Willem Wandik (Wakil Bangsa Papua)

Beranda » Emas Freeport

Category Archives: Emas Freeport

Indonesia Mengkespor Pembunuh ke Tanah Papua

Wakil Bangsa Papua – Redaksi dalam judul diatas terlihat begitu menakutkan, tetapi itulah bunyi kalimat seorang sastrawan besar yang lahir di Blora, Jawa Tengah, bernama Pramoedya Ananta Toer. Sang penutur bukanlah orang OAP, berkulit hitam, berambut keriting, tetapi seorang berperawakan melayu- Jawa. Tentunya, menarik untuk mengulik isi pikiran seorang bung “Pram”, itulah nama panggilannya. Jika ada dari kalangan nasionalis, menuduh saya menyuarakan “sarkasme” terkait tema Indonesia Mengekspor Pembunuh ke Tanah Papua, setidak-tidaknya, ucapan itu, bukanlah berasal dari pernyataan lisan saya, tetapi merupakan saduran dari seorang sastrawan terkemuka Indonesia, yang pernah mengalami nasib sial, karena selama bertahun tahun dirinya keluar masuk penjara, karena penguasa dizamannya memandang pikirannya sangat berbahaya bagi “kepentingan” rezim yang sedang berkuasa.

Mari kita lanjutkan tulisan ini, dengan mengupas realitas “konflik” yang bertahan berpuluh-puluh tahun di Tanah Papua. Rasanya, konflik di Tanah Papua mencetak rekor sejarah konflik terlama di republik ini, sebab sejak Tahun 1961 – ketika Soekarno – mendeklarasikan operasi Trikora – disusul dengan lahirnya Kesepakatan Newyork “Newyork Agreement 1962”, kemudian disusul dengan deklarasi kemerdekaan West Papua 1963, dan ditutup dengan peristiwa referendum 1969. Namun, jejak “ketegangan” di Tanah Papua yang diawali dengan seruan operasi Trikora 1961, sampai hari ini, mewariskan konflik yang tidak berkesudahan.

Benar kata “Bung Pram” bahwa Soekarno itu hanya menyatukan Indonesia sebagai simbol “pergerakan politik”, tetapi yang menyatukan Indonesia pada sisi administrasi adalah kerajaan Belanda “Deutch Kingdom”. Melalui “small guys”, bernama VOC, Belanda menaklukkan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, dan menjadikan Batavia “Jakarta” sekarang sebagai Ibu Kota penjajahan kolonial Belanda (tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini, makna nominanya merujuk kesuatu tempat).

Bahwa yang terburuk adalah Indonesia juga “menduplikasi” hampir secara keseluruhan, pranata sistem hukum, tata negara, dari Kolonial Belanda, bahkan cara mengontrol kekuasaan di wilayah-wilayah yang terbentang cukup luas, menjadi semacam benua maritim, yang terbentang dari posisi 141 Bujur Timur hingga 2° – 6° lintang utara/95° – 98° lintang selatan.

Untuk menguasai luar Pulau Jawa, kata “Bung Pram”, Belanda mengirim para pembunuh dari Pusat Batavia, ke wilayah-wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, hingga ke Tanah Papua. Kemudian membawa hasil jarahan, berupa sumber daya alam kembali ke pusat Batavia. Tidakkah ini yang sedang dilakukan oleh Pemerintah dari rezim ke rezim. Mari kita menghitung, berapa izin prinsip dan nota persetujuan investasi PMA yang dikirim secara khusus ke seluruh wilayah kepulauan utama yang memiliki kekayaan sumber daya alam, dari Kantor Kantor Kementerian/Lembaga di Jakarta, sejak era kapitalisasi bermula di awal Tahun 1962, hingga saat ini. Bahkan jauh hari sebelumnya, di era kolonial belanda, wilayah-wilayah jajahan yang terbentang cukup luas tersebut, menjadi lumbung-lumbung produksi “bahan mentah” bagi industri di pusat Batavia dan sekitarnya.

Kita seperti mengalami peristiwa “de javu”, merasakan hal-hal yang sama, yang telah terjadi beberapa abad lamanya, sejak Kolonialisme Belanda menjajah Kepulauan Nusantara, juga terus dipraktekkan di Tanah Papua. Jika dihari ini, ada sejumlah Pejabat Pusat berusaha menjelaskan, bahwa di era sekarang, Tanah Papua mulai diperhatikan, mulai dibangun, buktinya, bisa disaksikan dengan terbangunnya banyak ruas jalan, bandara, pelabuhan, dan berkembangnya wilayah kota administrasi diseluruh penjuru Tanah Papua.

Pernyataan ini perlu kita stressing, bukankah dizaman Kolonial Belanda, pihak kerajaan Belanda juga membangun jalan-jalan, rel kereta api, pabrik-pabrik, kota-kota yang maju yang dapat dilihat di pusat Batavia, Semarang, Bandung, Surabaya, dan lain sebagianya. Tetapi mengapa, rakyat pribumi di Batavia, Semarang, Bandung, Surabaya, “not happy”, tidak merasakan kebahagiaan, bahkan mereka tetap membenci Kerajaan Belanda, dengan menyebut mereka sebagai “Penjajah”.

Ternyata bukan “pabrik-pabrik, jalan-jalan, rel kereta api, kota kota yang megah” yang membuat orang pribumi di Batavia – Surabaya, merasakan “happy” kegembiraan sebagai satu kesatuan masyarakat yang hidup di era Kerajaan Belanda berkuasa, tetapi bentuk “pengekangan”, “ketidakadilan”, “perampasan lahan”, “pembunuhan”, bahkan pemaksaan doktrin Kerajaan Belanda kepada rakyat pribumi pada saat itu, yang membuat, pergerakan revolusi kemerdekaan menjadi begitu mengakar dan meluas di wilayah-wilayah administrasi yang dikontrol oleh Kerajaan Belanda.

Lalu apa yang berbeda dengan saat ini yang sedang terjadi di Tanah Papua? begitu mudahnya orang orang asli Papua, dituduh sebagai anggota OPM, pemberontak terhadap negara, ketika orang orang OAP berusaha mengekspresikan “kegelisahan” yang mereka alami, terkait berbagai pendekatan negara di Tanah Papua.

Sebelum peristiwa Nduga terjadi di Tanggal 1-2 Desember 2018, apakah Pemerintah mengingat dan semoga tidak mengalami amnesia, bagaimana peristiwa Paniai terjadi, yang tidak kunjung tuntas, dan Pemerintah seperti “merajut benang kusut kasus pembunuhan OAP”, yang tentunya menjadi pintu masuk siklus kekerasan yang tidak berkesudahan di Tanah Papua.

Peristiwa ini diawali dengan penyiksaan oknum militer terhadap seorang bocah berusia 13 tahun oleh satuan di Batalion 753, kemudian memancing reaksi masyarakat Paniai untuk berkumpul mengadakan protes damai, lalu dihadapi dengan “moncong dan bedil senjata” yang mengakibatkan setidak-tidaknya 22 orang terluka, 5 diantaranya tewas tersungkur ke tanah (yang kesemuanya adalah anak-anak SMAN 1 Paniai).

Dan kehadiran aparat militer ini, tidak bisa dipungkiri, sejak awal adalah untuk menjamin keamanan operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia yang sejak Tahun 1991 memiliki luas wilayah konsesi mencapai 2,6 Juta Hektare (kemudian mengalami penyusutan hingga 212 ribu hektare). Tentunya jejak metadata konflik diwilayah wilayah seperti Paniai, Illaga, Timika, dan terakhir Nduga, merupakan wilayah wilayah yang dulunya mencakup 2,6 Juta Hektare areal wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia. Dan aneh bin ajaib, Presiden di hari ini, memfokuskan pembangunan infrasktuktur jalan ke kawasan-kawasan ini, dengan menggunakan anggaran pajak masyarakat Papua, tetapi yang menikmati infrastruktur tersebut sebagian besar adalah para pelaku usaha non OAP, termasuk perusahaan-perusahaan “supply chain” yang menjadi mitra PT. Freeport Indonesia.

Teringat dengan lagu “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Raganya”. Semacam prosa puitis yang saat ini, menjadi “angan-angan” yang sulit diwujudkan di Tanah Papua, sebab apa yang terbangun secara “fisik”, ternyata dimaksudkan untuk sekedar “mempermudah” perluasan akses kepemilikan konsesi para pemilik modal. Sedangkan “angan-angan” untuk menghadirkan kesejahteraan sejati bagi OAP, menjadi seperti “harapan utopis” yang tidak pernah bisa diwujudkan.

Ketika penguasa Belanda yang berpusat di Batavia, mengirim serdadu-serdadu berpakaian lengkap, beserta senjata dan bedil peluru, untuk menjarah wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, bagi golongan penjajah, itu menjadi “keberuntungan” yang sangat besar, sebab mereka bisa terus mencetak Dollar dari hasil menjarah kekayaan sumber daya alam di negeri negeri pribumi. Namun, nasib dari para pemilik “ulayat, hak kesulungan” justru berbeda, tidak bisa mengklaim hak kepemilikan, karena sudah dinegosiasikan dengan “Simbol Penguasa” kedalam bentuk izin-izin kepemilikan. Bahkan Belanda juga terlihat baik, dengan membangun fasilitas penunjang “infrastruktur” yang sekilas bisa digunakan oleh kalangan umum (masyarakat dalam arti yang luas), namun sejatinya menjadi urat nadi para penghisap sumber daya.

Jika terjadi gesekan di lapangan (masyarakat), maka kode operasinya adalah, utamakan untuk menyelamatkan “uang kita” “thats my money, not yours”, jika perlu “membunuh menjadi semacam ibadah”, karena itu akan dinilai sebagai “pahlawan negara”, jika secara kebetulan, bedil pelurumu masih kalah tajam dengan “anak-anak panah” suku-suku “Tribal”, maka nama “harummu” akan diukir dengan tinta emas, akan dikenang sebagai Pahlawan Republik, dan Tuhan akan memberikanmu balas jasa berupa kehidupan yang kekal abadi di surga.

Oleh: Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI, Dapil Papua)

BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT, INALUM Menghisap Papua: INALUM Membeli Saham Freeport $350 Juta (Rp 5,1 Triliun)), Kemudian Menjualnya ke Pemprov Papua & Pemkab Mimika Mencapai $850 Juta (Rp 12,3 Triliun)

Wakil Bangsa Papua – Fakta renegosiasi saham Freeport McMoran yang dibeli oleh Pemerintah Pusat melalui induk holding INALUM secara perlahan membuka tabir penting, terutama menyoal posisi Pemprov Papua dan Pemkab Mimika yang dijanjikan prosentase saham senilai 10% dari total akusisi saham mencapai 51,23% yang dimiliki oleh Indonesia sejak terbitnya rezim kontrak baru di Tahun 2022.

Agar lebih mudah memahami, proporsi saham yang diperdagangkan dalam agenda divestasi yang sudah difinalisasi pada tanggal 21/12/2018, dengan hasil 51,23% komposisi saham milik Indonesia (baca: penggunaan istilah Indonesia, untuk menyimpulkan interest baik oleh Pusat/Daerah sama-sama dikategorikan sebagai “share” milik Indonesia) pada dasarnya membahas dua agenda akuisisi utama, pertama, “participating interest” milik Rio Tinto, dan kedua, “share” milik PT. Indocopper Investama (PT.II), seperti yang tampak pada penjelasan resmi Freeport McMoran sebagai berikut:

PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (PT Inalum), a state-owned enterprise that is wholly owned by the Indonesian government, completed the previously announced $3.5 billion cash acquisition of all of Rio Tinto’s interests associated with its joint venture with PT-FI (Joint Venture), and the $350 million cash acquisition of 100 percent of FCX’s interests in PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (formerly known as PT Indocopper Investama), which owns 9.36 percent of PT-FI. In connection with the transaction, the Joint Venture interests are being merged into PT-FI in exchange for a 40 percent share ownership in PT-FI. As a result, PT Inalum and the provincial/regional government’s share ownership of PT-FI approximates 51.2 percent of PT-FI and FCX’s share ownership approximates 48.8 percent.

Secara garis besar, press release Freeport McMoran memberikan informasi yang bisa dicerna oleh publik nasional, terutama bagi rakyat di Tanah Papua, bahwa INALUM mengakusisi “participating of interest” 40% yang dimiliki oleh Rio Tinto dan “share” 9,36% yang dikuasai PT.IndocoPper Investama (100% milik McMoran). Angka 40% milik Rio Tinto tesebut bukanlah nilai “current” penguasaan saham di PT. FI, akan tetapi berbentuk “interest in certain assets, in the form production exceeding specified annual amounts of copper, gold and silver”. Sehingga nilai sebenarnya jika dikonversi kedalam bentuk saham, berkisar diangka 32,51%. Dengan demikian, ketika menghitung rumus konversi saham di PT. FI, maka menjadi masuk akal apabila nilai penggabungan saham Rio Tinto, PT.II dan Indonesia Share sejak 1990 menjadi 51,23%.

Yang menarik adalah, untuk membeli “participating of interest” milik Rio Tinto, INALUM harus mengeluarkan dana mencapai $107,7 Juta untuk membeli setiap 1% saham yang dimiliki oleh Rio Tinto (nilai ini setara dengan Rp 1,56 Triliun). Namun nilai transaksi ini, jauh berbeda dengan nilai pembelian saham di PT. Indocopper Investama (PT.II) yang dihargai dengan nilai $37,4 Juta untuk setiap pembelian 1% saham (setara dengan nilai Rp 542 Miliar). Maka dapat disimpulkan, terdapat perbedaan perlakuan “nilai saham” antara Rio Tinto dengan PT. II, yang dibeli oleh INALUM.

Sejauh yang sudah dipublikasi oleh Pemerintah, bahwa komitmen penyerahan saham10% kepada Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) akan benar-benar direalisasikan. Namun, yang menjadi pertanyaan besar bagi publik di Tanah Papua, saham yang mana, yang akan diambil alih oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika? apakah saham yang berasal dari Rio Tinto ataukah saham yang berasal dari PT. II.

Kitapun mendapatkan “message” yang jelas, terkait keikutsertaan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, sebagaimana yang disampaikan dalam press release Freeport McMoran, dengan redaksi sebagai berikut “As a result, PT Inalum and the provincial/regional government’s share ownership of PT-FI approximates 51.2 percent of PT-FI and FCX’s share ownership approximates 48.8 percent.” Dalam kesempatan yang lain, Pemerintah menjelaskan bagian saham 10% untuk Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) itu berasal dari saham yang dimiliki oleh PT. Indocopper Investama, dengan komposisi kepemilikan saham di PT.II akan dikuasai oleh INALUM sebesar 60%, dan sisanya sebesar 40% menjadi milik Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika). Kepemilikan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika tersebut akan dilaksanakan oleh BUMD Daerah, melalui PT. Papua Divestasi Mandiri, seperti yang dikonfirmasi oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe pada forum penandatanganan Perjanjian antara Pemerintah Pusat, Pemprov Papua, Pemkab Mimika, dan Inalum, tanggal 12 Januari 2018. Dimana penjabaran kepemilikan Pemprov Papua di PT. Papua Divestasi Mandiri hanya sebesar 3%, sedangkan untuk Pemkab Mimika mencapai 7%.

Disini terlihat jelas, bahwa niat untuk mengakuisisi saham PT. FI, oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe, tidak semata-mata untuk kepentingan birokrasi Pemerintah Provinsi saja, namun, jauh lebih dari itu, Lukas Enembe justru mempersilahkan kepada Pemkab Mimika untuk mengambil nilai proporsi saham, yang jauh lebih besar, 2 kali lipat dibandingkan yang dperoleh Pemprov Papua. Kebijakan Gubernur Papua dalam meng-endorse kepemilikan saham bagi daerah penghasil tambang, di Timika, bukanlah kebijakan yang baru dibuat oleh Gubernur. Dalam kebijakan alokasi anggaran Otsus pun, untuk pertamakalinya dalam sejarah di Tanah Papua, Lukas Enembe menawarkan reposisi pembagian anggaran yang dulunya sebelum tahun 2013, seperti yang dilaksanakan oleh Gubernur-Gubernur sebelumnya, alokasi anggaran otsus diperuntukkan 80% untuk Pemerintah Provinsi Papua, sedangkan sisanya 20% untuk seluruh Kabupaten/Kota di Tanah Papua, kemudian dirubah oleh Lukas Enembe dengan mengajukan kepada Presiden SBY saat itu, agar Kabupaten/Kota menerima jatah 80% porsi anggaran Otsus, dan sisanya 20% diserahkan kepada Provinsi. Kedua subyek kebijakan (baik dana otsus, maupun komposisi kepemilikan saham PT. FI) selalu mendahulukan kepentingan masyarakat kecil di “beranda pelayanan terdepan” yang diwakili oleh daerah daerah otonom Kabupaten/Kota.

Apakah semangat patriotisme dan nasionalisme sejati, seorang Lukas Enembe, kemudian menular secara positif (meng-influence) para pengambil kebijakan di level nasional? untuk berbuat hal yang sama? mengutamakan “keuntungan” yang diperoleh bagi masyarakat dipelosok-pelosok kampung, distrik, gunung, lembah terpencil, kepulauan? ataukah, justru para “decision maker” di level nasional sibuk menghitung, UNTUNG-RUGI yang mereka peroleh, termasuk saat menyerahkan saham 10% ke Tanah Papua? apakah itu benar-benar gratis? atau setidak-tidaknya dilaksanakan dengan niat baik untuk “menolong” Tanah Papua, keluar dari ketergantungan “pendanaan” dari subsidi dan belas kasih Pemerintah Pusat? Mari kita uji hipotesis yang telah disebutkan diatas, dengan mengajukan “fakta” divestasi yang diterapkan oleh INALUM (baca: Pemerintah Pusat) kepada Tanah Papua.

Penjabaran 10% saham yang diserahkan ke Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) sejatinya ter-dilusi kedalam kepemilikan saham PT. Indocopper Investama, yang menegaskan kepemilikan saham Tanah Papua sejatinya bernilai 40% dari komposisi 25% saham PT. II di PT. Freeport Indonesia. Sedangkan INALUM sendiri memiliki 60% dari komposisi 25% saham PT.II di PT. Freeport Indonesia. Dari deskripsi yang telah disebutkan sebelumnya, terlihat bahwa pasca renegosiasi kontrak PT. FI beserta agenda divestasi didalamnya, “share” PT. Indocopper Investama bertambah dari 9,36% menjadi 25%.

Kita pun dapat mengambil kesimpulan, bahwa Otoritas Pemerintah Pusat tetap mempertahankan “split share” diantara PT. II dan saham induk yang dikuasai oleh Pemerintah (ketentuan artikel kontrak 1990). Ini terlihat aneh, sebab, seharusnya “split share” itu tidak perlu dilakukan oleh pihak Indonesia (baca: INALUM), karena akan semakin memperkecil “peran sebagai saham pengendali” di PT. Freeport Indonesia, atau INALUM secara sengaja menyerahkan saham pengendali di PT. FI kepada Freeport McMoran? jika kita mengkonversi kedalam pembagian saham secara proporsional, maka ditemukan angka “share” sebagai berikut: saham terbesar dikuasai oleh Freeport McMoran mencapai 48,8% (tentunya menjadi saham pengendali), kemudian disusul oleh INALUM (INTI) mencapai 26.2%, ketiga dikuasai oleh INALUM (TER-INKORPORASI KE PT.II) sebesar 15%, dan terakhir dimiliki oleh PT. Papua Divestasi Mandiri (milik Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) sebesar 10%. Dalam kesempatan yang lain, akan menarik, jika kita bisa membahas, mengapa INALUM/Pusat mengatur komposisi “split share” sedemikian rupa, sehingga menyerahkan pengelolaan Freeport tetap dikendalikan oleh McMoran. Apakah ini yang disebut sebagai “negosiasi yang terbeli?”

Yang menarik dalam pernyataan resmi Freeport McMoran, mereka mengklaim sebagai berikut: “The arrangements provide for FCX and the pre-transaction PT-FI shareholders to retain the economics of the revenue and cost sharing arrangements under the Joint Venture. As a result, FCX’s economic interest in PT-FI is expected to approximate 81.28 percent through 2022. FCX will continue to manage the operations of PT-FI”. Narasi diatas terlihat aneh, sebab, Freeport McMoran masih mengklaim, bahwa perusahaannya, akan melanjutkan “tradisi” mengelola pengoperasian PT. FI pasca persetujuan kontrak. Jika melihat komposisi saham yang dibagi kedalam struktur pemegang saham, maka terlihat, adalah fakta yang tidak bisa dibantah, McMoran masih menjadi “pengendali saham” di PT. FI, sekalipun Indonesia telah mengklaim membeli 51,23% (publik seperti membaca cerita fiksi, antara ada dan tiada, namun inilah realitas yang sebenarnya terjadi).

Dibalik keanehan struktur pemegang saham yang dibagi-bagi kedalam beberapa “entitas korporasi” berbeda, yang menarik untuk dilihat pula adalah, berapa nilai saham (harga per unit saham) yang ditawarkan ke Pemprov Papua dan Pemkab Mimika setelah INALUM mengakuisisi saham PT. Freeport Indonesia? dalam penjelasan resmi pihak Pemerintah, sebagai harga nilai saham final, INALUM akan menyerahkan 10% saham PT Freeport Indonesia (atau faktanya: 40% komposisi saham PT.II) kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, dengan nilai pinjaman terhutang sebesar $850 Juta atau setara dengan Rp 12,3 Triliun.

Perlu di headline bahwa INALUM memberikan “Pinjaman Utang” kepada Tanah Papua sebesar $850 Juta (Rp 12,3 Triliun) untuk memiliki 40% saham di PT. Indocopper Investama. Yang berarti, INALUM menjual saham PT. II yang dibeli dengan harga $37,39 Juta (setara 542 Miliar) setiap 1% saham yang dimiliki PT.II, kemudian dijual oleh INALUM kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika dengan harga $85 Juta (setara Rp 1,23 Triliun) per 1% saham. Apakah masuk akal, Pemerintah Pusat membeli dengan harga yang murah ke Freeport McMoran, lalu menjual dengan harga 2 kali lipat lebih mahal kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika? dimana hati nurani para pengambil kebijakan di republik ini.

Realitas ini serupa dengan praktek penguasaan “capital” di Tanah Papua, dimana orang-orang asli Papua, seringkali tidak dilayani ketika meminjam uang di perbankan, padahal mereka memiliki “lahan dan sumber daya” untuk membuka berbagai jenis usaha, namun terkendala dengan “ketersediaan modal” yang terbatas. Satu-satunya kesempatan mereka untuk berusaha adalah melalui “pinjaman utang” untuk modal usaha diperbankan. lantas penilaian perbankan terlihat subyektif ketika “melihat orang orang berkulit hitam dan berambut keriting” datang mengajukan pinjaman di Bank (cenderung mengalami rejected). Jika disaat mengunjungi teller bank, tidak menggunakan “emas” disekujur badan, memakai mobil sekelas Fortuner, maka orang orang berambut keriting tidak akan mendapatkan “approve” yang cepat dalam pelayanan “pinjaman perbankan”.

Bahwa orang asli Papua sebagai pemilik sumber daya alam, emas berton-ton yang di ekspor ke luar negeri, plus mineral ikutan yang begitu besar, namun untuk memilikinya, rakyat di Tanah Papua bahkan harus membelinya dengan harga yang jauh lebih mahal, dibandingkan harga yang dibeli oleh INALUM ke Freeport McMoran. Kami pun membaca dengan teliti, bahkan dengan hati hati, dan kami pahami, bahwa salah satu alasan mengapa saham Rio Tinto lebih mahal karena Rio Tinto menguasai jumlah aset yang lebih besar, seperti yang digambarkan oleh McMoran sebagai:  “in the form production exceeding specified annual amounts of copper, gold and silver” yang mencapai 40% dari total keseluruhan produksi PT. FI. Akan tetapi status saham yang dibeli oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, bukanlah saham yang secara signifikan berpengaruh terhadap total “produksi” di PT. FI, yang berarti sama saja dengan status awal PT. II yang bersifat pasif, sekedar untuk memenuhi ketentuan agenda divestasi saham berdasarkan artikel Kontrak Karya 1990.

Maka dibalik judul, BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT, INALUM Menghisap Papua, dimana dalam nalar yang bisa di indera oleh pikiran yang masih sehat, bahwa INALUM Membeli Saham Freeport dengan nilai $350 Juta (Rp 5,1 Triliun, reference kurs BI, 14500, rerata 2-4 Januari 2019), namun menjualnya ke Pemprov Papua & Pemkab Mimika Mencapai $850 Juta (Rp 12,3 Triliun, reference kurs BI, 14500 rerata 2-4 Januari 2019) adalah sebuah fakta yang begitu sangat menyedihkan. Ketika terjadi gejolak ketidakpuasan ditengah-tengah rakyat OAP, yang berusaha “mengekspresikan ketidakpuasan mereka” terhadap sikap Pemimpin Nasional di Tanah Papua, maka stereotip sebagai “gerakan makar” kepada Negara, selalu menjadi narasi ampuh, yang akan disematkan kepada setiap pemikir dan pejuang Tanah Papua, bahkan elit nasional tidak begitu perduli apakah OAP yang bersuara itu sebagai Gubernur, DPRP, MRP, DPR RI, bahkan tokoh-tokoh gereja sekalipun.

BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT, adalah Simbol Penipuan Terbesar Elit Nasional, Yang Terus Dibenarkan, dan Tidak Bisa Diprotes, Karena NKRI itu Harga Mati.

Oleh: Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI Dapil Papua)

Agenda Pengasawasan Kontrak Freeport di Paripurna DPR RI

Wakil Bangsa Papua – Polemik terkait perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia, Tidak hanya menempatkan rakyat dan Pemda di Tanah Papua sebagai “subyek pasif”/ atau sekedar menunggu kesepakatan bisnis yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Korporasi Freeport, akan tetapi posisi Tanah Papua berdasarkan “Otsus Papua yang bersifat lex spesialis” sejatinya menempatkan rakyat dan Pemda Papua sebagai “pemilik hak SDA” yang seharusnya ikut dilibatkan dalam menentukan masa depan pengelolaan SDA yang telah lama menjadi “sumber” bencana kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua, terhitung sejak kontrak PT. Freeport Indonesia di setujui oleh Pemerintah di Tahun 1967 yang mendahului proses referendum pada Tahun 1969. Kini saatnya, di era keterbukaan dan demokratisasi, rakyat di Tanah Papua meminta “hak-hak strategis” dalam pengelolaan GUNUNG EMAS yang selama ini menjadi “monopoli” rezim sentralisasi dan kepentingan kapitalis barat.

Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI – Dapil Papua)

Tanah Papua Dilupakan, Dukungan APBN dan Regulasi Presiden Percepat Pembangunan Smelter Freeport di Gresik

Tanah Papua dilupakan-editWakil Bangsa Papua – Di Tahun 2016 ini, Freeport telah menyepakati pembangunan smelter pemurnian anode slime yang dibangun dikawasan Gresik, Jawa Timur. Pembangunan pemurnian anode slime tersebut dijalankan bersama-sama antara PT. Freeport Indonesia, PT. Aneka Tambang dan PT. Smelting Gresik dengan kapasitas produksi mencapai 6000 Ton anode slime pertahunnya, dengan target menghasilkan produk olahan emas berbentuk dore/ emas batangan yang mencapai 60 Ton pertahunnya (setiap 100 Ton anode slime dapat menghasilkan 1 Ton produk dore/ emas batangan).

Pertanyaannya, apa itu anode slime? anode slime sendiri merupakan produk limbah yang berasal dari hasil pemurnian konsentrat tembaga dengan menghasilkan produk utama berbentuk copper cathode yang mengandung 99,99% tembaga/Cu. Sehingga pembangunan pabrik anode slime bertujuan untuk melanjutkan proses pemurnian produk anode slime agar dihasilkan produk olahan berbentuk emas batangan/ atau dikenal dengan dore.

Pro kontra realisasi pembangunan proyek smelter/ pabrik pemurnian PT. Freeport Indonesia menjadi isu utama yang dipersoalkan oleh rakyat di Tanah Papua, karena Pemerintah Pusat lebih memberikan dukungan regulasi dan pendanaan untuk mensukseskan ambisi pembangunan sejumlah pabrik pemurnian/ smelter di luar daerah penghasil tambang (Tanah Papua). Fakta dukungan Pemerintah Pusat dalam bentuk regulasi dapat dilihat dengan diterbitkannya produk Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2015 yang isinya secara spesifik mengatur pembebasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 10%) terhadap produk anode slime. Produk regulasi berbentuk Peraturan Pemerintah tersebut diterbitkan oleh Presiden Jokowi di tanggal 22 Desember 2015. Regulasi ini diterbitkan oleh Presiden bukannya tanpa sebab, justru kronologis penerbitan PP pembebasan pajak PPN produk anode slime, diawali dengan adanya pertemuan jauh hari sebelumnya yang dilakukan oleh direktur utama PT. Aneka Tambang (Antam) Tato Miraza, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di istana Wapres, pertanggal 12/12/2014, yang isinya menjelaskan permintaan PT. Antam agar Pemerintah memberikan fasilitas kemudahan perpajakan bagi perusahaan yang berniat mengembangkan pabrik pemurnian anode slime. Bentuk dukungan Pemerintah tersebut berupa penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 10%) terhadap produk olahan anode slime.

Realitasnya penghapusan pengenaan pajak PPN terhadap produk olahan anode slime telah dilindungi oleh Peraturan Pemerintah yang diterbitkan Presiden di bulan Desember 2015, sekalipun Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengumumkan target penerimaan negara dari sektor perpajakan di Tahun Anggaran 2015 mengalami defisit Rp 300 Triliun. Sebuah keputusan Presiden yang benar-benar patut dipandang berani dan nekat, untuk menghapus pengenaan pajak PPN ditengah-tengah kelesuan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Kenekatan ini juga patut disayangkan oleh rakyat di Tanah Papua, sebab dukungan berbentuk regulasi yang disertai sejumlah kemudahan fasilitas perpajakan tidak diperuntukkan bagi pembangunan pabrik pemurnian di Tanah Papua (komitmen Presiden terhadap distribusi keadilan pembangunan di koridor ekonomi Papua patut dipertanyakan). Pada kenyataannya dukungan regulasi Pemerintah tersebut dipaksakan kenekatannya untuk memuluskan pembangunan smelter di koridor ekonomi Jawa yang telah crowded/ padat dengan industri manufaktur berkelas internasional.

grafik 1

Selain dukungan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui regulasi yang diterbitkan oleh Presiden, ekspansi smelter di daerah gresik oleh PT. Aneka Tambang juga di dukung dengan fasilitas permodalan yang bersumber dari APBN berbentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) yang mencapai Rp 3,5 Triliun (telah direalisasikan dalam APBN 2015). Kondisi ini justru berbeda, ketika Gubernur Papua bersama DPRP dan MRP mengajukan pembangunan smelter di Tanah Papua, justru dipersilahkan oleh Pemerintah Pusat untuk mencari sumber pendanaan sendiri (tidak ada jaminan dukungan pendanaan dari APBN). Seolah-olah rakyat dan Pemerintah Daerah di Tanah Papua bukan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan pembangunan smelter di wilayah Gresik yang di dorong oleh perusahaan nasional seolah-olah merepresentasikan kepentingan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mewujudkan aspirasi rakyat Papua membangun smelter pemurnian di tanahnya sendiri, tentunya tidaklah mudah. Sebab dibutuhkan sumber pendanaan yang tidak sedikit jumlahnya, disatu sisi sumber pendanaan yang berasal dari anggaran rutin otsus dan APBD masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar dan kebutuhan pelayanan pemerintahan di Tanah Papua. Sehingga tampak mustahil apabila Pemerintah Daerah di Tanah Papua justru direkomendasikan oleh Pusat untuk mencari dukungan pendanaan sendiri agar pembangunan smelter dapat direalisasikan di Tanah Papua. Sekalipun ada potensi pembiayaan utang dari lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB) ataupun China Development Bank (CDB), namun sumber pembiayaan utang luar negeri tersebut hanya diperuntukkan bagi perusahaan nasional berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini dijelaskan dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2015 Pasal 1 huruf 1 dimana permintaan utang kepada lembaga pembiayaan internasional dapat diberikan jaminan Pemerintah Pusat apabila dilakukan antara lembaga keuangan internasional dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam sejumlah regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintah, tampak kebijakan Presiden Jokowi hanya menguntungkan ekspansi kepentingan bisnis yang dijalankan oleh Perusahaan Nasional yang mengutamakan sentralisasi industri di koridor ekonomi Pulau Jawa, dan tidak sedikitpun memberikan dukungan bagi Pemerintah Daerah/ rakyat daerah seperti di Tanah Papua untuk mewujudkan pembangunan industri di daerahnya dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan di koridor ekonomi Papua. Tanah Papua tidak hanya membutuhkan pembangunan jalan, jembatan, lapangan terbang, dan pelabuhan, yang hanya berperan sebagai basic infrastruktur. Lebih dari itu, Tanah Papua membutuhkan lokomotif industri untuk menggerakkan perekonomian daerah dan menciptakan siklus ekonomi penting bagi tersedianya prospek lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga-tenaga terdidik yang berasal dari putera-puteri terbaik di Tanah Papua.

Terdapat alasan yang cukup kuat mengapa Pemerintah Pusat mendukung pembangunan pabrik pemurnian anode slime di daerah Gresik Jawa Timur dan bukan di Tanah Papua. Sebab sejak februari 1996 (awal konstruksi) – finalisasi konstruksi Tahun 2006, di wilayah Gresik, telah dibangun pabrik peleburan dan pemurnian tembaga untuk pertama kalinya dan merupakan satu-satunya di Indonesia dengan kapasitas produksi yang mencapai 300.000 Ton pertahun berbentuk produk olahan “copper cathode”. Pabrik pemurnian copper cathode di daerah gresik tersebut didirikan oleh PT. Freeport Indonesia bersama-sama Perusahaan konsorsium Jepang, dan pengoperasiannya diserahkan kepada Mitsubishi Corporation. Saat ini pabrik pemurnian copper cathode tersebut berada dibawah bendera PT. Smelting Gresik.

Dari tahun ke tahun, fasilitas pemurnian copper cathode yang dikelola oleh PT. Smelting Gresik mengalami permintaan yang cukup besar di pasar Asia Tenggara. Sehingga kapasitas pemurnian konsentrat tembaga yang saat ini telah beroperasi di kawasan PT. Smelting akan diperkuat lagi dengan hadirnya investasi tambahan dari PT. Freeport Indonesia yang bernilai USD 2 miliar atau setara dengan Rp 26,68 Triliun (referensi kurs 11/06/2016 13.339 Rp/USD) untuk membangun pabrik baru pemurnian konsentrat tembaga dengan tambahan kapasitas produksi yang mencapai 2 Juta Ton/tahunnya (2.000.000 Ton/tahun).

Selain target bisnis untuk memenuhi permintaan produk olahan copper cathode yang berasal dari pemurnian konsentrat tembaga, terdapat nilai komersial lain yang menjadi incaran perusahaan nasional seperti PT. Aneka Tambang yaitu prospek bisnis dari pemanfaatan limbah anode slime menjadi produk olahan berbentuk emas batangan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, proses pemurnian produk limbah anode slime akan menghasilkan mineral berharga lainnya yang jauh lebih mahal dibandingkan copper cathode,  berupa emas batangan/ dore.

grafik 2

Berdasarkan grafik diatas, untuk menghasilkan produk olahan berbentuk copper cathode, dibutuhkan sumber konsentrat tembaga sebagai bahan baku yang selanjutnya diolah di pabrik pemurnian yang dikelola oleh PT. Smelting Gresik. Sebagai  bagian dari pemilik saham di perusahaan pemurnian tersebut, PT. Freeport Indonesia pun memenuhi kebutuhan pasokan konsentrat tembaga yang mencapai 70% (mencapai 656.000 Ton/tahun) dari kapasitas produksi yang dimiliki oleh PT. Smelting Gresik, sedangkan sisanya sebesar 30% (mencapai 281.142 Ton/tahun) di pasok oleh PT. Newmont Nusa Tenggara. Sehingga total konsentrat tembaga yang dapat di lebur di PT. Smelting Gresik mencapai 937.142 Ton/tahun. Dengan proses pemurnian konsentrat tembaga yang dilakukan di PT. Smelting Gresik, dapat diperoleh produk olahan berbentuk copper cathode (dengan kadar Cu 99,99%) mencapai 260.000 Ton/tahun. Selain produk utama yang berbentuk copper cathode, proses pemurnian tersebut juga menghasilkan limbah/lumpur anoda/anode slime yang mencapai 1800 Ton/tahun. Disetiap 100 Ton lumpur anoda/anode slime terdapat 1% kandungan emas yang dapat diekstraksi menjadi emas dore, sehingga potensi produk olahan emas batangan/dore yang didapatkan dari pemurnian produk limbah berbentuk anode slime yang diproduksi oleh PT. Smelting Gresik mencapai 18 Ton/tahunnya.

Sayangnya selama ini, potensi ekstraksi/pemurnian anode slime sebagai limbah pemurnian konsentrat tembaga untuk menghasilkan produk utama berbentuk produk emas batangan/ dore, tidak dapat dilakukan di PT. Smelting Gresik, disebabkan ketiadaan fasilitas pemurnian anode slime di pabrik pemurnian milik PT. Smelting Gresik. Sehingga untuk menghasilkan emas batangan/ dore, produk limbah berbentuk anode slime tersebut di ekspor ke Jepang untuk diproses menjadi produk emas batangan. Mengapa produk anode slime di ekspor ke Jepang? justru keputusan itu tidak mengejutkan, sebab perusahaan konsorsium asal Jepang yang dipimpin oleh Mitsubishi Corporation merupakan pemilik sebagian besar saham PT. Smelting Gresik bersama-sama dengan PT. Freeport Indonesia.

grafik 3

Pada dasarnya, kiriman konsentrat tembaga yang berasal dari PT. Freeport Indonesia yang dikirim ke fasilitas pemurnian PT. Smelting hanya mencapai 30% dari kapasitas produksi konsentrat tembaga yang dihasilkan oleh PT. Freeport Indonesia pertahunnya atau setara dengan 656.000 Ton/tahun. Sedangkan sebagian besar sisa produksi konsentrat yang dihasilkan oleh PT. Freeport Indonesia yang mencapai 1.234.000 Ton/tahun atau setara dengan 70% dari total produksi konsentrat tembaga PT. Freeport Indonesia dikirim ke pasar ekspor luar negeri. Dengan kata lain, sebagian besar pengolahan lanjutan produk konsentrat tembaga PT. Freeport Indonesia yang mencapai 70% dilakukan di luar negeri dan hanya 30% diantaranya yang dapat dimurnikan di dalam negeri. Sekalipun demikian, peningkatan pengolahan konsentrat tembaga di dalam negeri yang berasal dari penambangan PT. Freeport Indonesia ditargetkan akan bertambah lagi dengan terbangunnya smelter pemurnian konsentrat tembaga senilai USD 2 miliar (dengan tambahan kapasitas 2 Juta Ton/tahunnya) yang disepakati dalam memorandum of understanding di tanggal 22 Januari 2015 yang masuk dalam skema perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia.

Baik potensi produk limbah anode slime yang saat ini dihasilkan oleh PT. Smelting Gresik (kapasitas 1800 Ton anode slime pertahunnya) maupun dengan bertambahnya potensi limbah anode slime dengan hadirnya smelter baru PT. Freeport Indonesia yang mampu memurnikan 2 Juta Ton/tahunnya konsentrat tembaga, sejatinya merupakan potensi bisnis yang menjanjikan bagi PT. Aneka Tambang (Antam) untuk mendorong ekspansi bisnis pemurnian emas batangan/dore. Sehingga tidak mengherankan PT. Aneka Tambang menyatakan kesiapannya untuk mendanai pembangunan pabrik anode slime dengan dana mencapai 2 Triliun (setelah mendapatkan dukungan PMN dari APBN senilai 3,5 Triliun dan dukungan penghapusan pajak PPN 10%), yang dapat mengolah produk anode slime mencapai 6000 Ton/tahunnya, dengan potensi produk emas batangan/ dore mencapai 60 Ton/tahunnya. Sehingga jika kita menghitung potensi profit yang dapat diperoleh oleh PT. Aneka Tambang dengan merujuk pada harga jual logam mulia (99,99%) per 1000 gram berdasarkan referensi Antam Gold Price yang mencapai Rp 540 Juta (referensi Antam Gold Price per 10/06/2016), maka dapat diketahui potensi pendapatan dari emas batangan seberat 60 Ton/tahunnya yang dapat diperoleh PT. Aneka Tambang mencapai Rp 32,40 Triliun.

Diluar potensi maksimum dengan beroperasinya smelter pemurnian emas batangan/dore yang berkapasitas 60 Ton/tahunnya, saat ini PT. Smelting Gresik telah menyediakan potensi siap pakai dengan kapasitas produksi limbah anode slime yang mencapai 1800 Ton/tahunnya, dengan potensi emas batangan mencapai 18 Ton/tahunnya, sehingga menyediakan sumber pendapatan siap pakai bagi PT. Aneka Tambang yang mencapai Rp 9,7 Triliun. Dengan demikian tidak mengherankan jika Pemerintah Pusat melalui sejumlah kebijakan Presiden, memiliki keberanian dan kenekatan untuk menyediakan fasilitas penghapusan pajak PPN ditengah-tengah defisit penerimaan perpajakan yang melemahkan keuangan APBN dan dukungan Penyertaan Modal Negara untuk mendorong pengembangan bisnis perusahaan nasional, dan turut mempengaruhi kesepakatan pembangunan smelter PT. Freeport Indonesia yang diarahkan pada kepentingan industrialisasi di koridor ekonomi Jawa.

Bangsa Papua Berdikari: Kunjungan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tanah Papua

papua berdikari dan berdialogWakil Bangsa Papua – Kedatangan delegasi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tanah Papua harus dimaknai sebagai bentuk komunikasi Pemerintah Amerika Serikat bersama elemen Local Government (Pemerintah Daerah) yang diatur dalam Permendagri Nomor 3 Tahun 2008 tentang pedoman pelaksanaan kerjasama Pemerintah Daerah dengan pihak luar negeri. Dalam pedoman tersebut, Pemerintah Daerah diperbolehkan untuk mengadakan pembicaraan yang terkait dengan kerjasa sama investasi dalam rangka memperkuat kemandirian daerah (Pasal 6 huruf d).

Mengingat model pengelolaan sumber daya pertambangan yang menjadi tuntutan Pemerintah Daerah di Tanah Papua dengan pihak-pihak terkait dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia masih menemukan jalan buntu. Hal ini terlihat dari konsistensi Pemerintah Pusat yang meneruskan agendanya sendiri berdasarkan konsep dan kepentingan Jakarta.

Memang persoalan kebijakan nasional menjadi relasi kepentingan yang mengikat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam kerangka ketatanegaraan nasional. Namun, disatu sisi pihak terkait yang sedang mengupayakan perpanjangan kontrak yang diwakili oleh kontraktor asing bernama Freeport McMoran dalam rangka melakukan Penanaman Modal Asing di wilayah republik Indonesia, tentunya memiliki Induk Pemerintahan di negeri asalnya yang wajib mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif dinegara asalnya.

Dalam rangka mempertajam aspirasi elemen daerah di Tanah Papua yang menghendaki adanya rezim baru dalam pengelolaan sumber daya pertambangan di Tanah Papua yang sesuai dengan prinsip keberpihakan kepada daerah penghasil, penguatan kemandirian daerah untuk memaksimalkan potensi sumber daya pertambangan di daerahnya sendiri, dan melepaskan ketergantungan kronik yang telah lama menyandera Tanah Papua. Maka dari itu, niat baik ini perlu pula dikomunikasikan dengan holding government dimana Freeport McMoran berasal.

Serangkaian pertemuan di Tanah Papua yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat, tidak boleh hanya sekedar menimbulkan persepsi yang hanya dikaitkan dengan persoalan Kemanan Nasional, isu kedaulatan nasional, dan isu kepentingan Amerika secara sepihak dalam keberlangsungan perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Tetapi lebih dari itu, elemen daerah di Tanah Papua harus secara terbuka dan transparan mengemukakan berbagai argumentasinya yang selama ini menjadi pokok persoalan yang menghambat kemajuan dan pemberdayaan Tanah Papua sebagai daerah yang mandiri dengan sumber daya alam yang dimilikinya.

Keinginan dan aspirasi elemen daerah di Tanah Papua yang menghendaki adanya kemandirian daerah dalam mengelola sumber pendapatan asli daerah yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam strategis yang saat ini masih dikuasai sepenuhnya oleh Freeport McMoran melalui badan usaha multinasional bernama Freeport Indonesia yang beroperasi di Tanah Papua sejak kontrak karya pertama diberlakukan pada tahun 1967, melalui pembaharuan model kontrak karya yang tidak hanya sekedar merubah nama perizinannya menjadi Izin Usaha Pertambangan saja, melainkan secara fundamental harus merubah monopoli kepemilikan korporasi asing tersebut yang harus di distribusikan kepada Local Government (Pemerintah Daerah) di Tanah Papua.

Dalam konteks kepentingan nasional, Pemerintah Pusat telah memiliki saham 9,36% atas pengelolaan sumber daya pertambangan yang dikuasai oleh Freeport McMoran di unit usaha PT. Freeport Indonesia, dengan demikian kini saatnya Pemerintah Pusat merelakan dengan “cinta” dan “keiklasan” sebagian saham yang akan dilepaskan kepada pihak Indonesia, kepada Local Government (Pemerintah Daerah) di Tanah Papua.

Yang perlu disadari oleh Pemerintah Pusat dan kepentingan korporasi asing termasuk Pemerintah Amerika Serikat sendiri, bahwa relasi kepentingan sumber daya alam selama kurun waktu 48 Tahun telah jauh berubah. Dimana pada masa awal-awal kontrak karya itu disepakati oleh pihak Amerika dan Pemerintah Indonesia, berasal dari kesepakatan-kesepakatan pasca penjajahan kolonial belanda. Dan kesepakatan-kesepakatan tersebut, hanya membicarakan kepentingan dalam konteks negara untuk menunjukkan kedaulatan territorial atas Tanah Papua.

Namun, setelah 48 Tahun lamanya, penduduk asli di Tanah Papua telah menyadari dengan sepenuhnya potensi sumber daya alam yang menjadi ajang perebutan atas nama kepentingan negara adikuasa dan kepentingan elit Jakarta. Sulit rasanya untuk menerima kenyataan bahwa selama 48 Tahun, sumber daya pertambagan yang begitu besar di Tanah Papua hanya menjadi objekan kepentingan-kepentingan di luar kepentingan rakyat di Tanah Papua.

Permintaan rakyat di Tanah Papua untuk memiliki sebagian saham dengan besaran 10,64%, bukanlah sebuah penghianatan kepada konstitusi negara kesatuan republik Indonesia, dan bukan pula tindakan yang merampas hak-hak pengelolaan sumber daya pertambangan yang menjadi milik daerah-daerah lainnya di Republik ini. Hal yang normatif dan biasa-biasa saja ketika sebuah daerah pada akhirnya lebih memilih untuk mandiri dan berdikari melalui pengelolaan sumber daya yang ada di daerahnya sendiri.

Pertemuan delegasi Pemerintah Amerika Serikat bersama-sama elemen Local Government (Pemerintah Daerah) di tanah Papua tidak pula harus ditanggapi negatif oleh mereka yang berpandangan sempit, yang selalu membawa-bawa persoalan Papua ke perspektif keamanan nasional dan isu separatisme. Kini saatnya Tanah Papua berani mengemukakan segala keinginan dan kepentingannya kepada siapapun tanpa harus takut dan dibatasi oleh definisi-definisi masa lalu yang sering di cap negatif.

(Part 2) Papua Investment Year 2016: Papuan People Wants Autonomy, Not Subsidies of Central

Papua Investment Want AutonomyWakil Bangsa Papua – Expected government can increase revenues from shareholdings are sourced from: Dividend payout raw mineral production and mineral refining and distribution of Capital Gain (profit share transactions) —— This income entered into Revenue Local Resources Separated.

PI-1

Income distribution pattern by Government of Papua and the Central Government, With Scenario, Central Shares (9.36%), Local Shares (10.64%), and shares of Freeport McMoran (80%): 

PI-2

10.64% Share, Giving Government of Papua Financial Independence:

The Local government Papua, obtaining the Dividends of raw mineral production and refining results based on the amount of shares owned composition. This means that each of the company’s net profit to Freeport will be given the profits to the Government of Papua amounted to 10.64%.

Central should not worry, Production gains dividend received by the local Government are taxable dividend Production, Income Tax Dividends based on Article 23.

The Local government Papua, will also receive a dividend stock transactions (Capital Gains) based on the composition of the shares owned by the local government. On the distribution of dividends the share transaction, the Centre will acquire Shares Dividend Income Tax under Article 4 paragraph 2 of section C.

Where the issue is not just a matter Freeport Royalties and Landrent alone, as questioned by the Coordinating Minister for maritime representing the interests of the Central. Papua region is also concerned with the income of the Freeport mine management to strengthen the decentralization of Government and Regional Financial Independence.

Royalty (Production Fees) = It is the obligation of payment by the company to the Government, which is derived from the sale of minerals. Determination Royalty done at any time of sale of mineral shipment takes place. Freeport currently pays only 1% Gold Royalty, 3.5% Copper (Not in accordance with Regulation 9/2012, namely 3.75% Gold and 4% Copper).

Land Rent (Fixed Fees) = It is the obligation of payment by the company over the use of land mines. Fees Landrent performed at each year based on the area owned by the Contract of Work, or WIUP (Regional Mining License). Calculation Landrent CoW = total area multiplied by the rate / hectare / year.

PI-3

Mineral Reserves and Production of Gold (Aurum) Freeport McMoRan in Papua Largest Around the World. (Source Financial Statements PT. FI 2014) Gold reserves Freeport in Papua – Indonesia amounted to 28.2 Million Ounces and Gold Sales Freeport in Papua – Indonesia 2014 of 1.17 Million Ounces.

PI-4

Papua Ready to Buy Shares of Freeport

Gold Mountain wealth along with copper and silver deposits in the central highlands of Papua is a true wealth of the people and etnic group of Papua (the Papuan indigenous territories). the presence of positive law in the territory of the Republic of Indonesia, change the territory into mineral mining licenses area through contract work 1 & 2 to PT. FI. authorization of Resource Mining can be done by the Government of Papua Province as a representative of the state of Indonesia in Papua.

According to Article 1 point 8 PP 23 Year 2010 on the Implementation of Mineral and Coal Mining, the divestment, is the amount of foreign shares to be offered for sale to the Indonesian participants. Divestment is a legal instrument in conducting the transfer of shares of a foreign investment or foreign investors to the Indonesian government, or a citizen of Indonesia, or Indonesian legal entity. Divestment not only be done by a private legal entity such as a limited liability company, firm, CV, but it can also be done by a public entity such as state, province, district or city. In conducting the transaction is private, public legal entity represented by State-Owned Enterprises (SOEs) or Regional-Owned Enterprises (ROEs).

There are two ways to bid in the the divestment process, which directly and through auction. Offers direct constitute an offer in which a foreign investor directly offer divested shares to the other party. Under the offer, the prospective buyer can approve or reject the offer made by the foreign investor. Offers are directly made to:

1). Government ; 2). Local government ; 3). State Owned Enterprises (SOEs); 4). Regional-Owned Enterprises (ROEs); or 5). National Private Enterprises (NPEs).

While bidding auction a bid by a foreign investor to another party to obtain the highest price. Offers in the auction carried out on:

1). State Owned Enterprises (SOEs); 2). Regional-Owned Enterprises (ROEs); and 3). National Private Enterprises (NPEs).

The procedure for Shares offer contained in the work contract clause jurisprudence PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) in Article 24, paragraph 3-6 is set on:

1). Participants bid; 2). The number of shares offered; 3). Ways to make an offer; 4). The amount of shares offered.

With the termination of the Contract of Work PT. FI in the Year 2021, the Central Government should provide the opportunity for the Region to participate determine New Contract Clause is based on the interests of Papua as producing region.

There are two mechanisms Divestment of Shares 10.64% to the Local Government:

1). Delivery of Direct Shares of Freeport 10.64% to Regions ; 2). Under the provisions of Regulation 77/2014.

Divestment mechanism First

Delivery of Direct Shares of Freeport 10.64% to regions performed, adhering to the principle of local government as the owner of mining lands managed by the contractor (Mining Company). Position Freeport seen as a contractor who rented land mines to the Regions. However, this mechanism is only prevalent in a number of contracts mastery of upstream oil and gas regulated in Law No. 22 of 2001 on Oil and Gas.

The position of the government as the land owner has the right to contract mining and cooperation with the private sector to jointly manage the mining resources controlled by the government known as the Contract of Cooperation in Oil and Gas Upstream management regime.

According to Article 1 point 19, the Cooperation Contract is a Production Sharing Contract or other forms of cooperation contracts in the exploration and exploitation activities are more beneficial to the State and the results are used for the greatest prosperity of the people. Due to licensing mechanism Cooperation Contract management is subject to the Upstream Oil and Gas Law No. 22 of 2001, then the whole process of licensing of oil and gas management is in the hands of the Minister (the central government).

One form of Cooperation Contract in Upstream Oil and Gas management is the Contract PSC (Production Sharing Contract) or PSC. And the good news the Government of Indonesia is known as a pioneer of this contract system. PSC contract itself is essentially a simple idea, that of rice management systems in villages in earlier times known as the anvil system. Under the system of workers who cultivate paddy was received for crops from land owners.

In principle, the PSC put the government as the owner of oil and gas resources while the corporation (a foreign private / private national) acts as tenants. In the PSC mechanism, also arranged sharing provisions of government shares of the 50% and 50% belong to the Contractor.

But the application of legal breakthrough in the management of oil and gas mining mineral management to face a number of obstacles, for reasons of lack of regulation of mineral legislation governing the implementation of this system in the management of mineral licenses.

In addition, this mechanism is also complicated, with a contract extension mechanism that is diverted from the regime Freeport CoW into IUPK regime (Special Mining Permit) under PP 24 Year 2012. Therefore, although it managed to adapt the legal breakthrough in the Oil and Gas Law, which the Cooperation Contract conducted jointly by the authorities license (in this case the Minister for models IUPK) along the Mining Management Company (PT. Freeport Indonesia). Practical space for local governments to enter into contracts directly, it is impossible to be realized with the implementation of IUPK as a substitute Conract of Work.

Divestment Mechanism Second

In the provision of PP / 77 2014 Article 97, paragraph 2, reinforced IUP license holder / IUPK production, in the model of foreign investment (FDI) in this case Freeport McMoran as the majority owner of PT. FI, obliged to make an offer of shares to Indonesian participants in stages, namely:

1.The Provincial Government undertake a consortium with the Government District / Municipality; 2.SOEs and ROEs; 3.NPEs.

In the process of the divestment defined in PP / 77 2014 did not mention whether the position of the Government / Local Government should take over the shares released by foreign private company without having to spend capital. However, in practice the the divestment that occurred in the management of the Contract of Work PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT), the Local Government to purchase shares to Newmont through the consortium together with the Regional Company Private Company.

Studies on the development of mineral mining law a number of recommendations being made by the Government of Papua Province:

1). To prepare a proposal offering the purchase of shares of PT. Freeport Indonesia on behalf of the Local Government Se-province of Papua (if necessary Government of Papua could involve West Papua Province); 2). Soon bids of shares to the PT. Freeport Indonesia (PT, FI) with a fixed coordinate with the Ministry of Energy and Mineral Resources; 3). Papua Provincial Government can set up a scheme to finance capital expenditure of Local Government in order the divestment Freeport include: a). Financing mechanisms local budgets (a consortium of local government); b). Financing using debt mechanism (the National Banking and International); c). Debt agreements together with Freeport McMoran (shares with dividend payments); d). Financing Local Government consortium alongside private companies (this needs to be a critical note, not to be dominated by the interests of private companies).

Using third-party financing, is considered fair conducted by state entities (central and regional), as ever the central government uses debt financing by 24.7% to the national GDP. This means that if the national GDP of Rp 10.000 trillion, the Government has a debt of Rp 2,470 trillion. Third party financing on the purchase of shares by the Government of Papua Freeport deemed profitable (beneficial) considering the potential reserves of gold, copper, and silver, the largest in the world, located in Papua.

 chart PI

Thus the Key to Success of Development in Papua lies in the extent to which the Government of the Province of Papua can independently manage local revenue sources that will strengthen local finance and does not always depend on the sources of funding Budget Center. The purpose of strengthening fiscal management in Papua is in line with the interests of the management of natural resources (contracts Freeport, Freeport the divestment and smelter construction Freeport). At the time President Jokowi, establishes, nawacita agenda, with the aim of making the Republic of Indonesia as the World Maritime Axis, it also means the central government is obliged to build the entire region including Papua archipelago. Domestic Connectivity endorsed by the central government not only makes areas like Papua as a destination market for industries in Java, but is expected to also be the node commodity trading between the islands of Java and Papua with the establishment of industrial bases in Papua.

Position Papua, located side by side with, the Pacific Sea, made the position of the island of Papua play a strategic role in the President’s plan Jokowi to enter into cooperation Trans-Pacific Partnership. Placing the regions of Papua immediately adjacent to the Pacific region, as ever Papua plays an important role. Moreover, the US interest in the mineral industry in Papua. Besides minerals, Papua also rich in hydrocarbon reserves such as those held in the territory of West Papua and South Papua.

(Part 1) Papua Investment Year 2016: Natural Resource Management For Decentralization And Independence

cover PI

Wakil Bangsa Papua – Freeport Investment and The Impact on  Acceleration of Papua Development. Constitutional Basis Management of Natural Resources, Strengthening Decentralization for the Government dan Finance Papua Province.

PI-1

Natural Resources is not only controlled by the State, but organized based on economic democracy with the principles: 1) Togetherness, 2) Efficiency Fair, 3) Independence, 4) etc. (Article 33 Paragraph 4 of the 1945 Constitution) —– Interpreted fair for local and promoting local autonomy.

Centralization Versus Decentralization

The spirit of reformation gave birth to Decentralization (antithesis of centralization). Centralization: management of government affairs which become the absolute authority of the Centre. Decentralization (local autonomy): distribution of government affairs, to the local. Granting autonomy to regions, directed to accelerate the realization of public welfare, through service improvement, empowerment and community participation (the aspirations of local communities). Six affairs of the central government, which become the absolute authority of the Centre: 1) foreign policy, 2) defense, 3) security, 4) monetary, 5) justice, 6) religion. While the management of Mining Resources, entered into the authority which can distributed to the Local (PP 25 of 2000, Article 3, paragraph 3 point 3). Management authority Mineral Resources, by Local aims to strengthen the independence of local, in managing source of local revenue, to achieve the goals of development in local.

Three Key Issues Management Freeport mine for Papua Land

  1. Licensing issues: minerals management regime controlled by PT. Freeport Indonesia still managed centrally, through the regime COW 1 COW 2 regime, and currently IUPK regime (Special Mining Business License).
  2. Shares Divestment issues: The Central Government already has Freeport shares 9.36% and continues to ignore the interests of producing regions such as Papua, to have a 10.64% share, which will be released in the first stage by Freeport McMoran.
  3. Smelter issues: the state policy related downstream mining industry, through the construction of a smelter, was still concerned with industrial development in Java, and ignoring the aspirations of producing region, to build a smelter own locally to strengthen industrialization in Papua.

The Trace of Central Monopoly  In Management of Mineral Freeport in Papua.

A. Regime of COW 1 – PT. Freeport Indonesia, effective since 1967 until 1991.

In the early period of the contract, in 1967, the Papuan people, were never involved in the decision of the management of the mine, which is managed by Freeport. Because in the period 1967 – 1969 was a transitional period of Dutch authority to the Republic of Indonesia, which is marked by the implementation of the Act of Free Choice (Pepera) in 1969. Thus Works Contract Agreement, in 1967 according to the Papuan people is flawed. Freeport should perform a contractual agreement with the authority designated in Papua through the United Nations, and involves the representation of the people of Papua.

Points of agreement, agreed between the Government of the Republic, on the New York agreement, in 1962 until the implementation of the Act of 1969 is not the de facto and de jure submission on West Papua, but the transition period that will be determined by Act of 1969. Thus, all the consequences law, who happens to Contract Work 1 in 1969, is a product the mining law which is not valid because the territory of West Papua is not owned by the de facto and de jure, both by the Dutch as well as by the Government Republic.

In the period of 1966 in Jakarta occurred political upheaval which forced Sukarno handed over power, to restore order and security domestic to General Suharto, through command letter Supersemar (March 11, 1966). Until In March 1967, the Provisional People’s Consultative Assembly (MPRS), stated that General Suharto was president of Indonesia. And at this time, the extension of the CoW 1 – PT. Freeport Indonesia conducted unilaterally by the Government of the Republic, which was originally not ruled de facto and de jure to the territory of West Papua.

CoW 1 in 1967, is the first trace Central Monopoly on natural resource management in the Land of Papua People, by any means, including imposing a contract, which is not under the authority of Jakarta.

B. Regime of  COW 2 – PT. Freeport Indonesia, effective since 1991 until 2021

At the beginning of 1991 (24 years after the first CoW), the national state administration conditions, is still highly centralized, with the growing success of the New Order government, under the Suharto government. In the period of the extension of the CoW 2 – PT. Freeport Indonesia, the people in Papua are not also involved in the management of natural resources own locally, for example through the involvement of Local Government in the province of Irian Jaya at the time.

In the period CoW 2, the central government has control of the de facto and de jure territory of West Papua and changed its name to the province of Irian Jaya. Continuing CoW 1 regime, with the centralized model (the absolute authority of the central) is based on Law No. 11 of 1967 (the principles mining).

Law No. 11 of 1967 put the minerals mined by Freeport, classified as mineral A (gold, copper, silver). On this basis, the authority of regulation and control in the hands of the Central Government through the Minister (Article 4, paragraph 1 Principles of Mining).

By Law No. 11/1967, the period CoW 2, people in Papua do not get a chance to be involved in determining the management of natural resources in their own land.

The authority is centralized, quota of Freeport shares, ultimately only granted to the central government amounted to 9.36% and the National Private Company 9.36% (PT. Indocoper Investama). That in the future, share of PT. Indocoper Investama bought back by Freeport.

C. Special Mining Business License Regime (IUPK) PT. Freeport Indonesia, effective since 2021 until 2041

IUPK regime (Special Mining Business License ), Placing Authority Minister of Energy and Mineral Resources (Central) as the holder of the mineral mining license granting authority. So that, the work contract extension to 2 Freeport will be done through the mechanism of the Central Government.

Interpretation and determination unilaterally of IUPK by the central government, has undermined the spirit of reform that emphasizes the spirit of decentralization in the national constitutional system, the post reform of 1998.

Among the products reform, is the Mining Law 4 of 2009, to the governance of natural resources of minerals, substitute principles of mining, which was considered centralized.

Rules Extension of the Contract of Work, Being IUPK not regulated in the Mining Law No. 4/2009, but only mentioned in Government Regulation No.4 / 2012. Wherein the position of Government Regulation (PP), much lower than the Mining Law  (UU).

What said the Mining Law No.4 / 2009 ???

Article 4, paragraph 1: Minerals … .. as a natural resource that is not renewable, are national assets controlled by the state for the greater public welfare.

Article 4, paragraph 2: The control of mineral … by State referred to in paragraph (1) is held by the Government and / or Local Government.

General Explanation of Mining Law, contains basic thoughts namely in relation to the implementation of decentralization and local autonomy, the management of mineral and coal carried out based on the principle of externality, accountability, and efficiency involving the Government and local government.

So that in implementing the provisions of Article 4, paragraph 1 and 2, and consistent with the main ideas the Mining Law, then management of mineral which is managed by the Freeport, actually can be submitted to the Provincial Government of Papua through a licensing authority Mining Business License (IUP) only (not with IUPK which is currently in the execution of the center, through the centralization of monopoly practices).

What said The Government Regulation (PP) No.24 / 2012 ???

Article 112 B, paragraph 1 and 2 reads:

Paragraph (1): Extension of the Contract of Work and Work Agreement, Concessions, coal mining became IUP as meant in Article 112 paragraph 2 is given by the Minister.

Paragraph (2): To obtain the IUP as referred to in paragraph (1), the holder of the Contract of Work (CoW) and Work Agreement to concessions coal mining must apply to the Minister, the fastest in a period of 2 (two) years and at the latest within a period 6 (six) months, before Contract of Work (CoW) or Work Agreement to concessions coal mining ended.

If we look PP No.24 / 2012, which confirm the position of PP No.23 / 2010 does not mention minerals mining but Coal mining (The smuggling Law Is There?).

Despite the controversy of PP 24/2012 versus Mining Law No.4 / 2009, in fact the regime IUPK be of key importance for the Centre to monopolize all CLAUSE Agreement in Contract Extension includes two key problems of management of mining in Papua, which FREEPORT SHARE ISSUE and FREEPORT SMELTER  ISSUE.

If local government was authorized by the spirit of decentralization Mining Law, then today Papua Land, had not struggled with asking Jakarta, to give the portion of 10.64% share, and certainly smelter built in Papua Land (not in Gresik) —- – Due to the Licensing Authority, is given to producer Region (through regime IUP / not regimes IUPK).

In addition, the Mining Law No.4 / 2009, Decentralized Management of Mining also regulated in Law No. 32/2004 jo Law No. 22/1999 about Regional Government (local government), which required the delegation of authority, in the mining sector which was originally owned by the central government to local government. It is further regulated within PP 25/2000 about Government Authority and Provincial Authority as Autonomous Region in Article 2 paragraph (3) number 3, about Mining and Energy sector.

Monopoly of Central in Licensing, influencing negotiations which just concerned for interest Central. The region (local government) was never invited to speak by the central, about divestment and smelter interest. But after a turbulent region, the Centre only promises smelter, but not with part of share which is fair to Papua Land.

PI-2

PI-3

PI-4

Pengusaha dan Elit Nasional Berburu Freeport, Manipulasi Informasi Melalui Media Nasional

media harapan elit jakartaWakil Bangsa Papua – Menjelang perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia, ramai ramai para politisi nasional yang juga merupakan pengusaha nasional (sekaligus pemilik media nasional) bersama eksekutif pusat (Menko, Menteri, Dirjen) tampil ke media publik (Televisi Nasional) berbicara atas nama rakyat Indonesia tentang apa yang mereka sebut sebagai kedaulatan republik atas pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Yang terlihat aneh, tidak satupun representasi rakyat dan bangsa Papua di undang dalam acara diskusi dan debat publik yang menyoal perpanjangan kontrak Freeport beserta kepentingan penyerta lainnya yaitu saham dan smelter Freeport.

Tidak mengejutkan pula jika secara bersamaan para pengusaha nasional yang dulunya menjadi pemain utama di masa Orde Baru Berkuasa beramai ramai muncul ke permukaan dan tampil seperti Robin Hood yang menawarkan kedaulatan Indonesia dengan catatan anak negeri Indonesia harus bisa memiliki saham sejumlah investasi asing di wilayah Republik. Ketertarikan Arifin Panigoro (pengusaha swasta nasional, pemilik Medco Energi) terhadap saham Newmont di Nusa Tenggara Barat dan persekongkolan politik untuk melemahkan gugatan etik ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) oleh Abu Rizal Bakrie, Cs (salah satu pengusaha sukses di zaman orde baru yang memiliki kekuatan politik yang cukup berpengaruh pada hari ini) juga tidak mengejutkan publik di Tanah Papua.

Munculnya mantan-mantan pengusaha sukses di era Orde Baru yang turut terlibat dalam perebutan kepentingan yang bersinggungan dengan persoalan Freeport merupakan gejala yang sama, pernah terjadi di masa krusial perpanjangan kontrak karya ke 2 di Tahun 1991. Namun bedanya hiruk-pikuk persoalan ini hanya terjadi dilingkaran para pengusaha-elit Jakarta yang dekat dengan Soeharto pada masa itu. Jika Arifin Panigoro menyatakan minat membeli 76% saham Newmont, tentunya bukanlah tanpa alasan bisnis yang kuat. Ini merupakan bagian dari strategi bisnis, setelah melihat prospek bisnis pembangunan smelter di daerah Gresik yang telah disepakati bersama antara dua perusahaan multinasional yaitu Freeport dan Newmont. Tidak ada pengusaha nasional yang tidak tertarik dengan prospek bisnis bersama Freeport. Namun ini aneh, sebab sampai hari ini rakyat dan bangsa Papua masih menolak pembangunan smelter di Gresik.

Smelter Freeport menjelma menjadi lahan bajakan pengusaha nasional, demikian pula saham freeport menjadi rebutan kepentingan Pusat dan Pengusaha Nasional. Dimana keadilan bagi Tanah Papua sebagai wilayah yang memiliki otonomi khusus (lex spesialis), yang seharusnya harapan daerah tentang kemandirian pengelolaan kekayaan daerah menjadi sesuatu hal yang normatif (kemandirian merupakan cita cita berdaerah yang wajib di dorong oleh Pemerintah Pusat baik diminta maupun tidak diminta oleh daerah sebagai perwujudan cita cita pembangunan nasional).

Sejarah romantis pengusaha swasta nasional bersama Freeport pernah terjadi antara tahun 1991 – 2002, dimana pemilik PT. Indocopper Investama yang berhasil mengakuisisi kepemilikan saham Freeport sebesar 9,36%, setelah kewajiban divestasi dilaksanakan untuk memenuhi perpanjangan kontrak karya ke 2 Freeport di tahun 1991, namun dikemudian hari seluruh saham tersebut di jual kembali ke Freeport dengan keuntungan berkali lipat. Sebagai mantan pemilik PT. Indocopper Investama, Abu Rizal Bakrie yang juga sebagai pentolan politisi nasional dimana sang Ketua DPR RI menjadi salah satu loyalisnya, yang pada saat ini terlibat skandal “Papa Minta Saham“, dimana intervensi dari tokoh politik berpengaruh ini, menjadi bagian dari sandiwara untuk menggagalkan persidangan MKD (melalui isu legal standing pelaporan Menteri ESDM dan pembuktian rekaman yang dianggap tidak sah sebagai alat bukti).

Setelah beberapa waktu lalu, Menteri ESDM melaporkan permasalahan etik ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) karena terdapat bukti rekaman pembicaraan Ketua DPR melobi saham PLTA Urumuka untuk kepentingan pribadi sang ketua DPR dan lobi saham Freeport yang ditujukan untuk Presiden dan Wakil Presiden. Disaat bersamaan petinggi partai dan koalisi politik yang terbentuk di awal masa-masa Pemilu dan di awal masa kabinet kerja Jokowi terbentuk, menggalang dukungan dengan menunjukkan aksi solidaritasnya kepada sang loyalis dengan ramai ramai memberikan dukungan kepada sang Ketua DPR.

Dukungan Abu Rizal Bakrie terhadap salah satu loyalisnya tidak mengherankan publik, sebab dirinya pernah menjadi pemain utama dalam transaksi saham Freeport. Ini bukan relasi politik biasa seperti halnya dalam sebuah organisasi politik. Tetapi terdapat jejak masa lalu, dimana Abu Rizal Bakrie sempat menikmati saham Freeport meskipun dengan cara mencicil dengan utang, namun penjualan 100% saham milik PT. Indocopper Investama menjelang krisis 1998 yang turut serta menghapus kewajiban utang anak perusahaan Bakrie Group tersebut, telah memperbesar pundi pundi kekayaan group Bakrie dan semakin memberikan modal yang besar bagi Group Bakrie untuk melakukan ekspansi bisnisnya hingga hari ini. Bisa disebutkan bahwa anak usaha Bakrie Group yang pernah mencicipi saham freeport melalui PT. Indocopper Investama, menempatkan dirinya menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia pada hari ini.

Nama PT. Indocopper juga seperti menegaskan bahwa perusahaan berlogo Indonesia, tidak perduli apakah mereka bermental rampok ataukah benar benar loyalis sejati kepentingan nasional, akan diterima dengan tangan terbuka untuk mendukung investasi bagi kepentingan yang diberi nama “anak negeri republik Indonesia mampu membeli saham freeport“. Kira kira seperti itulah pesan yang tampak mengapa PT. Indocopper Investama mendapatkan jatah saham 9,36% di periode 1991-2002.

Dimasa lalu praktek kekuasaan Pemerintah Pusat yang dijalankan melalui rezim sentralistik, serta dibungkamnya partisipasi publik daerah dalam keputusan keputusan strategis Pemerintah, telah mengakibatkan daerah seperti Tanah Papua mengalami era eksploitasi besar besaran oleh kepentingan elit-pengusaha nasional yang dekat dengan kekuasaan Pusat.

Pada masa itu, praktis tidak ada yang benar benar mengetahui bagaimana pusat dan pengusaha nasional menjatah habis kekayaan sumber daya alam daerah sepertihalnya yang terjadi di Tanah Papua.  Kekuasaan Pemerintah Pusat yang di dukung oleh rezim militer turut mengendalikan setiap pergolakan dan ketidakpuasan masyarakat di daerah. Ini menjadi perkawinan yang lengkap, untuk memuluskan segala transaksi kepentingan elit Jakarta dan jaringan pengusaha nasional, dengan memanfaatkan rezim yang mampu mengontrol dan memanipulasi informasi yang sampai ke daerah.

Di masa awal kontrak karya 1 dan 2, bangsa Papua benar benar buta dan tidak tahu apa apa (era kegelapan bangsa Papua), terkait apa dan bagaimana tanah mereka di jatah habis oleh para elit Jakarta yang memperkaya kelompok mereka dan menjadi penguasa politik pada hari ini.

Terlihat jelas pula pola pengkondisian informasi yang terjadi pada hari ini melalui media nasional. Meskipun era kebebasan berpendapat telah dibuka selebar lebarnya setelah lahirnya era reformasi, namun dalam realitasnya peran media nasional menjadi pemain kunci yang turut menentukan pembentukan opini publik nasional. Dengan kasat mata kita bisa melihat melalui program Televisi nasional, apa tema yang dibicarakan oleh para perancang berita tentang kepentingan Freeport. Semuanya mengarah pada kata kunci informasi diantaranya isu perpanjangan kontrak karya demi kepentingan pusat (dibungkus dengan kata kepentingan nasional), sejumlah Perusahaan BUMN siap membeli saham Freeport (Inalum dan Antam), isu nasionalisasi melalui Perusahaan Nasional milik Pemerintah Pusat, isu kenaikan royalti menjadi 5-6% (tidak cukup dengan hanya 3%), skandal ketua DPR RI meminta jatah saham PLTA Urumuka dan saham Freeport untuk Presiden/Wakil Presiden, pelaporan Menteri ESDM, polemik sidang Etik Ketua DPR di MKD, dan kewajiban smelter Freeport di bangun di Gresik.

Terhadap sejumlah kata kunci informasi yang sengaja di bentuk dan diseminasi melalui media Televisi Nasional, apakah ada seorang pewarta berita nasional yang dapat menyebutkan dalam bentuk apa dan bagaimana persoalan Freeport demi kepentingan rakyat dan bangsa Papua? mengapa para jurnalis Jakarta diam seribu bahasa jika bebicara hak rakyat dan bangsa Papua atas pengelolaan sumber daya pertambangan di daerahnya sendiri?

Sampai sejauh ini, belum ada media Televisi nasional yang berbicara tentang apa dan bagaimana aspirasi rakyat dan bangsa Papua terhadap kekayaan sumber daya alam yang diperebutkan oleh kepentingan investasi perusahaan asing dan perkawinan kepentingan elit dan pengusaha nasional tersebut.

Sejumlah keganjilan pemberitaan yang ditemukan pada suguhan diskusi dan debat terbuka melalui sejumlah media Televisi nasional, dengan mengundang para pengamat politik pusat, meminta pendapat politisi nasional yang tidak terkait dengan dapil Papua, dan konfirmasi dari Kementerian yang dipandang berwenang, hanya menyajikan suguhan informasi yang mendiskusikan bagaimana kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Papua dimiliki oleh Perusahaan A, Perusahaan B, demi kepentingan A, demi kepentingan B.

Ini tentunya menjadi sesuatu yang memalukan dan menggelikan. Mengingat aspirasi rakyat di Tanah Papua tidak pernah ditampilkan saling berhadap-hadapan bersama para elit Jakarta yang berbicara atas nama kepentingan republik. Dengan ini secara rasional kita harus jujur mengatakan bahwa diskusi persoalan freeport oleh elit Jakarta adalah dagelan dan parodi kepentingan pusat yang memuakkan.

Elit Jakarta Ketakutan Jika Rakyat Papua Memiliki Saham Freeport

willem wandik bersama gubernur-2Wakil Bangsa Papua – Perbuatan meminta jatah saham ke PT. Freeport Indonesia (PT. FI) beserta barter kepentingan saham Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka yang terletak di Kabupaten Paniai, yang dilakukan oleh Ketua DPR RI Setya Novanto merupakan perbuatan yang digolongkan kedalam Gratifikasi yang dapat dipidana dengan Undang Undang Tipikor. Pada dasarnya Menteri ESDM tidak hanya cukup melaporkan kasus ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD-DPR), tetapi wajib pula menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pembangunan PLTA Urumuka sebenarnya dilakukan secara bersama-sama antara konsorsium Pemerintah Daerah Papua bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Indra Karya. Berdasarkan perjanjian antara Pemerintah dan pihak PT. Freeport indonesia, nantinya PLTA Urumuka akan dibeli oleh PT. FI yang peruntukannya sebagian besar untuk kepentingan operasionalisasi pertambangan dan sisanya untuk melayani kebutuhan listrik di sejumlah Kabupaten di Tanah Papua. Bahkan pihak Pemda Papua sangat berkeinginan agar operasionalisasi PLTA Urumuka dapat juga dimanfaatkan untuk skenario pembangunan Smelter di Tanah Papua. Sehingga pihak Freeport tidak perlu membangun Smelter pemurnian di daerah Gresik, Jawa Timur.

Namun, kepentingan perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia dan sejumlah isu pembangunan infrastruktur yang terkait dengan perpanjangan kontrak PT. FI, ditangkap oleh jaringan politisi nasional sebagai ladang transaksi yang menggiurkan. Karena jumlah uang yang berputar dalam sejumlah kepentingan investasi PT. Freeport Indonesia mencapai ribuan triliun Rupiah. Tentunya jumlah uang yang begitu fantastis menarik para pengusaha nasional dan sejumlah politisi nasional yang selama ini menjadi pemain utama dalam monopoli proyek-proyek anggaran pusat. Daya tarik proyek investasi Freeport tidak kalah besarnya dengan dana yang dikelola oleh APBN Nasional sebesar 2000 Triliun Rupiah disetiap tahunnya. Inilah alasan mengapa mata para pelobi kepentingan pusat sedang melihat Tanah Papua sebagai hidangan keuntungan yang menggiurkan dan menggunakan berbagai macam cara untuk merebutnya.

Melalui jaringan politisi nasional yang juga bagian dari pengusaha-politisi yang terbilang berkuasa di Republik ini, menghendaki agar PT. Freeport Indonesia menyerahkan kepemilikan saham PLTA Urumuka sebesar 49%, dengan janji akan memuluskan perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia menjelang tahun 2019 mendatang. Tidak hanya itu, jaringan pengusaha-politisi yang menjabat sebagai Ketua DPR RI tersebut meminta jatah saham yang dimiliki Freeport sebesar 20% untuk diberikan kepada Presiden dan Wakil Presiden melalui Menkopolhukam Luhut Pandjaitan.

Melihat realitas lobi jaringan pusat yang secara nyata membajak sejumlah proyek penting di Tanah Papua, semakin memperkuat bukti banyaknya pengusaha dan politisi nasional yang memanfaatkan proyek strategis di Tanah Papua. Sepertihalnya dalam kasus proyek infrastruktur, melalui lembaga legislatif dan eksekutif pusat, disetiap tahunnya banyak anggaran yang diturunkan ke daerah, namun dalam proses eksekusinya mayoritas dikuasai oleh jaringan pengusaha nasional yang difasilitasi oleh politisi dan birokrat pusat.

Kedepannya, hal ini harus menjadi catatan penting dalam penyelenggaraan proyek-proyek daerah yang menggunakan anggaran transfer pusat. Selain itu yang terpenting pula, agar pengelolaan keuangan daerah tidak lagi bergantung pada mekanisme pusat. Sebab selama ini, mekanisme penganggaran pusat telah banyak memberikan jalan bagi pengusaha nasional dan politisi nasional untuk bermain mengambil keuntungan proyek di Tanah Papua.

Solusi terbaik bagi Pemda Papua yaitu fokus melakukan perbaikan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dilakukan melalui optimalisasi pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kewenangan daerah. Sampai sejauh ini, aturan main dalam undang undang Minerba masih di kebiri oleh Pemerintah Pusat. Prinsip yang dikedepankan dalam regulasi undang undang Minerba yaitu pengelolaan sumber daya pertambangan mineral yang dimanfaatkan untuk kepentingan penyehatan keuangan daerah. Dengan kata lain, Pemda Papua berkewajiban mengelola sumber daya daerah untuk mencapai kemandirian pengelolaan keuangan daerah.

Jika pengelolaan pertambangan Freeport menjadi kewenangan daerah, maka daerah dapat berupaya meningkatkan PAD nya secara mandiri. Yang terpenting pula, mekanisme pembahasan anggaran melalui PAD akan menjadi wewenang sepenuhnya Pemda Papua, DPRP, dan representasi MRP. Daerah Kabupaten/Kota dapat pula menerima dana transfer pengelolaan SDA melalui mekanisme yang disepakati di daerah.

Jika seluruh mekanisme pengelolaan SDA, penerimaan pendapatan dari sektor SDA, dan pembahasan distribusi anggaan dilakukan oleh daerah sepenuhnya, maka rakyat di Tanah Papua tidak perlu bersusah payah mengutus tim lobi anggaran disetiap tahunnya melalui mekanisme yang berlangsung di birokrasi dan legislatif pusat. Pengelolaan yang dilakukan oleh daerah akan memudahkan masyarakat daerah dalam hal melakukan pengawasan dan meminta pertanggung-jawaban pengelolaan keuangan daerah melalui mekanisme DPRP, DPRD Kabupaten/Kota dan MRP. Bahkan peran MRP dapat diperluas dalam pengawasan anggaran daerah yang bersumber dari PAD daerah melalui penetapan Perdasus Tanah Papua.

Yang perlu dipahami oleh masyarakat daerah, bahwa mekanisme pertanggung-jawaban anggaran bergantung pada sumber pendanaan tersebut berasal. Jika mayoritas sumber pendanaan berasal dari subsidi pusat misalnya dalam transfer dana otsus, maka mekanisme pertanggung-jawabannya wajib melalui mekanisme pusat. Hambatan yang selama ini ditemukan dalam implementasi program pembangunan di Tanah Papua yaitu perbedaan definisi yang mengemuka antara definisi satuan anggaran yang ditetapkan oleh pusat dan definisi operasional yang dibutuhkan di Tanah Papua. Sehingga mengakibatkan banyak kepentingan program pembangunan di daerah yang sangat mendesak dan dibutuhkan daerah, namun tidak termasuk dalam definisi satuan anggaran yang ditetapkan oleh Pusat, akan dinilai menyimpang apabila di intervensi oleh anggaran yang disediakan oleh pusat. Pada gilirannya, mengakibatkan sejumlah kepentingan pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat di daerah, tidak pernah dapat dituntaskan.

Saya sering menyerukan dalam rapat Komisi V, agar Pemerintah Pusat tidak boleh memberikan penyamaan definisi antara daerah-daerah yang ada di Republik ini dengan daerah seperti Tanah Papua. Sebab konteks pembangunan infrastruktur di Tanah Papua dihadapkan pada kondisi yang berbeda baik dari sudut pandang kekhususan Papua, maupun dalam konteks kultural dan teknis pembangunan. Misalnya untuk membangun jalan di daerah pegunungan tengah, pertama-tama anggaran akan terserap sangat banyak untuk mendistribusikan alat berat ke daerah pegunungan karena harus menggunakan angkutan pesawat. Selain itu, terdapat prosesi adat yang dilakukan sebelum proses teknis pengerjaan jalan dilakukan dan prosesi adat tidak masuk kedalam satuan anggaran yang dihitung dalam transfer anggaran Pusat. Selain itu, struktur tanah yang mudah bergerak di kawasan pegunungan tengah, menjadikan teknis pembangunan jalan tidak cukup dengan hanya mengaspal jalanan, tetapi harus dilengkapi dengan teknis pembangunan jalan dengan struktur beton dan baja. Tidak sampai disitu saja, pembangunan jalan ternyata membutuhkan material yang harus didatangkan dari Pulau Jawa, sehingga berdampak pada tingginya biaya logistik. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, faktor lainnya yang sering menimbulkan kesenjangan di Tanah Papua adalah monopoli pengerjaan proyek infrastruktur di Tanah Papua yang tidak melibatkan pengusaha asli Papua, melainkan dikelola melalui jaringan pengusaha nasional.

Dengan demikian, selama mekanisme penganggaran mayoritas dikuasai oleh mekanisme transfer pusat, maka selama itu pula Tanah Papua tidak akan pernah mandiri menentukan prioritas pembangunan di daerahnya sendiri. Selama ini anggaran yang dikirim ke daerah telah dilengkapi panduan teknis dari pusat tentang apa, dan dimana saja anggaran itu boleh digunakan. Padahal daerah memiliki kondisi dinamis yang tidak dapat ditetapkan secara kaku dalam menentukan prioritas penggunaan anggaran bagi kebutuhan masyarakat daerah.

Banyak politisi dan pengusaha nasional yang ketakutan, jika seluruh Pemda Papua berhasil merebut kepentingan saham Freeport. Sebab ini akan memotong tangan-tangan yang berkuasa mengontrol dan mengendalikan peruntukan anggaran di Tanah Papua. Klaim transfer anggaran yang besar ke Tanah Papua, ternyata disusupi oleh kepentingan proyek politisi nasional dan birokrat nasional pula. Terlihat pola yang terbilang sistematis, seolah-oleh Pusat yang memberikan dana besar bagi daerah dan Pusat pula yang mengendalikan siapa-siapa rekanan pengusaha yang boleh ikut serta bermain dalam proyek anggaran yang di transfer ke daerah.

Setahun lamanya semenjak dilantik menjadi anggota Parlemen Pusat, saya semakin menyadari bahwa tidak ada anggaran yang gratis ke daerah, semuanya melalui mekanisme lobi yang ditetapkan melalui birokrasi pusat dan legislatif pusat (politisi-pengusaha nasional). Bahkan seorang Pejabat Gubernur dan Bupati sekalipun, harus rajin mengunjungi para pejabat pusat untuk mendapatkan alokasi anggaran di daerahnya masing-masing. Sehingga untuk menjadi pejabat Gubernur dan Bupati yang sukses, cukup dengan memiliki keahlian lobi dengan sejumlah pejabat pusat, agar pengalokasian anggaran dapat masuk ke daerah dan pada gilirannya akan terlihat seperti berhasil membangun daerah.

Bangsa Papua Menggugat Republik

menggugat republik indonesiaWakil Bangsa Papua – Perumusan Trias-Resolusi Pengelolaan Sumber Daya Alam di Tanah Papua diwujudkan kedalam tiga isu utama yaitu pertama masalah Perizinan yang masih dikuasai oleh Pemerintah Pusat, kedua permasalahan kepemilikan saham PT. Freeport Indonesia yang dimonopoli oleh jaringan Pusat, dan ketiga permasalahan hilirisasi pertambangan “Smelter” yang fokus pada kepentingan industrialisasi di Pulau Jawa.

Saat ini melalui media nasional, elit Jakarta berusaha mengalihkan pandangan publik nasional dan publik di Tanah Papua, terkait klausul perpanjangan kontrak yang disepakati oleh Pemerintah Pusat bersama pihak Freeport, melalui polemik kenaikan royalty yang seharusnya di terima oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat tidak sedang berniat untuk membicarakan negosiasi royalty kepada pihak Freeport, karena target utama Pusat adalah melengkapi kepemilikan saham menjadi 20% menjelang akhir Tahun 2015 ini. Perlu diketahui oleh publik di Tanah Papua, bahwa saat ini Pemerintah Pusat telah menguasai 9,36% kepemilikan saham PT. Freeport Indonesia. Dan sasaran selanjutnya adalah Pusat berusaha dengan berbagai cara termasuk tetap mempertahankan rezim sentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua untuk menekan Pemerintah Daerah di Tanah Papua agar melupakan niat untuk memiliki saham di PT. Freeport Indonesia, yang sedianya harus dilepaskan oleh pihak Freeport di Tahun 2015 ini sebesar 10,64%.

Kemandirian merupakan kunci sukses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang telah menjadi tujuan dari perubahan sistem ketatanegaraan nasional yang lahir pasca era reformasi. Para ahli Tata Negara menyebut penguatan sistem pemerintahan daerah dan penguatan kemandirian daerah untuk mengelola potensi di daerah untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya pembangunan rakyat di daerah disebut sebagai rezim desentralisasi.

Saat ini pendanaan fungsi Pemerintahan Daerah di Tanah Papua mayoritas mengalami ketergantungan terhadap sumber pendanaan Pusat, hal ini bisa dibuktikan dengan tingginya bantuan pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pusat yang mencapai 95,66% (Rp 40 Triliun) terhadap seluruh sumber pendanaan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Papua. Sedangkan sisanya berasal dari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua beserta seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua dengan besaran kemampuan pendanaan yang hanya mencapai 4,34% (Rp 1,8 Triliun).

Besaran subsidi Pemerintah Pusat ke Tanah Papua yang mencapai 95,66% (angka ini belum memasukkan Provinsi Papua Barat), menunjukkan tingginya ketergantungan Tanah Papua terhadap Jakarta. Subsidi Pusat yang mencapai 95,66% atau sebesar Rp 40 Triliun merupakan total dana transfer pusat yang terdiri dari Transfer Dana Perimbangan sebesar Rp 26,95 Triliun dan transfer dana lain-lain (termasuk dana otsus) yang mencapai Rp 13,07 Triliun. Dari total Rp 26,95 Triliun transfer dana perimbangan ke seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua, terdapat 75,05% (Rp 20,22 Trilun) dalam bentuk transfer Dana Alokasi Umum (DAU), sebesar 13,84% (Rp 3,72 Triliun) dalam bentuk transfer Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sebesar 11,12% (Rp 2,9 Triliun) dalam bentuk transfer Dana Bagi Hasil. Sedangkan besaran transfer dana lain-lain yang mencapai Rp 13,07 Triliun terdiri dari komposisi transfer dana penyesuaian dan otsus untuk seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua yang mencapai Rp 9,5 Triliun.

Setelah mengetahui seberapa parah ketergantungan Tanah Papua dalam menjalankan fungsi desentralisasi Pemerintahan Daerah terhadap sumber pendanaan yang selalu mengharapkan subsidi Pemerintah Pusat, tentunya hal ini merupakan contoh pelaksanaan otonomi daerah yang gagal menjadikan Tanah Papua sebagai daerah yang mampu menjalankan fungsi Pemerintahan dan fungsi pembangunan di daerah. Kegagalan Tanah Papua untuk memperbesar kapasitas pengelolaan sumber pendanaan yang berasal dari kekuatan daerah sendiri, selama ini dibatasi oleh kepentingan pengelolaan sumber daya alam yang sangat besar oleh Pemerintah Pusat. Sehingga daerah seperti Tanah Papua, tidak mendapatkan peran yang cukup untuk mengontrol dan mengelola sumber-sumber pendapatan asli daerah.

Kontrol yang begitu sangat besar terhadap pengelolaan sumber-sumber pendapatan Pusat di Tanah Papua, melalui sentralisasi pengelolaan sumber daya alam, sejatinya sangat merugikan Tanah Papua sebagai daerah penghasil yang berkepentingan dengan pembangunan dikawasannya sendiri. Pandangan publik di Tanah Papua dikelabui oleh hitung-hitungan subdisi Pemerintah Pusat melalui transfer sejumlah pendanaan bagi Pemerintahan Daerah di Tanah Papua. Termasuk di dalamnya alokasi dana Otsus yang seringkali disebut-sebut sangat besar oleh Pemerintah Pusat.

Tanah Papua tidak memiliki cara lain untuk merebut kepentingan pengelolaan keuangan daerah yang benar-benar sehat dan mandiri, serta melepaskan diri dari mentalitas meminta-minta kepada Pemerintah Pusat. Saat ini kesempatan di depan mata telah hadir bagi bangsa Papua untuk merebut salah satu kepentingan dari Tiga Isu Utama (Trias Resolusi Pengelolaan Sumber Daya Alam di Tanah Papua) yaitu dengan merebut kepentingan saham sebesar 10,64% yang saat ini sedang berusaha di rebut dengan berbagai macam cara oleh kepentingan Jakarta.

Mengapa Tanah Papua butuh 10,64% saham PT. Freeport Indonesia saat ini? pertanyaan yang sama pula bagi Elit Jakarta, mengapa Jakarta berambisi untuk merebut kembali 10,64% saham yang dimiliki oleh PT. Freeport Indonesia? Bukankah Jakarta sudah menguasai 9,36% saham milik PT. Freeport Indonesia?

Pertanyaan diatas menggugah keingintahuan kita semua, mengapa Jakarta sangat berambisi untuk merebut porsi saham sebesar 10,64%, untuk menggenapi kepemilikan saham PT. Freeport Indonesia oleh Pusat menjadi 20%. Perebutan kepentingan saham saat ini oleh Jakarta, jauh lebih penting dibandingkan Pemerintah Pusat membicarakan negosiasi Royalty yang diterima oleh Pemerintah dari setiap produksi pertambangan yang dikuasai oleh PT. Freeport Indonesia. Sebab pendapatan dari kepemilikan saham, pada faktanya jauh lebih besar dari sekedar meributkan berapa besar Royalty yang di peroleh oleh Pemerintah.

Untuk mengetahui sejauh mana, dampak kepemilikan saham di PT. Freeport Indonesia menentukan seberapa besar perolehan keuntungan yang dapat diterima oleh Pusat apabila mereka mampu menambah alokasi saham yang dimiliki oleh PT. Freeport Indonesia. Mari kita memulai analisis kali ini dengan mentracking data sebulan terakhir transaksi saham Freeport McMoran, Inc. (induk PT. Freeport Indonesia), untuk menghitung seberapa besar share (particapiting of interest) dari komposisi saham PT. Freeport Indonesia terhadap transaksi saham di Bursa Saham Newyork (New York Stock Exchange) yang diwakilkan oleh Induk Perusahaan Freeport McMoran, Inc., tentunya kita harus membuka data transaksi saham yang dimiliki oleh Perusahaan multinasional tersebut.

Dengan melihat data transaksi saham Freeport McMoran, Inc., sebulan terakhir dapat memberikan referensi kepada rakyat di Tanah Papua, seberapa besar perputaran uang yang dapat dikuasai secara langsung oleh para pemilik saham, termasuk saat ini nilai saham yang telah dikuasai oleh Pemerintah Pusat di PT. FI (9,36%), dan perebutan kepentingan saham sebesar 10,64% saham tambahan PT. FI oleh kepentingan Pusat dan rakyat di Tanah Papua.

Perhitungan nilai transaksi saham Freeport McMoran, Inc., dimulai dari 15/September/2015 – 15/Oktober/2015 yang tercatat dalam New York Stock Exchange, menunjukkan nilai volume transaksi di tanggal 15/September/2015 sebesar 28 Juta dengan mean harga pervolume saham sebesar 11,3 USD sehingga total nilai transaksi mencapai 316,4 Juta USD, transaksi di tanggal 16/September/2015 volume sebesar 29,8 Juta (mean 11,63 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 347,2 Juta USD, transaksi di tanggal 17/September/2015 volume sebesar 48,8 Juta (mean 12,08 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 589,4 Juta USD, transaksi di tanggal 18/September/2015 volume sebesar 79,1 Juta (mean 10,99 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 869 Juta USD, transaksi di tanggal 21/September/2015 volume sebesar 33,2 Juta (mean 10,71 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 354,9 Juta USD, transaksi di tanggal 22/September/2015 volume sebesar 91,5 Juta (mean 10,25 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 937,4 Juta USD.

Nilai transaksi saham di tanggal 23/September/2015 volume sebesar 34 Juta (mean 10,32 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 350,8 Juta USD, transaksi di tanggal 24/September/2015 volume sebesar 46,9 Juta (mean 9,85 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 462,2 Juta USD, transaksi di tanggal 25/September/2015 volume sebesar 46,4 Juta (mean 9,84 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 456,7 Juta USD, transaksi di tanggal 28/September/2015 volume sebesar 49,3 Juta (mean 8,99 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 443,7 Juta USD, transaksi di tanggal 29/September/2015 volume sebesar 27,2 Juta (mean 9,11 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 248,2 Juta USD, transaksi di tanggal 30/September/2015 volume sebesar 42,1 Juta (mean 9,51 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 400,9 Juta USD.

Nilai transaksi di tanggal 1/Oktober/2015 volume sebesar 31,3 Juta (mean 9,82 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 307,1 Juta USD, transaksi di tanggal 2/Oktober/2015 volume sebesar 39,5 Juta (mean 10,14 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 400,7 Juta USD, transaksi di tanggal 5/Oktober/2015 volume sebesar 38,4 Juta (mean 10,9 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 418,9 Juta USD, transaksi di tanggal 6/Oktober/2015 volume sebesar 53,9 Juta (mean 11,62 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 626,1 Juta USD, transaksi di tanggal 7/Oktober/2015 volume sebesar 93,7 Juta (mean 12,84 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 1202,5 Juta USD, transaksi di tanggal 8/Oktober/2015 volume sebesar 52,3 Juta (mean 13,17 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 688,3 Juta USD, transaksi di tanggal 9/Oktober/2015 volume sebesar 51,7 Juta (mean 13,69 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 707,6 Juta USD, transaksi di tanggal 12/Oktober/2015 volume sebesar 30,7 Juta (mean 13,04 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 400,1 Juta USD, transaksi di tanggal 13/Oktober/2015 volume sebesar 30,89 Juta (mean 12,64 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 390,3 Juta USD, transaksi di tanggal 14/Oktober/2015 volume sebesar 27,6 Juta (mean 12,78 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 352,8 Juta USD, dan transaksi di tanggal 15/Oktober/2015 volume sebesar 25,9 Juta (mean 13,02 USD) dengan nilai transaksi saham mencapai 337,6 Juta USD.

Dengan demikian sepanjang sebulan transaksi (periode 15/September/2015 – 15/Oktober/2015 ) total transaksi saham Freeport McMoran Inc., mencapai 11,6 Miliar USD atau setara dengan Rp 156 Triliun (referensi Kurs 13449,38 per USD tanggal 15/Oktober 2015). Perlu menjadi catatan penting, bahwa penggunaan data sebulan terakhir di Bulan September – Oktober 2015 merupakan penggunaan salah satu nilai rujukan terendah nilai transaksi saham Freeport McMoran Inc., disepanjang periode 2015 ini, sebagai dampak dari penurunan harga emas dunia. Untuk memahami pergerakan nilai saham Freeport McMoran Inc., disepanjang Tahun 2015 ini dapat dilihat sebagai berikut: nilai mean saham di bulan Oktober (1/Oktober – 21/Oktober) sebesar 12,17 USD, nilai mean saham di bulan September (1/September – 30/September) sebesar 10,43 USD, nilai mean saham di bulan Agustus (1/Agustus – 31/Agustus) sebesar 10,17 USD, nilai mean saham di bulan Juli (1/Juli – 31/Juli) sebesar 15,40 USD, nilai mean saham di bulan Juni (1/Juni – 30/Juni) sebesar 19,84 USD, nilai mean saham di bulan Mei (1/Mei – 31/Mei) sebesar 22,12 USD, nilai mean saham di bulan April (1/April – 30/April) sebesar 20,19 USD, nilai mean saham di bulan Maret (1/Maret- 31/Maret) sebesar 19,12 USD, nilai mean saham di bulan Februari (1/Februari – 28/Februari) sebesar 19,90 USD, dan nilai mean saham di bulan Januari (1/Januari – 31/Januari) sebesar 20,32 USD.

Dengan referensi terendah nilai saham di bulan September – Oktober 2015, nilai transaksi saham Freeport McMoran mencapai Rp 156 Triliun, bagaimana dengan potensi transaksi saham selama setahun? Freeport McMoran dapat melipatgandakan keuntungan saham mereka selama setahun hingga mencapai  Rp 1872 Triliun (dengan referensi nilai transaksi terendah dan asumsi sepanjang setahun sama). Tentunya Freeport McMoran merupakan induk perusahaan PT. Freeport Indonesia yang menguasai cadangan emas terbesar dikawasan kepulauan pasifik yang terletak di Tanah Papua. Berapapun kontribusi PT. Freeport Indonesia terhadap transaksi saham di induk Perusahaan Freeport McMoran di New York Stock Exchange, faktanya nilai transaksi dengan asumsi nilai saham terendah yang secara konstan diperoleh disepanjang satu tahun, memiliki potensi pendapatan yang mencapai Rp 1872 Triliun. 

Besaran pendapatan saham yang mencapai Rp 1872 Triliun, hanyalah nilai transaksi dari hasil memperdagangkan setiap lembar saham yang ditawarkan ke publik internasional, melalui presentasi portofolio kekayaan yang dimiliki oleh Freeport McMoran termasuk kekayaan gunung emas yang tidak terbatas di Tanah Papua. Melalui transaksi saham di New York Stock Exchange, sejatinya Freeport juga turut serta memperjualbelikan seluruh cadangan emas di pegunungan tengah Tanah Papua (baik cadangan proven dan cadangan probable) disetiap harinya untuk menarik keuntungan pendanaan dari seluruh dunia. Perhitungan diatas belum membahas seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi konsentrat mineral emas dan hasil produksi olahan emas melalui smelter yang dapat diperoleh oleh Freeport McMoran.

Inilah sebabnya mengapa Pemerintah Pusat berusaha dengan berbagai macam cara untuk mengendalikan arus informasi yang boleh/tidak boleh dicerna oleh publik nasional, termasuk rakyat di Tanah Papua. Seolah-olah isu utama Pemerintah Pusat pada hari ini adalah menegosiasikan kenaikan pendapatan negara dari sektor royalty. Dan berusaha menutup rapat-rapat setiap informasi yang mengaitkan ambisi Pusat untuk menambah presentasi kepemilikan saham, yang sebelumnya hanya sebesar 9,36% menjadi 20%, melalui perebutan kepemilikan saham yang wajib dilepaskan oleh PT. Freeport Indonesia sebesar 10,64%.

Kepentingan Tanah Papua pada hari ini adalah menagih komitmen Pemerintah Pusat untuk menjalankan perintah konstitusi dalam rangka memperkuat peran desentralisasi Pemerintahan Daerah di Tanah Papua, dimana daerah merupakan ujung tombak pelaksanaan setiap fungsi-fungsi Pemerintahan dan fungsi pembangunan. Mengendalikan dan mengontrol pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang saat ini dikuasai oleh PT. Freeport Indonesia yang dilakukan oleh rezim sentralisasi yang bertahan hingga hari ini, telah menjadikan Tanah Papua sebagai daerah yang terus menerus mengalami ketergantungan pendanaan dari subsidi Pusat. Tampak kontras dengan pengelolaan kekayaan alam yang melimpah di Tanah Papua, justru melahirkan kemiskinan absolut bagi sebagian besar rakyat di Tanah Papua.

Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia di Tanah Papua, tergantung dari seberapa serius Republik ini dapat memberikan hak konstitusional rakyat di Tanah Papua untuk hidup secara bebas dan merdekamerdeka dari kontrol pengelolaan sumber daya alam, merdeka dari neo-kolonialisme korporasi dan kepentingan elit Jakarta, merdeka dari ketergantungan subsidi Pemerintah Pusat, merdeka dari pemiskinan secara sistematis melalui perampasan hak pengelolaan sumber daya alam yang masih sentralistik“. Inilah tujuan dari esensi bangsa Papua Menggugat Republik, sebab para stakeholder di Tanah Papua masih menaruh kepercayaan kepada Republik ini, untuk benar-benar menegakkan konstitusi dan menjadikan bangsa Papua sebagai bangsa yang setara dalam membangun peradaban bangsa-bangsa nusantara.