Willem Wandik (Wakil Bangsa Papua)

Beranda » 2014 » November

Monthly Archives: November 2014

96,17% Warga Miskin di Pedesaan, Penikmat Pembangunan di Papua Bukan Orang Asli Papua

papua miskin dinikmati migran

Senator Tanah Papua: Selama ini fokus pembangunan Papua berpusat pada aktivitas mempercantik dandanan kota-kota utama di Papua. Pembangunan prasarana infrastruktur banyak menghabiskan anggaran untuk mengembangkan kota-kota administrasi utama di Papua.

Kaum migran mayoritas menempati kawasan kota-kota administrasi di Papua. Sedangkan penduduk asli Papua terdistribusi ke daerah-daerah pedesaan yang menyebar hingga ke wilayah pedalaman, terpencil dan terisolir.

Fasilitas publik yang dibangun oleh Pemerintah selama ini hanya melayani kawasan kota administrasi, tetapi mengabaikan pembangunan di daerah pedesaan. Alokasi anggaran memang diklaim besar oleh Pemerintah Pusat, tetapi realitas dilapangan menunjukkan distribusi pembangunan ke kawasan miskin di daerah-daerah Papua tidak terjadi.

Masyarakat miskin di Papua lebih di dominasi oleh masyarakat asli Papua yang tinggal di daerah pedesaan. Pembangunan bagi mereka adalah barang yang sangat mahal, sekalipun pemerintah pusat mengklaim telah menggelontorkan anggaran yang cukup besar melalui dana otsus.

Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan yang ditempati oleh banyak kaum migran hanya mencapai 3,38% dari total penduduk miskin di Provinsi Papua. Jumlah penduduk miskin di kawasan perkotaan di Provinsi Papua tidak begitu besar hanya mencapai 35.370 jiwa.

Jumlah penduduk miskin di kawasan pedesaan yang ditempati oleh penduduk asli Papua justru jauh lebih besar dibandingkan jumlah penduduk miskin yang tinggal di daerah perkotaan (kawasan perkotaan di dominasi oleh kaum migran). Jumlah penduduk miskin di kawasan pedesaan mencapai 96,17% dari total penduduk miskin di Provinsi Papua.

Jika kawasan perkotaan hanya memiliki penduduk miskin sebesar 35.370 jiwa, maka penduduk miskin di kawasan pedesaan mencapai angka 889.040 jiwa. Sehingga total penduduk miskin yang tinggal di kawasan pedesaan dan perkotaan di Provinsi Papua mencapai angka 924.410 jiwa (jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua mencapai 30,05% dari total penduduknya).

Tidak begitu berbeda dengan saudara tertuanya, Provinsi Papua Barat juga mengalami nasib yang sama dimana jumlah penduduk miskin di provinsi ini mencapai 229.430 jiwa. Jumlah penduduk miskin di kawasan perkotaan mencapai 14.780 jiwa dengan persentase kemiskinan sebesar 6,44% dari total penduduk miskin di Provinsi Papua Barat.

Sedangkan jumlah penduduk miskin di kawasan pedesaan di Provinsi Papua Barat mencapai angka 214.650 jiwa. Jumlah penduduk miskin di kawasan pedesaan di Provinsi Papua Barat juga memiliki persentase terbesar dari total penduduk miskin di provinsi ini yaitu sebesar 93,56%.

Sejumlah pembangunan infrastruktur yang terekam dalam realisasi pembangunan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di tahun 2012 justru menampilkan pembangunan yang berpusat di kawasan-kawasan kota administrasi yang banyak di huni oleh kaum migran dibandingkan penduduk asli Papua.

Sejumlah mega proyek di Provinsi Papua yang banyak menyedot anggaran besar, justru peruntukannya untuk pembangunan kawasan yang ditempati kaum migran. Sejumlah pembangunan kawasan agropolitan di Provinsi Papua justru tidak dinikmati oleh masyarakat asli Papua, seperti pembangunan kawasan agropolitan Merauke, kawasan Nimboran, kawasan Wanggar-Kab. Nabire, dan kawasan Distrik Waropen bawah-Kab. Waropen.

Pembangunan prasarana jalan sepanjang 1.400,63 kilometer (kategori jalan provinsi) hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan, sedangkan warga pedesaan yang lebih di dominasi oleh masyarakat asli Papua tidak menikmati fasilitas jalan. Banyak daerah yang dihuni oleh masyarakat asli Papua yang belum terjangkau fasilitas jalan dan tergolong daerah yang terisolir karena tidak dapat diakses oleh fasilitas jalan.

Sejumlah kawasan yang menjadi sentra ekonomi di Papua, lebih di dominasi oleh penduduk migran, dan pemanfaatan prasarana jalan hanya dinikmati oleh pemilik usaha dari kalangan migran. Sejumlah kendaraan mobil yang memanfaatkan lalu lintas jalan yang dibangun lebih di dominasi oleh pengguna transportasi pebisnis dan pelaku Industri di Papua (perkebunan, pertambangan, dll).

Jalan yang sedianya dibangun untuk kebutuhan tonasi bagi pengguna transportasi publik untuk kepentingan mobilitas penduduk dan pelaku ekonomi dari masyarakat kecil (ciri masyarakat asli Papua), justru cepat mengalami kerusakan disebabkan pengguna jalan di dominasi oleh kendaraan berat (pelaku industri dan bisnis). Dalam catatan kementerian Pekerjaan Umum di Provinsi Papua, sebesar 970,73 kilometer jalan nasional di Provinsi Papua mengalami kerusakan sedang dan 678 kilometer jalan nasional lainnya mengalami kerusakan yang tergolong berat.

Penggunaan fasilitas bandara untuk kepentingan ekonomi masih pula di dominasi penduduk migran. Masyarakat penduduk asli, selain penyelenggara pemerintah daerah, sangat jarang menggunakan fasilitas bandara untuk keperluan bisnis.

Pembangunan fasilitas bandara yang menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit jumlahnya hanya dinikmati oleh penduduk migran.

Di Papua setidaknya terdapat beberapa bandara yang sudah bisa mengoperasikan pesawat jenis Boeing-737 diantaranya Bandara Sentani (runway: 2.180 m x 45 m), Bandara Mozes Kilangan (runway: 2.390 m x 45 m), Bandara Mopah (runway: 1.850 m x 30 m), Bandara Frans Kaisiepo (runway: 3.570 m x 45 m). Letaknya yang berada di pusat kota administrasi menjadikan pengguna fasilitas bandara lebih di dominasi oleh masyarakat migran dibandingkan masyarakat asli Papua sendiri.

Willem Wandik: Papua Butuh Tenaga Profesional, Tolak Mengirim Orang Miskin ke Papua

papua butuh profesional

Senator Tanah Papua: Persoalan ledakan penduduk menjadi masalah utama di daerah dengan kepadatan penduduk yang tergolong tinggi. Hal tersebut menimbulkan beban sosial seperti kemiskinan dan kriminalitas.

Lalu muncullah program transmigrasi yang bertujuan untuk mencari rumah baru bagi masyarakat yang tidak beruntung di daerah-daerah dengan kepadatan penduduk cukup tinggi. Rumah baru tersebut diharapkan dapat menjadi tempat untuk memulai kehidupan sosial dan peruntungan ekonomi (perbaikan nasib dan mengkapitalisasi sumber daya di daerah baru).

Papua bukanlah daerah yang resisten dengan transmigrasi, namun menjadikan Papua sebagai tempat untuk menumpuk masalah sosial seperti kemiskinan dan kriminalitas, bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh masyarakat asli Papua.

Tanah Papua juga menghadapi permasalahan sosial yang sama, yaitu masalah kemiskinan. Bahkan persoalan kemiskinan di Papua terbilang lebih parah dibandingkan dengan kondisi kemiskinan di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Provinsi Papua sendiri menempati rangking pertama dengan populasi penduduk termiskin di Indonesia. Provinsi Papua memiliki persentase penduduk miskin sebesar 30,05% dari total penduduknya. Sedangkan Provinsi Papua Barat menyusul ke peringkat kedua dengan persentase 27,13% dari total penduduknya.

Dari sekian banyak persentase penduduk miskin yang terdapat di Papua dan Papua Barat, mayoritas penduduk miskin justru berasal dari masyarakat asli Papua. Hal ini membuktikan pula, bahwa kedatangan orang-orang miskin dari daerah lainnya, tidak mengurangi kemiskinan di kalangan masyarakat asli Papua.

Kedatangan masyarakat miskin dari daerah lainnya, justru hanya berorientasi pada peningkatan kehidupan ekonomi kaum migran, dengan menguasai lahan lahan garapan dan sumber ekonomi di Tanah Papua. Kehadiran mereka hanya menciptakan kesenjangan sosial dan melahirkan kompetisi negatif terhadap masyarakat asli Papua.

Kehadiran masyarakat miskin dari luar Papua, bukan untuk mendorong perbaikan nasib masyarakat asli Papua, tetapi hanya untuk memperbaiki nasib dan kehidupan individual mereka sendiri.

Dengan tabiat seperti ini, tentunya kehadiran masyarakat transmigran bukan untuk membantu masyarakat asli papua, tetapi hanya untuk membantu diri mereka sendiri, agar keluar dari beban kemiskinan yang menyandera kehidupan mereka di daerah asal.

Pemerintah pusat seharusnya tidak mengirim orang-orang miskin ke Tanah Papua. Tanah Papua justru membutuhkan tenaga profesional yang bisa membantu meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat asli di Papua.

Diharapkan para tenaga profesional dapat bekerja untuk mentransfer skill, kompetensi, pengetahuan, dan pengalaman yang mereka miliki, untuk mendidik dan memajukan masyarakat asli Papua.

Rendahnya cakupan tenaga profesional di Tanah Papua dapat dilihat diantaranya melalui sebaran tenaga Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di sejumlah Instansi Pemerintah menurut tingkatan pendidikan formal yang pernah ditempuh.

Sebaran tenaga PNS di Papua, masih di dominasi oleh penduduk yang berpendidikan SD-SMA dengan persentase sebesar 51,10% dari total tenaga PNS di seluruh Instansi Pemerintah di Papua.

Sedangkan tenaga PNS dengan basic pendidikan magister (S2) hanya sebesar 0,65% dan berpendidikan doktoral hanya mencapai 0,01% dari total tenaga PNS di Papua.

Dengan demikian, kondisi real yang dihadapi masyarakat Papua adalah kekurangan tenaga profesional yang dapat bekerja di sektor-sektor formal maupun informal, dan bukan terletak pada permintaan tenaga-tenaga kasar atau penduduk miskin dari sejumlah daerah di Indonesia.

Jika yang dikirim adalah masyarakat yang memiliki beban dan masalah sosial (di daerah asal mereka), maka dipastikan mereka memiliki kecenderungan untuk hidup secara individual “ego sentris” dan hanya berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial mereka, tanpa peduli dengan kehidupan masyarakat asli.

Beban sosial yang sedianya telah ada di Papua, tidak akan semakin membaik dengan datangnya para transmigran yang datang dari daerah termiskin di pulau yang padat penduduk.

Para penduduk miskin “transmigran” hanya menciptakan model hubungan kemasyarakatan yang berkompetisi dengan masyarakat lokal (menguntungkan mereka secara ekonomi), karena sejak awal mereka berasal dari daerah yang miskin sumber daya.

Melihat sumber daya alam yang melimpah di Papua, tidak jarang muncul sikap ingin menguasai tanah tanah penduduk asli, dan menyingkirkan peran ekonomi masyarakat asli Papua.

Tentunya sikap seperti itu tidaklah hadir secara kebetulan, karena di dorong oleh kebutuhan untuk memperbaiki nasib yang sebelumnya hidup dalam kemiskinan.

Padahal ditengah tengah masyarakat asli Papua masih terdapat masyaraķat yang hidup serba terbelakang dan tertinggal.

Program transmigrasi yang berawal dari mengirim penduduk miskin, tidak berdampak apa apa bagi kehidupan masyarakat asli Papua. Sebab mereka berasal dari daerah yang hidup serba terbatas, memiliki kecenderungan untuk hidup secara individualistis, dan hanya mengkapitalisasi kebutuhan ekonomi mereka sendiri (kapital sentris).

Seharusnya pemerintah pusat tidak lagi mengirim orang orang miskin yang hanya hidup untuk menguasai tanah tanah di Papua, dan tidak mendorong transfer skill dan kompetensi bagi masyarakat asli Papua.

Papua justru membutuhkan tenaga tenaga profesional yang seharusnya lebih di dorong oleh pemerintah di Jakarta. Orientasi misi mereka adalah untuk bekerja membangun kehidupan masyarakat asli dan tidak bertujuan untuk berkompetisi merebut lahan dan sumber daya di Tanah Papua.

Willem Wandik: Papua Termiskin di Indonesia, Investasi Justru ke Luar Papua

papua termiskin-1

Senator Tanah Papua: Kemiskinan struktural terjadi ketika masyarakat yang hidup ditengah-tengah limpahan kekayaan alam dan perputaran uang yang sangat besar, tetap menjalani hidup sebagai masyarakat miskin, terisolir dan tertinggal.

Arus perputaran uang yang dihasilkan oleh sejumlah perusahaan raksasa di Tanah Papua yang bergerak di sektor pertambangan mineral, usaha migas, perkebunan dan berbagai sektor lainnya tidak terjadi di Tanah Papua.

Padahal perputaran uang begitu penting bagi masyarakat, karena masyarakat membutuhkan uang untuk melakukan aktivitas ekonomi. Sedikitnya perputaran uang di Papua berdampak pada kecilnya aktivitas ekonomi yang bisa dilakukan oleh masyarakat.

Rendahnya aktivitas ekonomi masyarakat, dapat dilihat dari kontribusi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) wilayah Papua (ditambah maluku) terhadap perekonomian nasional. Hal ini justru bertolak belakang dengan kontribusi Perusahaan Besar seperti Freeport baik pada sejumlah penerimaan negara (Pajak dan Non Pajak) maupun keuntungan dari pasar keuangan bagi Indonesia.

Rendahnya Pendapatan Nasional Bruto yang di alami oleh Papua, menunjukkan rendahnya kontribusi aktivitas ekonomi masyarakat di Papua. Inilah salah satu sumber masalah yang menciptakan kemiskinan struktural di Tanah Papua.

Dalam catatan Bank Indonesia, Pendapatan Domestik Bruto wilayah Papua ditambah wilayah Maluku pada triwulan ke tiga tahun 2014 (Juli-September) hanya mencapai 2,18% dari PDB Nasional. Kondisi ini tidak begitu berbeda dengan kondisi PDB wilayah Papua+Maluku di tahun 2012 dan tahun 2013 masing-masing sebesar 2,06% dari PDB dan 2,18% dari PDB.

Perlu diketahui bahwa kontribusi PDB terbesar nasional kita adalah bersumber dari konsumsi rumah tangga, yang pada tahun 2013 mencapai 55,82% dari total PDB Nasional. Ini juga mengkonfirmasi bahwa aktivitas ekonomi yang bergerak di masyarakat berpengaruh sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan demikian, kemampuan PDB Papua ditambah Maluku yang hanya mencapai 2,18% saja dari kemampuan PDB Nasional pada tahun 2014 (triwulan ke tiga), sangat dipengaruhi oleh rendahnya aktivitas ekonomi masyarakat.  Perputaran uang dari sumber-sumber penghasil pendapatan negara terbesar seperti Freeport, tidak berputar di masyarakat Papua.

Setiap mineral emas dan tembaga yang di ambil dari perut bumi Papua, langsung masuk ke tanker-tanker menuju negara tujuan ekspor. Segala transaksi keuangan tidak terjadi di Papua, tetapi masuk melalui Pemerintah Pusat baik dalam bentuk devisa maupun pembayaran kewajiban Freeport kepada negara berbentuk uang dolar.

Sumber kekayaan alam yang di eksploitasi berasal dari Tanah Papua, namun yang kaya raya adalah wilayah orang lain.

Mengingat betapa pentingnya perputaran uang yang harus terjadi di Tanah Papua, maka penting untuk mempertegas posisi investasi pembangunan smelter dan rencana divestasi saham 30% oleh daerah Papua.

Sikap Pemerintah yang menyetujui poin renegosiasi yang menguntungkan wilayah lainnya, dengan rencana pembangunan smelter Freeport di luar daerah Papua dan kepemilikan saham 30% PT. Freeport oleh Perusahaan Nasional sama saja menciptakan sistem yang terus melanggengkan kemiskinan di Tanah Papua.

Dongeng Kemalangan Negeriku

Dizaman kolonial belanda, para menir-menir belanda melakukan transaksi perdagangan dengan masyarakat pribumi. Uang yang diterima oleh masyarakat pribumi dari hasil perdagangan dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Meskipun dengan menjajah, menir-menir belanda memberikan nilai tambah ekonomi yang langsung berdampak pada perekonomian masyarakat pribumi.

Dihari ini, dengan kapitalisasi yang besar diseluruh sektor ekonomi, justru menciptakan era dimana rakyat sebagai pemilik tanah dan lahan pertanian, tidak lagi menjadi pemain utama dalam aktivitas ekonomi. Sejumlah kerja sama investasi mendorong penguasaan lahan yang sangat besar hingga mencapai jutaan hektar.

Sumber-sumber ekonomi rakyat dikuasai oleh para pemilik modal, melalui beragam kesepakatan dan perjanjian kerjasama dengan penguasa melalui izin-izin penanaman modal. Kekayaan sumber daya alam berubah fungsi menjadi hak kekayaan yang bisa diperjualbelikan oleh negara kepada pemegang izin.

Produksi hasil kekayaan alam, menjadi hitung-hitungan pendapatan perusahaan bermodal besar, selaku pemegang izin pengelolaan, dimana transaksinya tidak lagi melewati para pemilik lahan (masyarakat pribumi).

Transaksi-transaksi besar pun terjadi di luar negeri, mengirim jutaan ton kekayaan bumi melalui tanker-tanker raksasa, yang tidak akan tenggelam melewati ganasnya samudera atlantik.

Sejumlah penguasa negeri di undang untuk menikmati perjamuan makan malam yang di bumbui dengan pembicaraan bisnis tingkat satu, dimana Triliunan Dolar Amerika di kalkulasi dalam diskusi yang bertemakan ketamakan dan kesombongan karena telah memiliki seisi dunia.

Berbeda dengan nasib rakyat pemilik lahan, mereka harus berburu makanan untuk bisa bertahan hidup dan memastikan anggota keluarganya tidak mati kelaparan. Batasan lahan yang bisa digunakan pun telah diatur dalam keputusan-keputusan penguasa, atas usulan pemegang izin untuk melindungi kepentingan penamanan modal mereka.

Dalam portofolio kekayaan pemilik modal, jutaan hektar lahan telah diberi label sebagai kekayaan agunan terhadap Triliunan Dolar aktivitas transaksi di pasar keuangan dan berbentuk penawaran perorangan kepada penguasa konglomerasi.

Rakyat yang terjepit dengan tuntutan hidup, melihat peruntungan melalui celah sempit dari sisa-sisa produksi dan sampah kemewahan para pemilik modal.

Melalui pembuangan limbah, remah-remah kemewahan yang ikut terbawa melalui jalur-jalur sungai, di kais kembali dengan periuk untuk mendulang harapan hidup.

Namun, apa lacur para pengais sampah kemewahan harus menelan racun-racun kimiawi yang dapat melumpuhkan otak, mengakibatkan kegagalan organ, bahkan dapat menyebabkan kematian.

Ada yang tetap meneruskan perjuangan untuk hidup dengan mengais sisa-sisa rezeki dari kemewahan para konglomerasi.

Namun tidak sedikit para pejuang hidup tersebut memilih untuk mengasingkan diri, hidup dalam kegelapan hutan rimba menjadi masyarakat primitif dan terbelakang.

Smelter Freeport: Papua Tidak Ingin Menonton Pembangunan di Tanah Orang Lain

masa depan

Senator Tanah Papua:  Aspirasi yang berkembang di Tanah Papua, termasuk oleh legislator Papua di DPR RI, Bapak Willem Wandik, terus menyerukan desakan agar Papua tidak hanya menjadi penonton terhadap upaya renegosiasi pembangunan smelter yang dibicarakan antara Pemerintah Pusat dan pihak Freeport.

Jika pembangunan smelter PT. Freeport dibangun diluar Papua, sejumlah kentungan yang diperoleh dari pembangunan smelter hanya bermanfaat bagi daerah lain. Rakyat Papua hanya bisa menyaksikan pembangunan di tanah orang lain, dengan hasil sumber daya alam yang berasal dari tanahnya sendiri.

Tanah Papua tidak ingin hanya menjadi objek eksploitasi bahan mentah mineral semata, ditambah dengan kerusakan lingkungan yang harus ditanggung oleh Papua, beserta dampak konflik sosial yang telah lama dirasakan oleh rakyat di bumi cenderawasih tersebut.

Papua tidak ingin hanya dijadikan wilayah pesakitan dari aktivitas mendulang dolar oleh kepentingan asing maupun kepentingan daerah lainnya, dan membiarkan terus menerus kondisi tersebut menjadi wajah kebijakan di Tanah Papua.

Kini saatnya Tanah Papua harus bertaruh dengan seluruh apa yang dimilikinya demi warisan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri.

Pembangunan Smelter PT. Freeport di Tanah Papua sangat penting karena dapat memberikan ruang bagi peningkatan investasi yang besar di Tanah Papua. Modal yang masuk dalam bentuik investasi pembangunan Smelter dapat menstimulasi pembangunan kawasan Industri di Tanah Papua.

Pembangunan kawasan industri selalu disertai dengan pembangunan infrastruktur, ini adalah pintu masuk yang sangat baik untuk mendorong aktivitas ekonomi lainnya disekitar kawasan industri, baik oleh masyarakat sekitar dan keterlibatan pihak swasta lainnya.

Masuknya investasi langsung dari pembangunan smelter, sangat baik untuk percepatan pembangunan  infrastruktur di Tanah Papua. Sehingga tidak perlu menunggu alokasi belanja modal dari Pemerintah “mengharapkan dana APBN”. Karena keuntungan inilah sejumlah daerah bahkan menawarkan wilayahnya untuk dijadikan tempat pembangunan smelter.

Pemerintah Pusat sudah terlalu terbebani dengan banyaknya agenda penyediaan anggaran prioritas yang mencakup wilayah yang begitu luas dari sabang hingga merauke. Dalam catatan APBN terdapat delapan jenis beban belanja Pemerintah Pusat diantaranya (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga utang, (5) subsidi, (6) belanja hibah, (7) bantuan sosial, dan (8) belanja lain-lain.

Akhir-akhir ini Pemerintah Pusat dipusingkan dengan semakin besarnya beban subsidi bahan bakar minyak. Dengan memahami kondisi Pemerintah Pusat yang serba terbatas menyediakan anggaran bagi percepatan pembangunan di kawasan Papua, maka dengan memberikan hak prioritas bagi Tanah Papua untuk membangun smelter PT. Freeport, maka hal ini menjadi kompensasi yang sangat tepat agar Tanah Papua dapat segera mempercepat pembangunan kawasan ekonomi di wilayahnya sendiri.

Wilayah Papua dapat membangun tanahnya sendiri, dan tidak memerlukan bantuan anggaran pemerintah pusat, dengan syarat sejumlah kepentingan sumber daya alam di Papua harus berpihak pada kepentingan pembangunan di Tanah Papua, tidak hanya diputuskan sendiri secara sepihak oleh Pemerintah Pusat.

Kini saatnya Tanah Papua berdiri sejajar dengan daerah lainnya di republik ini, dengan berinisiatif dan berkarya bagi kepentingan pembangunan di tanah sendiri. Sehingga kemajuan yang terjadi di Tanah Papua, bisa menjadi kebanggaan bagi rakyat Papua.

Willem Wandik: Sebulan Transaksi Saham PT. Freeport 166,16 Triliun

budak pekerja

Senator Tanah Papua:  Rakyat Papua telah lama menjadi kuli/budak pekerja bagi kepentingan negeri asing. Fakta yang justru mengejutkan bahwa data transaksi saham PT. Freeport yang bermarkas di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, justru menunjukkan perolehan keuntungan yang jumlahnya sangat fantastis. Sumber daya alam yang melimpah dalam isi perut bumi Papua justru telah lama menjadi deposito bagi kepentingan negara asing.

Dalam transaksi saham di Bursa Efek New York “New York Stock Exchange” menunjukkan pergerakan volume transaksi saham sepanjang 33 hari terakhir yang dimulai sejak transaksi tanggal 1 oktober 2014 hingga tanggal 14 november 2014 mencetak volume perdagangan yang mencapai 459.88 Juta transaksi lembar saham.

Sepanjang 33 hari tersebut (1 oktober – 14 November 2014), transaksi saham PT. Freeport mencetak margin keuntungan yang mencapai Rp 166,16 Triliun. Angka transaksi yang tentunya sangat luar biasa bila mengingat cadangan emas dan tembaga PT. Freeport di Tanah Papua juga mendulang keuntungan yang sangat besar dari produksi mineral mentahnya.

Dalam laporan keuangan PT. Freeport Indonesia yang terkonsolidasi pertanggal 1 Januari sampai 30 September 2014 menunjukkan total keuntungan bersih produksi mineral mentah “Tembaga dan Emas” mencapai 21,03 Triliun (gross income sebesar 27,66 Triliun/kurs Rp 11.500/USD).

Jika sebelumnya perhitungan pembagian keuntungan yang diperoleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua dengan alokasi kepemilikan saham sebesar 30% (dalam rencana divestasi saham yang diperjuangkan oleh rakyat di Tanah Papua), yang dibagi dari keuntungan bersih produksi mineral mentah “Tembaga dan Emas” yang mencapai 21,03 Triliun, dengan estimasi perolehan dividen bagi Provinsi Papua yang mencapai Rp 6,31 Triliun.

Apabila perhitungan transaksi saham PT. Freeport sepanjang 33 hari tersebut dimasukkan ke dalam formula pembagian capital gain kepemilikan saham sebesar 30%, dengan memperhatikan komposisi aset reserves yang dimiliki PT. Freeport di beberapa negara termasuk pertimbangan aset reserves PT. Freeport di Tanah Papua 26,98% cadangan Tembaga (dari total cadangan negara lain) dan 95,21% cadangan Emas (dari total cadangan negara lain), masing-masing sebesar 30 miliar pon cadangan Tembaga dan 29,8 juta ons cadangan Emas (Sumber: data reserves 12/31/2013).

Dengan tambahan Capital Gain, maka tentunya potensi pendapatan yang bisa diperoleh rakyat Papua melalui penyertaan Perusahaan Daerah “BUMD” yang nantinya di kelola dalam APBD Pemerintah Daerah Papua bisa mencapai angka yang lebih fantastis dengan kepemilikan 30% saham PT. Freeport.

Laporan transaksi saham di Bursa Efek New York sepanjang 33 hari maupun dari hasil produksi mineral mentah “emas dan tembaga” sepanjang 9 bulan di Tahun 2014 ini, justru memberikan bukti betapa besarnya pengaruh cadangan emas dan tembaga yang dimiliki oleh Papua terhadap pendapatan PT. Freeport dan sejumlah skenario pendapatan yang bisa diterima oleh rakyat di Tanah Papua dengan memiliki 30% saham PT. Freeport Indonesia dimasa-masa mendatang.

Maka tidaklah berlebihan rasanya jika rakyat di Tanah Papua tidak perlu mengharapkan belas kasihan Pemerintah Pusat melalui penyediaan dana Otsus.

Pemerintah Pusat tidak perlu menciptakan ketergantungan pendanaan bagi Tanah Papua melalui dana otsus, karena Papua lebih dari mampu untuk menghidupi daerahnya sendiri, bahkan bersedia memberi jatah dana perimbangan “DAU-DAK” dan dana otsus bagi daerah-daerah lainnya yang tidak memiliki sumber daya alam yang memadai.

Dengan mengandalkan cadangan emas dan tembaga yang dimiliki Papua, sejumlah persoalan sosial seperti kemiskinan, keterisolasian/keterbelakangan, defisit infrastruktur yang massif, masalah kesehatan masyarakat, program pendidikan bagi putra-putri asli Tanah Papua, tidaklah mustahil untuk segera diselesaikan.

Setiap jengkal kehadiran mineral di Tanah Papua harus menjadi berkat bagi rakyat yang lahir di Papua, sumber kekayaan alam yang besar tersebut tidak boleh hanya menghadirkan konflik “militerisme dan pelanggaran HAM” dan bencana kemiskinan bagi rakyat di Tanah Papua.

Sebagai generasi muda yang lahir di pegunungan tengah, saya telah lama melihat begitu banyak pengorbanan nyawa dari saudara-saudaraku di Tanah Papua, yang terus berjuang untuk menegakkan keadilan bagi rakyat pribumi di Tanah ini.

Tidak sedikit darah dan air mata yang tertumpah di Tanah Papua, sudah saatnya para stakeholder dan kaum cendekiawan yang lahir di Tanah Papua memikirkan nasib rakyat dan generasi Papua puluhan tahun hingga ratusan tahun dimasa mendatang.

Generasi papua yang hadir dimasa kini, akan bertanggung-jawab terhadap nasib generasi berikutnya apabila kita semua gagal mempersatukan persepesi dan merebut kepentingan Freeport di tanah sendiri untuk pertama kalinya.

Kini kesempatan bagi rakyat di Tanah Papua untuk berpartisipasi mengelola sendiri aset kekayaan alam yang telah lama menghidupi asing dan negara Republik Indonesia telah hadir di depan mata. Jangan sia-siakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada Tanah Papua, dengan hanya menjadi “kuli/budak pekerja” bagi kepentingan asing.

Willem Wandik: Saatnya Rakyat Papua Mewarisi 30% Saham Freeport

30% saham freeport

Senator Tanah Papua: Kekayaan tambang emas dan tembaga di Tanah Papua telah lama dikelola asing. Fase pertama pengolahan tambang terjadi pada tahun 1967 yang dikenal dengan fase Kontrak Karya I dan menyusul fase kedua pada tahun 1991, fase Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) yang berlaku 30 tahun, dengan periode produksi yang akan berakhir pada tahun 2021.

Menjelang berakhirnya Kontrak Karya PT. Freeport, terdengar kabar adanya pembicaraan tingkat awal menyangkut draft MoU PT. Freeport bersama Pemerintah Indonesia.

Salah satu isu yang turut dibahas dalam rencana perpanjangan kontrak PT. Freeport oleh Pemerintah Pusat adalah rencana pelepasan saham 30% milik PT. Freeport. Rencana ini tentunya merupakan kabar baik, karena selama ini kepemilikan saham PT. Freeport dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan asing tersebut.

Rencana divestasi saham PT. Freeport harus disikapi serius oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua, jika tidak ingin hanya menjadi “kuli” bagi kepentingan asing di tanah sendiri. Pemerintah Daerah Provinsi Papua dapat bergerak cepat menyiapkan pembahasan rancangan Peraturan Daerah “Perda” yang nantinya akan menjadi payung hukum untuk pelibatan kepentingan daerah Papua atas pengelolaan pertambangan emas dan tembaga yang selama ini dikuasai oleh PT. Freeport.

Dalam peraturan daerah, Pemerintah Provinsi Papua dapat menetapkan target dan sasaran kepemilikan saham yang wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Penyertaan saham dapat dilakukan melalui penyertaan saham Badan Usaha Milik Daerah “Perusahaan Daerah”.

Dalam draft pembicaraan Pemerintah Pusat bersama delegasi PT. Freeport, telah dirumuskan opsi divestasi saham yang mencapai 30%. Namun, Pemerintah Pusat diharapkan tidak serta merta secara sepihak menetapkan perusahaan nasional yang akan melakukan divestasi saham PT. Freeport. Rencana divestasi tersebut harus melibatkan pembicaraan bersama antara Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua (sebagai representasi masyarakat adat).

Peraturan Daerah yang mengatur kepemilikan saham Perusahaan Daerah Papua atas saham PT. Freeport, dapat menjadi dasar pembahasan bersama Pemerintah Pusat dan PT. Freeport.

Dalam rencana divestasi, kehadiran gerbong lain yang berusaha masuk dalam renegosiasi kepemilikan saham PT. Freeport tidak boleh melangkahi kepentingan Pemerintah Daerah dan Rakyat Papua, terlebih lagi melalui keputusan sepihak Pemerintah Pusat.

Tidak Memiliki Saham, Papua Tergantung Dengan Anggaran Pusat

Selama ini Pemerintah Daerah maupun masyarakat di Tanah Papua dibuat tergantung pada anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Pusat. Termasuk pemberian dana otsus oleh Pemerintah Pusat ke Tanah Papua.

Dana perimbangan dan dana otsus yang di terima oleh Pemerintah Daerah di Tanah Papua, sejatinya berasal dari kontribusi royalty dan landrent beserta pajak yang dipungut oleh negara dari aktivitas penambangan PT. Freeport. Sejumlah komponen pendapatan tersebut menjadi bagian dari pendapat negara dan juga dibagi dalam bentuk dana bagi hasil ke pemerintah daerah di Tanah Papua.

Pendapatan yang di bagi ke Provinsi Papua adalah persentase kecil dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak (royalty, landrent, dan royalty tambahan) dari produksi tambang emas dan tembaga PT. Freeport.

Jumlah pendapatan yang tercermin dari sejumlah kewajiban pajak dan non-pajak PT. Freeport sangatlah kecil dan tidak sebanding dengan eksploitasi kekayaan emas dan tembaga yang dikeruk dari bumi Papua.

Dasar perhitungan penerimaan dari komponen pajak pun tidak terlihat signifikan mendongkrak penerimaan negara “termasuk pendapatan daerah”. Misalnya pengenaan pajak PPh Badan pasal 25/29 dengan asumsi peredaran usaha bruto PT. Freeport diatas Rp. 50 Miliar, maka tarif PPh badan dikenakan sebesar 25% x penghasilan kena pajak.

Contoh lainnya, pengenaan iuran tetap “landrent” pada tahun 2010 dihitung berdasarkan luas wilayah KK dikalikan tarif/hektar/tahun yang dibayarkan setiap tahun dengan tarif 3 USDolar/Ha. Sedangkan Iuran produksi (royalty) dihitung dari harga tarif 1% dari harga jual emas dan perak, serta royalty tambahan sebesar 3.5% dari harga jual tembaga jika harga tembaga lebih dari 1,10 Dolar/pon.

Pentingnya Saham Freeport

Saham merupakan sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan, dimana pemegang saham memiliki hak klaim atas penghasilan perusahaan dan aktiva perusahaan.

Perusahaan Daerah Papua akan memiliki sejumlah keuntungan dengan memiliki saham PT. Freeport. Pertama melalui Perusahaan Daerah, Pemda Provinsi Papua akan memperoleh dividen, sebagai bagian dari keuntungan yang dibagikan hanya kepada pemegang saham.

Keuntungan lainnya, Pemda akan memperoleh capital gain, berupa keuntungan tambahan selain dividen produksi, yang diperoleh dari selisih positif terkait transaksi jual beli saham di bursa efek.

Keuntungan selanjutnya dengan kepemilikan saham, Pemda akan memiliki kewenangan terkait hak suara dalam menentukan arah kebijakan perusahaan.

Dengan demikian, jika selama ini masyarakat di Tanah Papua tidak dapat mengontrol kepentingan pengelolaan pertambangan PT. Freeport, maka dengan kepemilikan saham, masyarakat di Tanah Papua dapat secara langsung mengontrol pengelolaan sumber daya alam di Tanahnya sendiri.

Memiliki Saham 30%, Papua Tidak Butuh Dana Otsus

Berdasarkan laporan keuangan PT. Freeport 1 Januari – 30 September 2014, diketahui produksi tembaga mencapai 465 juta pon, dengan harga rata-rata mencapai 3.09 US Dolar per pon. Sehingga pendapatan kotor yang diperoleh dari produksi tembaga di Freeport mencapai 16.52 Triliun (asumsi kurs Rp 11.500/US Dolar).

Selain itu, PT. Freeport juga melaporlkan produksi emas pertanggal 30 September 2014 yang mencapai 776 Ribu Ons, dengan acuan harga 1248 US Dolar per Ons. Sehingga pendapatan kotor yang diperoleh mencapai 11,14 Triliun (asumsi kurs Rp 11.500/US Dolar).

Pendapatan kotor diatas lalu dikurangi dengan “net cost” yang dihitung antaralain: 1) site production and delivery, excluding adjustments, 2) Gold and silver credicts, 3) Treatment Charges, 4) Export duties, 5) Royalty on metals.

Dalam laporan keuangan disebutkan “net cost” produksi sepanjang 1 Januari – 30 September 2014 mencapai 1,4 Triliun (setara dengan 1,24 US Dolar dari produksi Tembaga). Sehingga total keuntungan bersih PT. Freeport pertanggal 30 September 2014 mencapai Rp 21,03 Triliun.

Dengan asumsi kepemilikan saham Perusahaan Daerah Provinsi Papua berdasarkan rencana divestasi saham yang mencapai 30% (kuota divestasi saham), maka proyeksi pendapatan Pemerintah Daerah Provinsi Papua hanya dalam periode 1 Januari – 30 September 2014, selama kurun waktu hanya 9 bulan saja, dapat mencapai Rp 6,31 Triliun.

Total pendapatan dari persentase saham 30% selama 9 bulan produksi mineral mentah “tanpa refinery” masih lebih besar dibandingkan jumlah alokasi dana otsus pada Tahun 2013 yang mencapai Rp 4,36 Triliun.

Willem Wandik: Sejak Lama “Penyamun” Kontraktor Luar Berebut/Mendominasi Proyek Infrastruktur di Tanah Papua

dinikmati oleh orang luar

Senator Tanah Papua: Pemerintah Pusat selama ini mengkalim realisasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di Tanah Papua dikucurkan dengan rupiah yang besar. Namun, anggaran yang diklaim besar tersebut,  secara fisik tidak terlihat di lapangan. Indikasi fiktifnya pembangunan infrastruktur di Tanah Papua dirasakan betul oleh masyarakat asli yang tinggal di pedalaman. Aktivitas keseharian hidup mereka tanpa adanya dukungan jaringan jalan dan jembatan yang layak.

Proyek-proyek infrastruktur di Tanah Papua mayoritas di dominasi oleh kontraktor dari luar Papua. Garansi dana yang besar dari Pemerintah Pusat menjadikan para penyamun “kontraktor” dari berbagai daerah berdatangan ke Tanah Papua, seperti jamur di musim penghujan.

Mekanisme penganggaran proyek-proyek infrastuktur di Tanah Papua selama ini banyak yang fiktif, hal ini banyak di pengaruhi oleh tabiat kontraktor yang hanya berorientasi mencari profit. Sehingga perencanaan proyek-proyek infrastruktur di Tanah Papua hanya menjadi lahan rebutan kepentingan para kontraktor.

Jaringan bisnis para kontraktor dari luar Papua, memang memiliki kelebihan dari segi kemampuan kapital yang besar “permodalan” dan jaringan loby “kolusi” yang menjangkau hingga ke Pemerintah Pusat. Hal inilah yang  menjadikan proyek infrastruktur di Tanah Papua menjadi semacam proyek abadi untuk memberi makan para kaki tangan korporasi besar dan pejabat-pejabat tertentu yang mengambil keuntungan dari bisnis proyek infrastruktur di Tanah Papua.

Pemerintah Pusat selama ini mengklaim telah menetapkan rancangan pembangunan proyek-proyek infrastruktur untuk pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dimana pengembangan kawasan Papua dan Papua Barat menjadi salah satu fokus perhatian. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, Pemerintah Pusat menginisiasi program Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat atau yang dikenal dengan program P4B.

Program P4B diklaim oleh Pemerintah Pusat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Salah satu isu penting yang di gagas dalam program Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yaitu permasalahan infrastruktur dasar seperti transportasi dan pembangunan sistem konektivitas untuk percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tercatat dalam realisasi anggaran yang telah dikucurkan oleh Unit UP4B dari tahun 2012 hingga 2014, anggaran untuk Provinsi Papua mengalami pertumbuhan sebesar 18% – 72%, sedangkan Papua Barat berkisar antara 46%-67%.

Dalam catatan kementerian Pekerjaan Umum, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur sampai kuartal pertama Tahun 2014, total anggaran yang telah dicairkan untuk zonasi Maluku dan Papua mencapai Rp 81,2 triliun. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan mencapai Rp 120,1 Triliun yang terdiri dari 47 proyek, zonasi Sumatera mencapai Rp 77,56 triliun mencakup 40 proyek, zonasi Jawa sebesar Rp 78,6 triliun untuk 32 proyek, zonasi Sulawesi mencapai Rp 47,3 triliun, zonasi Bali dan Nusa Tenggara sebesar Rp 36,3 triliun.

Pemerintah Pusat mengklaim bahwa peningkatan belanja modal pemerintah untuk sektor pembangunan infrastruktur bertujuan untuk menggerakkan perekonomian daerah, namun pada realitasnya anggaran yang besar tersebut hanya dinikmati oleh jaringan korporasi dari luar Papua, yang pada gilirannya menjadikan alokasi dana yang diberikan ke Tanah Papua mengalir menjadi “profit” ke daerah-daerah lain “subjek/pelaku bisnis bukan orang Papua”.

Disisi lain, proyek-proyek yang dikerjakan oleh para kontraktor “penyamun” di Tanah Papua, jauh dari spesifikasi yang ditetapkan dalam SPM infrastruktur (sebagai contoh SPM Jalan). Menurut catatan Kementerian PU pada Tahun 2013, proyek jalan nasional di Provinsi Papua mencapai panjang jalan 1.794,95 km, dimana 91,88% (1.649,12 km) nya mengalami kerusakan, dengan kategori jalan yang tergolong rusak berat mencapai 37,79% (678,39 km).

Fakta terkait kondisi jalan yang mayoritas rusak di Tanah Papua, menunjukkan proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh para kontraktor dari luar Papua tidak berorientasi pada tujuan untuk membangun Tanah Papua, tetapi hanya berkepentingan dengan misi keuntungan “profit oriented“.

Untuk mengendus operasi senyap aktivitas pemborong proyek infrastruktur di Tanah Papua, memang terbilang sulit. Karena penyelenggaraan proyek tersebut di kontrol oleh sekelompok jaringan yang menyebar dari pusat hingga ke daerah Papua. Bahkan sebelum penetapan anggaran dalam APBN, proyek-proyek infrastruktur di Tanah Papua sudah di jatah-jatah melalui mekanisme loby di Pemerintah Pusat.

Selama ini dalam sejarah parlemen di Indonesia, putera asli Tanah Papua tidak pernah mendapatkan tempat di komisi infrastruktur “komisi V”. Sehingga pihak-pihak yang selama ini bermain dalam mega skandal untuk memanfaatkan dana infrastruktur di Tanah Papua, sulit untuk dihilangkan.

Mengingat permasalahan infrastruktur yang begitu fundamental bagi pembangunan di Tanah Papua, sudah saatnya setiap jengkal kepentingan di Tanah Papua, harus di kawal oleh putera-puteri asli dari Tanah Papua sendiri dengan modalitas integritas, akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik.