Willem Wandik (Wakil Bangsa Papua)

Beranda » Tak Berkategori » Tanah Papua Belum Siap, Jangan Paksakan Pembentukan DOB

Tanah Papua Belum Siap, Jangan Paksakan Pembentukan DOB

Terdapat beberapa alasan mengapa Pembentukan DOB di Tanah Papua menjadi 3 provinsi saat ini tidak tepat “Prematur dan cenderung dipaksakan” dan bertentangan dengan realitas

aspirasi rakyat di Tanah Papua:

Pertama:

Tanah Papua Menghadapi Isu Sentralisasi Pemerintahan “kendali pusat” yang kuat atas pengelolaan sumber daya keuangan dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam status sebagai daerah khusus dengan jaminan UU otsus (Hak yang diperoleh dengan pengorbanan darah generasi Tanah Papua), bukan hasil dari pemberian gratis rezim pusat.. Saat ini tampak pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua, menjadi rebutan kepentingan konsensi perusahaan nasional dan multinasional, dengan jaminan penempatan Pasukan Militer untuk menjamin keamanan investasi.. Padahal diketahui oleh mereka, bahwa hubungan OAP terhadap tanah dan hutan, menjadi satu kesatuan tatanan masyarakat adat, dengan sistem pengelolaan lahan, tanah dan hutan yang di lakukan secara bersama

sama (komunal), bukan melalui pengelolaan investasi bermodel monopolistik perusahaan nasional.. pada akhirnya, benturan “kultural” dan ambisi invasi monopolistik untuk menguasai resources di Tanah Papua, menghasilkan tragedi dan kekerasan bersenjata, yang sayangnya juga di sponsori oleh pasukan militer Indonesia dengan dalih menjaga dan merawat investasi.

Saat ini dengan kendali pemerintahan otonomi khusus yang masih berada di wilayah Jayapura (dengan status Provinsi Papua), kesewenang wenangan menetapkan wilayah operasi militer khusus, Daerah operasi militer (DOM), secara nyata di pertontonkan oleh rezim pusat, dengan tidak menghargai tatanan pemerintahan yang sah di Tanah Papua (keberadaan negara di daerah, yang di dukung oleh rakyat sebagai hasil dari pemilu daerah yang sah pula)..

Tanpa mendengarkan aspirasi rakyat di Tanah Papua, untuk menyelesaikan terlebih dahulu akar masalah konflik “intervensi militer yang dibungkus kepentingan monopoli sumber daya alam, praktek neo-kolonoialisme 4.0 dengan intervensi ijin ijin monopolistik ala Jakarta yang diberikan kepada Korporasi Nasional dengan beking para penguasa – elit politik”, pemerintah pusat mendorong gerakan untuk memutuskan, memisahkan, bangsa Ras Melanesia, menjadi wilayah wilayah ala karesidenan

kecil “mirip seperti pemisahan Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta oleh belanda” untuk melemahkan perjuangan rakyat Ras Melanesia Tanah Papua, melalui keputusan Sentralistik Pemekaran Provinsi Papua, dan dengan tujuan memudahkan jalan, bagi  bagi  jatah kaplingan lahan tambang, perkebunan, dan lahan olahan kayu hutan tropis terbesar di Tanah Papua..

Rakyat di Tanah Papua, sejatinya tidak membutuhkan pemekaran Provinsi Papua, melainkan membutuhkan perlindungan terhadap keberlangsungan wilayah wilayah adat (unity, persatuan, kearifan lokal, hidup bersahaja, terlepas dari rasa takut, tidak di bunuh, dapat melakukan pelayanan gereja secara damai dan aman) yang tidak dikooptasi untuk sekedar melayani kepentingan invetasi dan implikasi militeristik yang ikut serta di dalamnya.

Kedua:

Tanah Papua menghadapi revisi UU otsus Papua dengan niat Pemerintah Pusat yang setengah hati (banyak aspirasi yang tidak terakomodir dalam revisi Otsus)

Seharusnya Pemerintah Pusat berkaca terlebih dahulu, melakukan introspeksi kedalam, dengan banyaknya penolakan opsi pemekaran Provinsi

Papua, yang di dukung oleh elemen masyarakat asli Papua secara luas, dimana rakyat yang menolak itu bukan partisan dari dukungan politik siapapun.. Mereka bersuara dari nurani mereka sebagai masyarakat asli Papua..

Terdapat pengalaman yang kurang mengenakkan, bahkan menjadi catatan hitam bagi orang  asli Papua, dimana paket “janji revisi Otsus Papua” yang katanya menjadi solusi bagi konflik berkepanjangan di Tanah Papua, pada faktanya justru menjadi ajang bagi pemerintah pusat, untuk mengurangi kewenangan otsus, menjarah kembali hak hak dan kewenangan Pemerintahan Daerah di Tanah Papua, dikembalikan ke Pemerintah Pusat, dengan kendali otoritas penuh, dan yang dibungkus dengan ambisi legalisasi penguasaan sumber daya alam di Tanah Papua..

Kami tentunya banyak belajar dari sikap “hipokrit pusat” di masa lalu, dan tidak ingin terjebak pada janji janji manis, yang justru melemahkan posisi Masyarakat Asli Papua dalam pendekatan legalitas UU..

Kami hanya ingin mengingatkan kepada Pemerintah Pusat, bahwa sikap inkonsistensi para elit dan wacana yang terus mempertontonkan sikap

munafik, kebohongan, akan melahirkan perlawanan secara luas di masyarakat asli Papua..

Jika pusat tidak bisa membantu satu inci pun masalah di Tanah Papua, kami menghimbau jangan membuang satu inci kotoran sejarah Pemekaran yang kami tidak butuhkan di Tanah Papua, dan konsep pemekaran itu, hanya akan menjadi sampah kotoran pikiran dan kepentingan para elit pusat, yang sejatinya akan kami lawan dengan cara yang menyakitkan.. Wa Wa

Ketiga:

Belum tuntasnya konflik bersenjata dan implikasi pelanggaran HAM yang terus menjadi beban sejarah di Tanah Papua

Pertumpahan darah di Tanah Papua itu bukanlah mitos karya fiksi seperti yang tampil dilayar layar TV nasional.. melainkan  realitas  “kepedihan, kepahitan, kesakitan, kehilangan, yang dirasakan oleh orang asli Papua, ras melanesia” dalam kesehariannya (dalam kurun waktu yang tidak bisa diprediksi, bisa berlangsung 10 tahun, bisa berlangsung 20 tahun, atau bahkan akan menjadi konflik abadi).. Itu bukan keadaan candaan yang bisa hanya diselesaikan oleh “omongan niat baik semata”, apalagi Elit Pusat makin memperuncing masalah, seperti menyiramkan Bensin dalam Api, dengan mengatur opsi Pemekaran di Provinsi

Papua.. Kami perlu sekali lagi mengingatkan kepada Suku Suku lain yang ada di Republik Indonesia ini, bahwa Orang Asli Papua yang merupakan keturunan Ras melanesia itu, memiliki  prinsip hidup Komunal “hidup bersama”, bukan hidup individualistik “memisahkan diri secara sosial dari kelompok masyarakat lainnya”..

Mendorong pemekaran Provinsi Papua ditengah pertumpahan darah di Masyarakat Komunal Tanah Papua itu merupakan penghinaan kepada eksistensi masyarakat komunal Tanah Papua, yang memiliki ikatan hidup bersama sebagai satu kesatuan masyarakat adat.. Pada gilirannya, akan mendorong konflik sektarian, memprovokasi perasaan tidak suka kepada suku suku komunal lainnya, karena perbedaan wilayah administrasi Pemerintahan.. Sampai kapan, Pemerintah Pusat, selalu salah mendiagnosis kebutuhan rakyatnya, dimana ada peperangan di wilayah adat masyarakat komunal Tanah Papua yang seharusnya dituntaskan terlebih dahulu, dan pada saat yang bersamaan, justru elit nasional sibuk mengurus pemekaran dan persiapan ijin ijin konsesi yang siap di tandatangani sebagai imbalan dukungan pemekaran.. itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa kami maafkan.. Wa Wa

Keempat:

Masyarakat asli Papua memandang pemekaran sebagai politik adu domba dan pemisahan “elemen sosio kultural historis bangsa ras melanesia” Tanah Papua sebagai satu kesatuan historis dan filosofis hidup orang ras melanesia (Bangsa komunal, bukan bangsa individualistik)

Dapat diterangkan bahwa Tanah Papua dan rakyatnya “the people” adalah satu kesatuan “tubuh”, pikiran dan jiwa, sekalipun terdiri dari ratusan suku suku komunal, makna “bhineka tunggal ika” yang sering di gunakan sebagai doktrin persatuan bernegara di republik ini, sejatinya telah lama mengakar dan di praktekkan dalam kehidupan sosial rakyat di Tanah Papua yang menggambarkan satu identitas rakyat dan bangsa Papua itu sendiri..

Sekalipun terjadi perang antar suku di  Tanah Papua, itu merupakan ekspresi kebudayaan “tatanan hukum masyarakat adat” untuk menyelesaikan perselisihan di antara ratusan suku suku komunal yang mendiami Tanah Papua.. Sekalipun dalam berperang, adat dan tradisi tidak bisa dipisahkan dari cara menyelesaikan perselisihan dan bahkan selalu melibatkan anggota komunitas masyarakat yang lebih besar (tidak diputuskan secara individualistik)..

Baik dalam hubungan sosial yang damai (seperti pernikahan, mendirikan rumah, membuka kebun, mengurus orang sakit), maupun dalam hal penyelesaian konflik melalui peperangan adat, semuanya dilakukan berdasarkan keputusan komunal “rakyat bersama sama pemimpin adat/kepala suku” untuk memutuskan dan menjalankan keputusan tersebut secara bersama sama..

Ketika, elit nasional mendorong gerakan pemekaran, melalui “otoritas sepihak pusat” tanpa meminta persetujuan dan pertimbangan masyarakat komunal yang sejatinya memiliki hak suara dan bahkan sebagai pemilik saham  atas setiap lembah, gunung, hutan, pesisir pantai, maka, gerakan pemekaran tersebut merupakan “ide/gagasan” yang tercela dan tidak akan mendapatkan legitimasi dukungan dari rakyat di Tanah Papua..

Bahkan agenda pemekaran tersebut, dapat dimaknai sebagai “agenda pemecah belah, agenda pencetus permusuhan diantara masyarakat komunal” yang akan memperkeruh situasi kedamaian di Tanah Papua..

Jika sebelumnya peperangan hanya terjadi pada kelompok yang bekerja untuk gerakan politik

pemisahan negara melawan kekuasaan vertikal pemerintah, maka dengan lahirnya “upaya pecah belah yang dimaknai sebagai agenda otoritatif pemekaran ala pusat”, maka konflik yang akan berkembang dimasa masa mendatang akan berubah menjadi “katastrofi” konflik komunal yang justru akan menghancurkan sendi sendi kehidupan masyarakat adat di Tanah Papua..

Jika pilar sosial dan masyarakat adat terpecah belah dalam konflik horizontal, maka untuk tujuan apa masa depan pembangunan dilakukan di Tanah Papua? Untuk apa otsus di revisi jika pada akhirnya tatanan sosial masyarakat adat justru runtuh dan terjebak dalam konflik? Ataukah kondisi demikian diharapkan oleh para pendesain RUU pemekaran, agar Tanah Papua akan lebih mudah di kontrol dan dikendalikan.. Jika itu yang menjadi  tujuannya, maka “laknat Tuhan lah” yang akan menimpa para perancang makar dan kerusakan di Tanah Papua.. Dan dengan segenap hati dan keyakinan, kami menolak untuk menerima takdir semacam itu.. Karena Rakyat dan bangsa Papua, merupakan bangsa pejuang, yang tidak akan tunduk pada kehendak luar yang ingin menghancurkan masa depan generasi di Tanah Papua..

Wa Wa Matur Nuwun Horas..


5 Komentar

  1. Didik Luhur Pambudi berkata:

    Bagus benar pendapatnya ini Pak Willem Wandik.
    Semoga masyarakat Papua semakin sejahtera bahagia.
    Amin

    Suka

  2. Yeromi berkata:

    Luar biasa kakanda. Terus suarakan atas tuntutan seluruh rakyat papua kanda. Allah karum Nowe

    Suka

  3. Wandiginak berkata:

    Salut WW sesuai prakondisi yg terjadi Terhadap OAP di tanah air maka elit elit Jakarta tdk dipaksakan untuk memekarkan DAERAH OTONOMI BARU DOB Tidk tanpa pertimbangan Aspirasi Penolakan DOB. Dalam sistem pemerintahan untuk menhembagkan sebuah wilayah dikategorikan batas2 adanya wilayah, jumlah penduduk, pemerintahan yg terjangkau oleh sebeb itu populasi penduduknya OAP tdk Maksimal sesuai Peraturan Pemerintahan untuk memekarkan sebuah wilayah dll.

    Suka

  4. Pena Yonda berkata:

    Rakyat bersama ww 🙏🏾

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: