kegiatan … Baca lebih lanjut
Harapan Untuk Tanah Papua 2022

Tidak terasa beberapa jam lagi tahun 2021 akan berakhir, semua orang bersuka cita menyambut datangnya tahun 2022 dengan penuh harapan dan cita-cita akan menjadi lebih baik lagi di tahun yang akan datang. Masing-masing daerah di negeri ini berlomba-lomba menunjukka kesuksesan dan pencapaiannya di tahun 2021 begitu juga dengan Tanah Papua daerah paling timur Indonesia, daerah dengan limpahan karunia alam yang luar biasa. Tahun ini papua sukses menyelenggarakan PON XX 2021 yang sudah barang tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi Tanah Papua karna even ini terselenggara di tengah isu stabilitas keamanan yang terjadi hampir sepanjang tahun.
Selain cerita suksenya penyelenggaraan PON XX 2021 di Tanah Papua banyak kisah dan kejadian yang cukup memilukan di tanah ini hampir sepanjang tahun 2021 dan di tahun-tahun sebelumnya yang belum juga bisa terselesaikan. Kasus palanggaran HAM, pembunuhan, perampasan Sumber Daya Alam dan lain sebagainya masih saja terus terjadi di wilayah pelayanan gereja di Tanah Papua. kekerasan yang berkedok operasi militer hanya melahirkan korban jiwa, dendam dan permusuhan. Masyarakat sipil hidup dalam ketakutan karna nyawa mereka dan keluarganya dipandang tak bernilai apa-apa dan setiap saat dapat di renggut. Hukum seolah-olah telah dilupakan oleh yang punya kuasa sehingga mereka dengan semenah-menah dengan begitu mudahnya menghilangkan nyawa orang lain tanpa belas kasih.
Mengapa kedamai di tanah papau belum bisa di wujudkan?
Kemana semua ratusan rekomendasi perdamaian yang pernah di usulkan selama ini?
Apakah bangsa ini sudah kehabisan solusi untuk perdamaian di tahan papua?
Atau karna kami orang asli papua ras melanisia berbeda dengan mayoritas masyarakat lainnya yang ada di negeri ini?
Mengapa penguasa negeri ini begitu sulit menyelesaiakan konflik di tanah papua dengan cara yang lebih beradap?
Tentu sudah bukan rahasia lagi bahwa konflik bersenjata yang terjadi di tanah papua bersumber dari rasa ketidak adilan yang dirasakan oleh orang asli papua terhadap pemerintah, dan konflik semacam ini juga pernah terjadi di daerah lainnya namun mampu di selesaikan dengan cara damai namun mengapa di Tanah Papua pemerintah tidak bisa menurunkan ego kekuasaannya kepada rakyatnya sendiri. Karna tidak ada permasalah yang tidak dapat terselesaiakn jika kita masih memiliki rasa kasih terhadap sesama.
Jika pemerintah bisa berdamai denga bendera bulan bintang di aceh kenapa tidak dengan bendera bintang kejora di papua. jika aceh bisa diberi otonomi khusus untuk mengakomodir semangat politik lokal mereka, kenapa di papua tidak bisa di terapkan, Tanah papua tidak membutuhkan otsus setengah hati seperti yang di terapkan saat ini namun otsus yang benar-benar dilahirkan dari semangat lokal orang asli papua yang ingin rakyatnya sejahtera.
Konflik tanah papua ibarat sebuah labirin yang sebenarnya kita sudah tau kemana jalan keluarnya namun sebagaian dari kita banyak yang berpura-pura tidak mengetahui dan seolah-olah menikmati ketersesatan jalan di dalam labirin tersebut. Entah karna mendapat keuntungan dari ketersesatan tersebut atau karna tingginya ego dan memaksa mencari jalan keluar lain yang semakin memperkeruh situasi konflik. Sudah saatnya kita bersama-sama keluar dari labirin konflik ini, bersama-sama bergandengan tangan dan menundukkan ego kita masing-masing dan Semoga di tahun 2022 nanti kedamaian di Tanah Papua dapat Terwujud.. wa wa wa..
Natal 2020, Kristus Membawa Hukum, Keadilan, dan Kemerdekaan Bagi Setiap Orang Yang Percaya.
Pada tanggal 25 Desember 2020, umat Kristen Dunia merayakan hari yang begitu mulia, hari dimana Tuhan menurunkan anaknya yang Tunggal (Esa) dan Suci, tidak tersentuh oleh dosa dunia dan dosa turunan dari Bapak Manusia Adam, dimana diri-Nya dijaga oleh para malaikat yang terbentang dari permukaan bumi hingga menjulang ke langit, ke surga tempat Tuhan Bapak “Allah/Yahwe/Elohim” bersemayam hidup kekal dalam keabadian dan keagungan ciptaan-Nya.
Kelahiran anak Tuhan yang Tunggal dan Suci ini, sesungguhnya membawa “rahmat/berkat” kepada seluruh manusia, alam semesta, termasuk kepada hewan hewan dan tumbuh – tumbuhan.
Bumi sebagai tempat manusia pertama Adam dan keturunannya, telah lama mewariskan dosa dan kejahatan turunan, dimana membuat malu para malaikat, yang selalu menyembah Tuhan Allah/Yahweh/Elohim yang satu, tanpa pernah membuat satu kesalahan pun dan membuat murka Tuhan-Nya.
Melihat dosa dosa manusia yang begitu besar, Tuhan Bapak “Allah/Yahweh/Elohim” mengirim anakNya yang Tunggal (Esa), untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dan alam semesta, dari seluruh dosa dosa yang dilakukan oleh Manusia, yang tidak jarang ikut merusak kehidupan makhluk lainnya di permukaan bumi.
Yesus lahir menjadi isyarat akan datangnya Hukum Tuhan yang suci, dengan hukum-Nya itulah, manusia dibebaskan dari penderitaan, kemunafikan, kepura-puraan, penindasan, dan ketidakadilan.
Manusia, telah lama mengagungkan Harta, Tahta dan kekuasaan, sehingga terkadang membuatnya lupa, bahwa ada Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, yang selalu melihat dirinya, dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, baik
dalam keadaan lapang maupun sempit, dan bahkan dalam keadaan bergembira maupun dalam keadaan susah..
Bagi orang orang yang lupa dengan kehadiran Tuhan dan pembuat dosa, Natal memberikan peringatan yang jelas kepada setiap orang yang meyakini-Nya, bahwa Tuhan akan selalu ada, dan melihat setiap perbuatan baik maupun buruk yang manusia lakukan.
Dalam konteks Indonesia, secara khusus melihat potret kehidupan negara dan berbangsa disepanjang Tahun 2020, kita banyak melihat rintihan rakyat yang ketakutan akan Hukum yang tidak adil, bedil dan pisau hukum diarahkan kepada mereka yang berseberangan pikiran dengan kekuasaan, kemanusiaan ikut menghilang dengan banyaknya tragedi saling membunuh diantara anak bangsa seperti yang terjadi dalam operasi militer di Tanah Papua, dalam ruang paralel yang sama kita juga melihat praktek penegakan hukum yang dipertontonkan dihadapan publik syarat dengan kepentingan kekuasaan, rakyat dan orang orang yang kritis sudah mulai ketakutan dan dibatasi untuk bersuara (takut apabila dilaporkan dan dikriminalisasi), kebebasan dan kemerdekaan pers juga semakin dipertanyakan, karena ditemukan banyaknya media yang justru menjalin hubungan yang mesra dengan simpul simpul kekuasaan, dan bahkan media ikut serta dalam upaya menjadi alat propaganda kekuasaan.
Natal di tahun 2020, sejatinya kita sedang merayakan apa?
Bukankah Tuhan Yesus, telah berjanji akan menyempurnakan keadilan yang memerdekakan manusia dari perbudakan, sebagaimana yang dikabarkan dalam Injil (5:17-37).
Natal telah secara sempurna, membawa terang dalam gelap, membawa adil dalam ketidakadilan, membawa hukum dalam kesewenang wenangan, membawa kasih dalam kebencian hati para pendosa/penyamun.
Sebagai manusia yang beragama kristen yang sedang merayakan natal dan lahirnya Tuhan Yesus ke dunia yang penuh dosa ini, apakah kita semua memilih berjalan ditempat yang gelap?
Sesungguhnya “kegelapan” itu adalah ketidakadilan, penyimpangan hukum. Kegelapan itu juga bermakna “membiarkan manusia berseragam yang menggenggam hukum untuk membunuh rakyat sipil yang tidak berdaya”, kegelapan itu juga bermaksud membiarkan kasus penghilangan paksa masyarakat adat, gereja, penduduk OAP ( Orang Asli Papua) mati dalam konflik berkepanjangan di Tanah Papua dalam sebuah operasi militer yang tidak pernah berakhir.
Kami mengajak, kita semua menerima kebenaran Natal, menerima datangnya cahaya kebenaran, mengutamakan cinta dan kasih terhadap sesama manusia, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan mencintai hukum serta keadilan sebagai umat ciptaan Tuhan.
Pada dasarnya, setiap umat Tuhan, yang dilahirkan ke dunia ini, telah diberikan kemerdekaan asasi, untuk bebas mempertahankan hak hidupnya, oleh karena itu, sejalan dengan hal tersebut, prinsip kemerdekaan dan demokrasi yang dimiliki oleh rakyat sipil dalam konteks bernegara, seharusnya ikut dijaga dan dipelihara oleh kekuasaan yang diberi mandat oleh rakyat melalui Pemilu.
Pengekangan hak demokrasi, hak berpendapat, kedalam bentuk rumusan pasal-pasal pidana, justru dapat membahayakan “keimanan” orang-orang kecil yang hendak menyampaikan peringatan kepada mereka yang memegang kendali kekuasaan. Apabila kita menyadari dengan sepenuh keimanan, bahwa sesungguhnya, kekuasaan manusia di muka bumi, merupakan refleksi dari kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan, melalui kehendak bebas dan hukum alam yang berlaku di dunia, hingga seluruh perbuatan manusia akan di adili oleh Tuhan yang memiliki hakikat kekuasaan dan hukum yang sejati.
Natal 2020, Kami ingin menyampaikan pesan dengan narasi yang Compatibel, sesuai kondisi kita bernegara saat ini adalah, tegaknya Ham, Keadilan, Supremasi Sipil dan Perlindungan Hak Demokrasi Rakyat, yang terasa mengalami Degradasi dengan Menguatnya Dwifungsi TNI dan POLRI, serta Meningkatnya Kekerasan Aparatus Negara terhadap kehidupan warga sipil di sepanjang Tahun 2020, baik yang terjadi di Tanah Papua (operasi Militer) maupun di sejumlah daerah (ternasuk ibu kota negara), dengan karakteristik kasus yang hampir serupa..