Willem Wandik (Wakil Bangsa Papua)

Beranda » Human Rights

Category Archives: Human Rights

NATAL 2019: TRAGEDI PENGUNGSIAN NDUGA, PEJUANG HAM DI TUNTUT PASAL MAKAR, PERAYAAN NATAL DALAM KETAKUTAN & PENJARA DI NEGERI PANCASILA

Kader GAMKI “Billy Mambrasar” Menjadi Stafsus Presiden, Milenial Tanah Papua Untuk Konsep Indonesia Sentris

DPP-GAMKI – Presiden Jokowi membuat keputusan yang mengejutkan banyak orang, dengan masuknya anak-anak muda dari generasi milenial, menduduki jabatan penting sebagai Staf Khusus Presiden, yang akan menjadi teman diskusi Presiden Jokowi dan melengkapi visi Presiden untuk menghadirkan “inovasi” dan cara kerja berbeda, dalam mengeksekusi kebijakan pembangunan di periode kedua, terutama mewujudkan visi pembangunan manusia dan memantapkan visi Indonesia sentris, menuju Indonesia yang lebih maju.

Presiden Jokowi sepertinya sadar betul, untuk mewujudkan visinya yang terbilang ambisius di sisa periodisasi masa jabatannya untuk 5 tahun kedepan, sang Presiden sangat membutuhkan pikiran dan inovasi generasi muda milenial, terutama, dalam mewujudkan agenda pembangunan yang sesuai dengan tantangan zaman, era dimana inovasi diberbagai sektor teknologi informasi, bisnis, sosial politik, banyak diperankan oleh generasi milenial.

Indonesia juga sepertinya belajar dari dinamika geopolotik yang terjadi di Hongkong, dimana, dalam waktu 9 bulan sejak demonstrasi pertama bergulir, di bulan April 2019, massa yang mulanya menuntut penghapusan UU ekstradisi, berkembang menjadi demonstrasi yang menuntut pemberlakuan demokratisasi yang lebih luas di Hongkong, yang dimotori oleh pergerakan generasi milenial Hongkong, yang terdiri dari Mahasiswa, Pelajar dan kaum muda Hongkong.

Kekuatan sebuah negara, dalam menghadapi tantangan global di era saat ini, terletak pada seberapa produktifnya generasi muda milenial di negara tersebut. Termasuk, kemampuan negara untuk memanfaatkan energi generasi milenial, untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negaranya. Maka tidak mengherankan, jika Presiden Jokowi, mencanangkan visi pembangunan di era kedua masa jabatannya, dengan fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Dan kelompok sasaran dari program pembangunan sumber daya manusia, terletak pada pembangunan “Capacity Building” generasi muda milenialnya.

Kehadiran salah seorang pemuda asal Tanah Papua, bernama Gracia Billy Yosaphat Y Mambrasar atau Billy Mambrasar, menjadi salah satu staf khusus Presiden Jokowi, memberikan pertanda baik, bahwa Presiden Jokowi memperhatikan dengan serius generasi muda milenial asal Tanah Papua, bahwa tidak ada perbedaan kualitas sumber daya manusia Tanah Papua dengan daerah lainnya yang telah maju di Indonesia. Tanah Papua hanya membutuhkan kesempatan yang sama “equal” untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai intelektual muda yang berprestasi dalam bidangnya masing-masing, dan Presiden telah berusaha mewujudkan kesempatan itu.

Hal yang mengejutkan, bahwa anak muda “Billy Mambrasar”, bukanlah berasal dari kalangan pendukung partisan partai politik tertentu, sehingga tidak ada referensi bahwa anak muda ini terpilih menjadi Stafsus Presiden karena latarbelakang subyektif “partisan”, namun, ketika melihat latarbelakang pendidikannya yang juga berasal dari perguruan tinggi ternama, baik dalam negeri dan luar negeri, termasuk kiprahnya dalam aksi sosial gerakan mendirikan pusat kegiatan belajar di Tanah Papua, yang membantu setidak-tidaknya 1100 anak anak di Tanah Papua untuk mendapatkan akses belajar yang baik. Maka, pilihan Presiden Jokowi menjadikannya sebagai figur anak muda milenial yang mewakili wilayah timur nusantara, sangatlah tepat dan tidak perlu diragukan lagi.

Hal yang juga perlu diketahui oleh publik nasional, bahwa anak muda “Billy Mambrasar”, juga merupakan kader muda di organisasi kepemudaan dan keagamaan GAMKI, dan sebagai ketua DPP GAMKI pusat, saya turut berbahagia atas terpilihnya saudara anak muda “Billy Mambrasar” menjadi salah satu anak muda Indonesia, yang diberikan kepercayaan oleh Presiden Jokowi, menjadi salah satu staf khusus yang akan selalu memberikan masukan dan nasihat kepada Presiden, terkait visi pembangunan sumber daya manusia di seluruh Indonesia.

Sebagai pengingat bagi kita semua, tidak lupa sebagai orang tua, yang juga tokoh parlemen dari Tanah Papua, kami menitipkan pesan penting kepada anak muda “Billy Mambrasar”, untuk menjadi tokoh muda “yang membawa terang” bagi keberlangsungan agenda negara, termasuk membawa solusi bagi ketimpangan pembangunan di Tanah Papua dan berbagai implikasi masalah kemanusiaan yang belum tuntas hingga hari ini (Matius 5:14).

Tanah Papua masih menjadi negeri yang diselimuti duka dan konflik berkepanjangan, disebabkan, oleh banyak faktor, diantaranya, sebagian tokoh-tokohnya yang telah menduduki jabatan strategis dalam negara, tidak memiliki cukup keberanian untuk menawarkan solusi dan juga konsepsi yang berasal dari “pikiran, aspirasi, dan cara pandang” rakyat di Tanah Papua sendiri. Jabatan hanyalah titipan Tuhan untuk melayani umat dan masyarakat, oleh karena itu, dengan status sebagai generasi milenial Tanah Papua, diharapkan dapat membangun “jembatan pikiran” yang mampu menghubungkan konsepsi pikiran Tanah Papua dengan konsepsi para pengambil kebijakan di pusat kekuasaan nasional, yang diharapkan, dapat memberikan solusi yang tidak pernah mampu dicapai oleh generasi-generasi sebelumnya.

Indonesia sentris dalam pandangan kami sebagai OAP adalah politik pembangunan negara, yang tidak hanya menyangkut “distribusi barang, jasa, manusia, benda – benda, tembok-tembok, aspal-aspal, ekspor mineral emas dan tembaga, ekspor CPO sawit, ekspor hasil logging hutan, ekspor minyak dan gas”, tetapi juga menyangkut “perlindungan hak hidup, tidak boleh dibunuh, penghormatan terhadap hak masyarakat adat, perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, perlindungan hak politik OAP, kesempatan yang sama bagi OAP untuk mengakses lapangan pekerjaan di sektor formal dan informal, hak yang sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan, hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, hak untuk tidak mengalami perlakuan diskriminatif, dan lain lain”.

Konsepsi Indonesia sentris juga harus dilaksanakan dengan prinsip, pemberdayaan/empowerment kekuatan sumber daya manusia diseluruh simpul-simpul wilayah administrasi Pemerintahan di Indonesia, termasuk di Tanah Papua. Tanah Papua tidak membutuhkan “kiriman dana yang besar”, namun Sumber Daya Manusianya, justru hanya dijadikan penonton di negeri dan tanahnya sendiri. Yang seharusnya, di Tanah Papua, terdapat 100 atau 1.000 atau 10.000 atau 1.000.000 anak muda seperti “Billy Mambrasar” yang mendapatkan kesempatan yang sama, untuk diberikan peran dalam menggerakkan pembangunan di Tanah Papua, bukan, yang terjadi sekedar memperbesar instrumen anggaran dan memperbanyak instrumen program, namun justru “DEFISIT” pelibatan generasi muda milenial dari Tanah Papua. Jika demikian yang terjadi, maka konsepsi Indonesia sentris belumlah terwujud di Tanah Papua, atau menjadi sekedar Program yang memperindah narasi dan memberikan angin surga kepada Tanah Papua.

Ora Et Labora..

wa wa

Willem Wandik : Satu Nyawa Itu Sangat Berharga Bagi Orang Asli Papua

 

 

 

Menanggapi permasalah papua yang tak kunjung selesai maka DPD RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Papua dalam rangka mencari solusi atas banyaknya permasalah yang terjadi di Tanah Papua,

Dalam RDPU Pansus Papua DPD RI pada tanggal 19 November 2019 yang di laksanakn di gedung DPD RI, selain di hadiri oleh anggota pansus, kegitan tersebut juga mengundang para tokoh-tokoh Tanah Papua serta para mahasiswa, salah satu yang memberikan pandangan dalam RDPU Pansus Tersebut adalah Bapak Willem Wandik S.Sos. Beliu hadir dalam kapasitas sebagai Ketua Umum DPP GAMKI, dalam kesempatan tersebut beliau secara tegas memaparkan hal-hal yang menjadi akar permasalah sehingga konflik di tanah papua tak kunjung berakhir. nyawa orang papua dianngap barang murah yang sewaktu waktu bisa di ambil dengan mudahnya dengan dalil operasi militer tanpa pernah tersentuh oleh HAM.

Meyikapi persoalan aktual yang terjadi di tanah papua beliau mengatan bahwa konflik tersebut bermula ketika konflik nduga yang merenggut banyak korban jiwa sehingga menimbulkan reaksi orang asli papua di sejumlah daerah. nyawa orang papua diaggap barang murah yang sewaktu waktu bisa di ambil dengan mudahnya dengan dalil operasi militer tanpa pernah tersentuh oleh HAM.

Masalah tersebut semakin di perumit dengan terjadinya aksis rasisme yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Kata-kata tak pantas dan cenderung merendahakan harkat dan martabat orang asli papua mengakibatkan timbulkan rekasi yang cukup massif di sejumlah daerah, tidak hanya di Tanah Papua akan tetapi terjadi pula di beberapa kota besar di Indonesia. Yang cukup menjadi sorotan adalah aksi yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa di depan istana negera, aksi tersebut di bubarkan oleh aparat keamanan dan menangkap sejumlah pengunjuk rasa dengan tuduhan melakukan perbuatan makar, tentunya tuduhan ini sangat mengada-ngada dan tidak beralasan. Dan yang lebih memilukan adalah 6 orang mahsiswa asal Tanah Papua tersebut di tahan di Mako Brimob Jakarta tanpa adanya kepastian hukum yang jelas. Di papua ada 7 orang yang ditangkap dan dipindahkan penahanannya di balikpapan.

 Sejumlah persoalan mendasar lainnya seperi rasa keadilan, hak asasi manuasi, distribusi kesejahteraa, penguatan kemandirian fiskal, keberpihakan pada masyarakat asli papua, dan rekonsiliasi Tanah Papua sebagai tanah damai, serasa masih jauh dari harapan. Pemerintah pusat tidak boleh melanggengkan pendekatan militeristik dalam setiap mengatasi konflik yang terjadi di tanah papua. Nyawa satu orang asli papua sama berharganya dengan nyawa manusia di daerah lain di nusantara ini.

Akar persoalan di tanah papua bersumber pada kesejahteraan. Di saat sebagain besar daerah lain yang ada di negeri ini begitu menikmati manisnya kemerdekaan, hal yang sangat bertolak belakang justru masih terjadi di tanah papua, kemiskin, kebodohan, keteransingan, masih sj menjadi fenomena yang terus berlanjut sampai hari ini.

Itulah bebera pemaparan yang disampaikan oleh Ketua Umum DPP GAMKI bapak Willem Wandik S.Sos saat menjadi salah satu pembicara dalam Pansus tersebut.

Adapun beberapa kesimpulan sementara yang dihasilkan dalam Pansus Papua  DPD RI tersebut yaitu sebagai berikut :

Pertama, Persoalan Papua dan Papua Barat harus dilihat secara utuh dan komprehensif. Untuk menyelesaikan persoalan Papua dan Papua Barat diperlukan penyamaan persepsi, terutama menyikapi isu aktual Papua yakni: 1) penyelesaian masalah Papua dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan (keadilan ekonomi), pengakuan (rekognisi), dan afirmasi; 2) persepsi terhadap literasi sejarah Papua; dan 3) afirmasi terhadap Orang Asli Papua (OAP).

Kedua, persoalan Papua merupakan masalah yang kompleks yang sudah terjadi bertahun-tahun. Ketidakadilan dan kesejahteraan menjadi persoalan mendasar yang dirasakan oleh segenap masyarakat Papua dan penanganan isu rasisme sebagaimana terjadi beberapa waktu lalu yang merupakan ekspresi persoalan yang terpendam selama ini.

Ketiga, pembangunan infrastruktur di Papua harus dikuatkan dengan pembangunan SDM Papua melalui pendidikan.

Keempat, mendorong terbentuknya KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) untuk menyelesaikan berbagai persoalan Papua masa lalu, sebagaimana diamanahkan UU Otsus Papua.

Kelima, masih kuatnya pandangan paranoid terhadap OAP dan pendekatan represif. Perlu dibangun rasa salingpercaya antara Pemerintah dan Orang Papua Asli (OAP) dan menghilangkan stigmatisasi terhadap OAP.

Keenam, pelaksanaan otsus harus menekankan pada keberpihakan kepada OAP, kesejahteraan rakyat Papua serta pengawasan terhadap pelaksanaan otsus, terutama terhadap pemanfaatan dana otsus.

Ketujuh, Pemerintah Pusat masih cenderung menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah Papua, seperti halnya yang terjadi di Kab. Wamena dan Kab. Nduga.

Kedelapan, perlu dilakukannya investigasi kerusuhan di Kab. Wamena, Kab. Nduga serta perlu dilakukan penanganan segera terhadap pengungsi pasca kerusuhan beberapa waktu lalu;

Kesembilan, memberikan ruang penyampaian aspirasi dari mahasiswa Papua tanpa ada intimidasi maupun dugaan separatisme.

Kesepuluh, perlu penyiapan konsepsi dan kesiapan generasi muda Papua ke depan, khususnya pasca berakhirnya dana otsus pada tahun 2021. N��

Nyawa Manusia Ras Melanesia Begitu Murah, Kehormatan pun dilecehkan, Rakyat Tidak Memiliki pegangan, karena Media Tidak Sanggup Berkata- Kata

Oleh: Willem Wandik, S.Sos

Foto tewasnya mahasiswa yang tergeletak bersimbah darah, dalam aksi demonstrasi di Jayapura dan juga ikut memanas di Wamena, menjadi trending Topik di media sosial.

Namun, lagi lagi media mainstream baik cetak maupun elektronik, tidak memberitakan insiden ini secara terbuka ke hadapan publik.. Ada masalah dengan kebebasan pers di Tanah Papua, Yang berarti hak memperoleh informasi dikebiri di Tanah Papua.

Sehingga jangan salahkan, media sosial jika konten Hoaks begitu cepat menyebar dan tidak bisa di bendung oleh Pemerintah.. Sebab, rakyat sudah tidak lagi mempercayai peran media yang selama ini diam, bungkam seribu bahasa, dan tampak “mengalami paralisis/kelumpuhan” jika menyangkut kebenaran informasi di Tanah Papua.

Kami pun mempelajari, dalam beberapa insiden yang terjadi disepanjang Agustus – September 2019, semenjak Tanah Papua bergejolak, Sejumlah penggiringan opini pun mulai dibentuk oleh Elit Nasional, dengan menyalahkan berita Hoaks yang disebar oleh Media Sosial.

Bahkan, sejumlah menteri mengemukakan pendapatnya, bahwa sumber kerusuhan di Tanah Papua, adalah hasil agitasi dan penggiringan berita hoaks..

pernyataan ini merupakan bentuk pelecehan nyata terhadap nilai nilai moral, yang hari ini terus disuarakan oleh setiap Ras Melanesia, Bangsa Papua, di tanahnya sendiri..

Kebenaran tidak akan mampu disembunyikan sekalipun di bungkus dengan Gaya Otoritarianisme pengelolaan media nasional, dan monopoli kebenaran oleh satu pihak, yaitu mereka yang berkuasa dan mereka yang merasa diri paling benar.

Luka yang dialami oleh OAP, Bangsa Papua, harus di jawab dengan sikap yang serius, membuka informasi secara transparan di hadapan publik Papua, bukan dengan menutup rapat rapat setiap informasi, yang justru memicu ketidakpercayaan OAP terhadap keseriusan negara.

Hari ini peristiwa kerusuhan dalam skala besar terjadi di Jayapura dan Wamena, dan juga menelan korban jiwa.

Ketika, rakyat sudah tidak percaya lagi dengan janji manis dan retorika negara, untuk bersikap adil dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku rasisme, maka moral rakyat akan mengamini gerakan vandalisme dan kekerasan sebagai satu satunya jalan keluar, yang tidak akan mungkin bisa dibayangkan oleh penguasa sekuat apapun itu.

Peristiwa kekerasan berdarah terus berulang selama 2 bulan terakhir, mengapa Negara tidak pernah mau belajar dengan kesalahan yang dilakukan pada periodisasi sebelumnya, bahwa di hari ini Tanah Papua, menuntut penghormatan atas harga dirinya, nilai yang dianutnya, setiap nyawa yang pernah dirampas di atas Tanahnya, dan penegakan hukum yang adil bagi ras melanesia.

Jangan pernah bermain main dengan rasisme, jangan pernah memandang rendah harga diri OAP/Bangsa Papua, jangan pernah memandang rendah nyawa manusia yang hidup di atas Tanah Papua, jangan bungkam kebebasan informasi dan pers di Tanah Papua, jangan bunuh manusia karena tidak sependapat, jangan arahkan bedil senapan sebagai pengganti kegagalan menciptakan keadilan.

Bangsa Papua Melihat Debat Capres 2019, Sesi Pertama

Wakil Bangsa Papua – Tema yang relevan untuk dicermati terkait isu penegakan Hukum dan Ham di Tanah Papua, yang wajib untuk dijelaskan oleh kedua calon Presiden dalam sesi debat Capres yang akan diselenggarakan malam ini (17 Januari 2019) adalah bagaimana sikap “standing policy” kedua calon Presiden, dalam menghadapi “pergerakan” civil society, di Tanah Papua, terkait:

1). Tuntutan referendum, yang dilakukan dengan cara cara damai, seperti diplomasi politik luar negeri, melalui ULMWP, kemudian melalui cara cara demonstrasi damai, seperti yang dilakukan oleh mahasiswa di kota Surabaya beberapa saat yang lalu.

2). Terkait pergerakan bersenjata yang di motori oleh TPN, dan dampaknya terhadap warga sipil OAP yang tidak terlibat dalam gerakan fisik, dan jika ditanya kepada OAP (warga sipil) bahwa keinginan mereka untuk mendorong referendum dengan jalur diplomasi politik dan non kekerasan, selalu disalahpahami, dan diartikan sebagai gerakan yang mendukung kekerasan yang dilakukan oleh TPN atau setidak tidaknya di curigai sebagai anggota separatis bersenjata..

Terhadap kedua isu penting ini, baik pada sisi perjuangan diplomasi non kekerasan maupun dengan jalan kekerasan, bagaimana cara pandang Capres menyikapi kedua tantangan tersebut di Tanah Papua, pada satu sisi, ada aspek penegakan hukum dan pada sisi yang lain adalah terpeliharanya Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Menarik untuk melihat visi misi dan program kerja, kedua calon presiden dalam melihat persoalan di Tanah Papua dalam kacamata Penegakan Hukum dan HAM.

Namun jika kedua calon Presiden, tidak bisa menjabarkan “kedua kutub” episentrum masalah menyangkut isu Penegakan Hukum dan HAM di Tanah Papua, maka tidak ada gunanya debat capres malam ini dilakukan. Bangsa Indonesia terlalu lama hidup dalam tradisi kepura-puraan, dan tidak pernah jujur untuk membicarakan “akar persoalan”, dan Maka dari itu Kekerasan di Tanah Papua, dari masa ke masa, selalu dipelihara dan dirawat, untuk mempertahankan status quo, Darurat Militer, dan Kepentingan Untuk Merampok Sumber Daya Alam di Tanah Papua (West Papua).

Oleh: Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI Dapil Papua)

Pidato Menteri Luar Negeri: Komitmen RI Memelihara Perdamaian Dunia, Bersikap Hipokrit “Munafik” Menyoal Tanah Papua

Dalam sejumlah isu yang dipaparkan oleh Kemenlu dihadapan delegasi negara-negara sahabat, Indonesia begitu semangat berbicara terkait konflik di luar negeri (Palestina, Afganistan, Myanmar “Rakhine State”,dll) tetapi tidak memiliki “standing policy” yang jelas, bagaimana memelihara “perdamaian” di dalam negeri sendiri. Seperti usulan dalam sejumlah diplomasi politik Indonesia, yang menyarankan kepada negara-negara sahabat yang tengah berkonflik, untuk “meninggalkan pendekatan militerisme dan kekerasan”, namun di dalam negeri sendiri, justru Pemerintah Mempraktekkan “kekerasan” kepada rakyat di Tanah Papua.

Puluhan bukti yang telah dipaparkan oleh “local government” bahkan sampai melibatkan tokoh-tokoh Gereja, namun Pemerintah Pusat tetap mengabaikan, fakta-fakta pembunuhan warga sipil yang tidak terlibat dalam keanggotaan TPN. Bahkan sejumlah pensiunan Jenderal, memberikan “amaran/rekomendasi” kepada Pemerintah, untuk segera bertindak tegas, dan mengabaikan semua himbauan “HAM” di Tanah Papua. Jika seorang pejabat pensiunan Jenderal tersebut, mengalami pembunuhan terhadap anggota keluarganya sendiri, tentunya yang bersangkutan tidak akan berbicara selancang itu, dengan membuat perumpaan masalah “Hak Hidup” rakyat di Tanah Papua, seperti hewan peliharaan milik Pemerintah, yang seenaknya dapat mereka “sembelih”.

Ingat rakyat di Tanah Papua, manusia yang berambut keriting, berkulit hitam, adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat, hak untuk hidup, dan bukan “binatang” peliharaan anda-anda yang mengaku petinggi negara di republik ini. Camkan itu di mulut dan otak anda.

Sama saja dengan aksi terorisme, yang mengklaim gerakannya sebagai “panggilan Tuhan”, kemudian melancarkan serangan secara membabi buta ke sekumpulan warga sipil, yang bertujuan sebagai agenda melayani Tuhan. Membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa (baik pada sisi TPN maupun aparat militer) sama-sama merupakan aksi terorisme yang tidak bermoral. Anda-anda tidak akan bisa memenangkan “hati manusia” dengan menyerang tubuhnya, dan membunuh raganya. Karena yang terpenting dalam diri manusia itu adalah “keyakinan akan eksistensi hidupnya”.

Kalian boleh membunuh 10, 100, hingga 1000 orang OAP, tetapi tidak akan bisa membunuh, “keyakinan akan eksistensi hidupnya”.

Bagi para pekerja yang tewas terbunuh dalam aksi penembakan kelompok TPN, mereka boleh memilih, untuk tinggal atau lari dari lokasi proyek. Atau bahkan perusahaan-perusahaan nasional yang datang mencari pekerjaan di Tanah Papua, untuk berhenti terlibat dalam proyek-proyek Pemerintah, untuk menghindari “penyergapan dari kekerasan”. Namun, bagaimana dengan orang orang lokal “indigenous people”, yang hidup dihutan-hutan, gunung-gunung, lembah-lembah, yang didatangi oleh ratusan hingga ribuan aparat militer, dengan tujuan “balas dendam” menghabisi anggota TPN/yang mereka sebut Kelompok Kriminal Bersenjata. Namun, justru membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam TPN, dan memaksa ribuan orang meninggalkan rumah, tanah, perkebunan, properti, bahkan mereka setiap hari hidup dalam cengkeraman kematian dan ketakutan.

Bukannya orang OAP takut dengan aparat militer, tidak ada alasan bagi OAP untuk takut kepada militer, sepanjang kehadiran mereka untuk menciptakan rasa aman, dan terlindungnya hak hidup OAP di lembah-lembah, gunung-gunug, dusun-dusun, kampung-kampung. Akan tetapi, fakta dilapangan justru membuktikan bahwa aparat militer juga dengan “serampangan/membabi buta” menembak siapa saja yang dicurigai, padahal diantara semua korban tewas yang tertembak, dipastikan adalah warga sipil yang tidak terlipat. Lalu atas dasar apa lagi OAP percaya dengan aparat militer?

Dalam redaksi yang di perjelas oleh Menlu, bahwa demi kedaulatan NKRI, maka Indonesia bersikap tidak akan mundur satu langkah pun, termasuk berkomitmen untuk menuntaskan “masalah di Nduga” dengan pendekatan proses hukum sebagaimana aturan perundang_undangan yang berlaku di negara ini.

Apakah benar seperti itu? Begitu mudahnya “bahasa diplomatis”, yang mendamaikan hati ketika mendengarnya, mengumbar surga telinga, diucapkan oleh Pemerintah melalui Menlu, bahwa Indonesia memilih untuk “bersikap tegas dan menggunakan perangkat hukum” untuk menuntaskan kasus pembunuhan 19 orang pekerja Istaka Karya. Lantas, bagaimana dengan korban salah tembak, yang “di bedil” oleh aparat militer di daerah Nduga? Mekanisme hukum apa yang bisa ditempuh oleh mereka untuk mendapatkan “keadilan dan hukum” menurut UU di republik ini.

Sejauh yang telah dipraktekkan di Tanah Papua, Pemerintah dan militer tidak pernah begitu tertarik untuk “menerapkan prinsip prinsip hukum” apabila yang menjadi korban adalah masyarakat sipil OAP (manusia berkulit hitam dan berambut keriting).

Inikah wajah diplomasi Presiden yang diwakili oleh Menlu dalam sebuah acara kenegaraan yang disaksikan oleh delegasi negara negara sahabat. Mengapa pula anggota parlemen di Komisi 1 tidak bersuara, apakah mereka juga hanya menjadi “boneka” kepentingan “elit nasional” dengan “hukum yang berwajah dua”?

Distrust itu semakin menguat dari hari ke hari, dihati setiap orang yang mencintai kebenaran, terutama ribuan hingga ratusan ribu “mata, telinga, penginderaan” generasi muda dan tokoh tokoh di Tanah Papua, melihat “parodi” sikap politik luar negeri Indonesia yang berwajah Ganda.

Oleh: Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI Dapil Papua)

Forkopimda: Lukas Enembe Berbicara Dihadapan TNI, Polri, dan Kejaksaan

Wakil Bangsa Papua – Dibulan Desember ini terjadi banyak peristiwa yang cukup menguras “energi dan air mata” di Tanah Papua, ketika 19 orang pekerja infrastruktur tewas ditembak di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, serta merta memantik reaksi keras dari berbagai kalangan di Jakarta, termasuk perintah untuk melakukan operasi sapu bersih kelompok bersenjata (TPN-OPM) oleh Presiden, yang diamini pula oleh ketua DPR RI.

Namun seiring berjalannya waktu, pelaksanaan operasi sapu bersih tersebut, menyisakan banyak dampak kepada warga sipil yang tidak terkait dengan gerakan konflik bersenjata. Sebut saja dalam laporan yang dihimpun dari masyarakat di wilayah Nduga, warga Mbua yang bernama Yulianus Tabuni yang ternyata menjabat sebagai seorang Majelis Gereja di Kemah Injili (Kingmi), ikut menjadi korban salah tembak, dalam operasi pengejaran kelompok bersenjata.

Yulianus Tabuni bekerja setiap hari mengurus kolekte gereja, dirinya ditembak oleh aparat keamanan saat sedang berada di dalam gereja, tanpa alasan yang jelas. Selain korban bernama Yulianus Tabuni, juga terdapat 3 korban lainnya dari warga sipil yang tidak terlibat dalam kelompok bersenjata, totalnya 2 dari Distrik Mbua dan 2 lainnya dari Distrik Yigi.

Dalam kesempatan yang lain, Kapolri Tito Karnavian menjelaskan status terkini kondisi pengejaran Kelompok Bersenjata di daerah Nduga, pada tanggal 27 Desember 2018, di Mabes Polri, bahwa hingga kini satupun dari pelaku penembakan yang terlibat dalam gerakan Kelompok Bersenjata, tidak satupun yang tertangkap.

Penjelasan Kapolri ini telah mengkonfirmasi hasil temuan dilapangan, bahwa yang tewas dalam pengejaran aparat sejauh ini justru berasal dari masyarakat sipil yang tidak terkait dengan gerakan Kelompok Bersenjata, termasuk tewasnya seorang pengurus Gereja di Daerah Mbua.

Menyikapi dampak meluasnya konflik bersenjata yang justru mengorbankan warga sipil biasa yang tidak bersalah, memberikan beban moral kepada Gubernur Papua, Lukas Enembe, untuk segera mengambil sikap, memberikan input kebijakan kepada Pemerintah Pusat untuk menghindari jatuhnya korban yang tidak diperlukan, apalagi menembak dan membunuh orang orang yang tidak terkait dengan Gerakan Bersenjata.

Akar masalah yang selalu tidak pernah terurai di Tanah Papua, ketika “dendam dan kebencian” terus bergerak seperti siklus yang tidak pernah berkesudahan, ketika anak-anak, sanak family, mama-mama, pace, kaum pemuda, melihat anggota keluarganya tewas dibunuh, bahkan mereka tahu betul bahwa anggota keluarganya tidak pernah terlibat dalam kegiatan bersenjata, justru menjadi korban konflik, ditembak dan dibunuh oleh aparat keamanan, maka siklus kekerasan seperti ini, dipastikan akan terus berlanjut dimasa-masa mendatang, karena hadirnya “kebencian dan dendam” yang terus berulang.

Kemudian dalam upaya untuk meredakan ketegangan yang terjadi di Tanah Papua, secara bersama-sama, Gubernur, DPRP, Jajaran TNI, Polri, dan Kejaksaan kemudian mengambil langkah inisiatif pada tanggal 28 Desember 2018, tepatnya pukul 10.35 sampai dengan 12.20 WIT, bertempat di Dinning Room Gedung Negara Jl. Trikora, Jayapura Utara, Kota Jayapura telah dilaksanakan Rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Provinsi Papua yang dimpimpin oleh Gubernur Provinsi Papua Bapak Lukas Enembe, S.IP., MH bersama-sama unsur DPRP, TNI, Polri, dan Kejaksaan.

Pejabat yang turut hadir dalam kegiatan Forkopimda tersebut diantaranya Kapolda Papua Irjen Pol Drs. Martuani Sormin, M.Si., Komandan Lanud Silas Papare Marsma TNI Ir. Tri Bowo Budi Santoso, M.M., M.Tr.(Han), Kabinda Papua Brigjen TNI A.H. Napoleon, Danlantamal X Brigjen TNI (Mar) Ipung Purwadi, M.M, Danrem 172/PWY Kolonel J. Binsar P. Sianipar, Gubernur Provinsi Papua Bapak Lukas Enembe, S.IP., MH., Kajati Provinsi Papua Bapak Sugeng Purnomo, S.H, M.Hum, Ketua DPRP Bapak Yunus Wonda, S.H., M.H, Asisten I Provinsi Papua Bapak Doren Wakerwa, Sekda Provinsi Papua Bapak T.E.A Heri Dosinaen, S.IP., M.Kp, dan Tokoh Akademisi Rektor Uncen Dr. Ir. Apollo Safanfo ST., MT.

Poin-poin penting yang kemudian disampaikan oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe dalam forum bersama tersebut diantaranya:

1) Mari kita bahas hal hal apa saja yang terjadi di Tanah papua ini setelah itu baru kita beritahu kepada masyarakat. Ada 3 hal yang kita sepakati antara Pemerintah Provinsi dan DPRP yaitu, a) Kami minta penarikan pasukan TNI agar masyarakat dapat merayakan Natal dengan Khidmat. b) Pemerintah akan bentuk tim gabungan. c) Kita akan beri bantuan kepada masyarakat 3 distrik yang terdapat di Nduga.

2) Hasil tersebut kita bawa ke sidang Paripurna, maka hasil yang di dapat 3 tersebut.

3) Saya harap peristiwa peristiwa seprti yang terjadi di Nduga tidak terjadi lagi, dan kelompok kelompok tersebut tidak bermunculan lagi di wilayah lain. Dalam situasi seperti ini amanat UU kelompok ini termasuk kelompok Separatisme. Sampai saat ini saya masih berfikir bagaimana caranya mereka dapat bersatu.

4) Saya minta pak Kapolda memerintahkan personelnya untuk berkordinasi dengan Bupati Bupati di Daerah diharapkan dapat mengajak para kelompok Separatis untuk bergabung ke NKRI.

5) Kepemilikan senjata api para Pok. OPM mayoritas mendapatkan senjata dari hasil rampasan ada juga yang dari Luar kemungkinan dari Filipina entah ditukar dengan cara barter emas atau cara lain. Saya lihat OPM ini tidak mau berkordinasi dengan siapapun mereka berjalan sendiri sendiri. Dalam penanganan OPM saya tidak masalah apabila mereka ditangkap tapi perlakukan secara manusiawi para masyarakat masyarakat sekitar.

6) Untuk Otonomi Khusus kewenangan berada di Kabupaten dan Kota sehingga semua permasalahan di Daerah tidak langsung kepada Gubernur karena dukungan Otsus diberikan kepada Kabupaten dan Kota termasuk Sitkamtibmas menjadi tanggung jawab Kepala Daerah masing masing.

Kemudian disusul dengan materi yang disampaikan oleh Danrem 172/PWY Kolonel J. Binsar P. Sianipar, dengan daftar notulensi sebagai berikut:  1) Memang kami dengar statement dari pemerintah daerah yang saya rasa kurang produktif bahkan memperkeruh suasana. Setelah masyarakat melaksanakan Natal kami kontak ke pos kami yang di Pos Yigi bahwa masih sempat ada kelompok bersenjata yang aktif diatas dan memancing anggota kami untuk melakukan kontak tembak.

Kami melihat ketanggapan Pemerintah daerah di Nduga yang tidak tahu akan kejafian tersebut, bahkan pada saat ini Bupati tidak ada ditempat. Pemerintah daerah dalam hal ini kurang akrab dengan masyarakat. Perlu ditegakan suatu mekanisme disini yang terbangun dari Distrik, Kabupaten hingga Kabupaten agar kejadian kejadian seperti kemarin dapat ditangani dengan cepat.

Tidak lupa pula Kajati Provinsi Papua Bapak Sugeng Purnomo, S.H, M.Hum menyampaikan himbauan kepada seluruh stakeholder di daerah agar melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Kami memohon kepada Sekretaris Forkopimda Bapak Heri Dosinaen agat waktu pelaksanaan rapat Forkopimda dapat dilaksanakan secara insidentil apabila ada kejadian kejadian seperti di Nduga agar kita sama sama dapat menyelesaikan permasalahan dan tidak menjadikan masalah menjadi besar.

Selain itu, Kabinda Papua Brigjen TNI A.H. Napoleon juga memaparkan sebagai berikut: 1) Semoga bapak Gubernur berkenan menyampaikan Pidato Akhir Tahun yang dilaksanakan pada Malam Tahun Baru bersama TNI/Polri sehingga dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa Forkopimda di Provinsi Papua dapat bersinergi satu sama lain.

Keteguhan Dan Pendirian Gubernur Papua

Konklusi yang dihasilkan dalam pertemuan lintas Stake Holder di Provinsi Papua, telah menghasilkan momentum baru, dimana unsur TNI, Polri, Kejaksaan, telah mendengarkan presentasi secara terbuka dari Gubernur, dan DPRP terkait kegiatan operasi militer di  Kabupaten Nduga.

Secara konsisten dan tanpa keragu-raguan, Gubernur menyampaikan pesan tegas, tidak ambigu, dan berpura pura kepada delegasi TNI, Polri, Kejaksaan yang hadir di forum rapat Pemerintah Daerah Provinsi Papua.

Sayangnya, perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Staf Ahli Presiden tidak ikut serta dalam kegiatan ini. Menjadi sebuah contoh yang belum pernah dilakukan oleh pemimpin manapun di Republik ini, bahwa seorang Gubernur merelakan “Jabatannya Untuk Dicabut” oleh Pemerintah Pusat, untuk melindungi “civil rights” bagi rakyat yang dipimpinnya, sekalipun wilayah “Nduga” memiliki Kepala Daerah “Bupati” yang bertanggung jawab secara vertikal kepada Gubernur dan Pemerintah Pusat.

Memang tidak ada seorangpun pejabat negara yang berani menyatakan sikap ketika “seruan dan tekanan publik di Jakarta dan daerah daerah lainnya” bereaksi atas peristiwa penembakan pekerja Istaka Karya, yang juga di perkuat dengan dukungan “perintah” Presiden dan Ketua DPR RI, untuk melakukan operasi militer di wilayah Nduga.

Inilah yang dibutuhkan oleh negeri ini, mengedepankan akal sehat dan sensitifitas terhadap masalah “kemanusiaan” yang dihadapi oleh rakyat. Kita tidak bisa membayangkan, ketika Gubernur tidak menggunakan “hak dan wewenang” yang diberikan oleh UU kepadanya, dirinya memilih untuk berdiam diri, menutup mata dan telinga, dengan alasan yang mungkin semua orang dapat memakluminya, “Gubernur Terpaksa Mengenyampingkan Nuraninya, untuk melindungi kepentingan Jabatannya”, justru hal tersebut “tidak dilakukan oleh Gubernur”.

Berapa banyak, pejabat daerah, ketika dalam proses pemilu, mengumbar janji, menjadi “pelindung” kepentingan rakyat, namun ketika terpilih, dan menduduki “singgasana” kekuasaan, justru terserang virus “amnesia, lupa dengan janji janji politik ketika berkampanye, dan memilih untuk menumpuk kekayaan, serta melupakan kepentingan utama rakyatnya, yaitu “hadirnya negara ditengah tengah rakyat, untuk melindungi  hak asasi rakyatnya”.

Pemerintah Pusat, seharusnya merasa malu,  dengan Pengetahuan yang terbatas, terkait akar konflik di Tanah Papua, atau memang selama ini “Pusat Tidak Pernah Paham Dengan Dinamika Konflik di Tanah Papua, karena bagi Pusat, cukup dengan membuat regulasi atau undang undang, serta membahas anggaran tahunan yang akan di distribusikan ke Tanah Papua, dan pada gilirannya, Pusat Mengklaim “mereka telah berbuat 1000% bagi rakyat di Tanah Papua”.

Dalam konflik Nduga, Tuhan benar benar bekerja untuk membuka “kebenaran” yang selama ini tersembunyi dihadapan ratusan juta penduduk Indonesia, bahwa Pusat seolah olah menjadi “Big Boss”, yang bisa memaksakan otoritasnya kepada Daerah, tanpa pernah memberikan kesempatan kepada Daerah untuk memberikan “penilaian” apakah sikap Negara telah bersesuaian dengan Aspirasi Masyarakat di Tanah Papua.

Ketika Gubernur dengan “jujur” menyampaikan “keprihatian” OAP terkait “dampak negatif pelaksanaan operasi militer di daerah Nduga”, justru Pusat menyikapinya dengan pikiran yang negatif, penuh kecurigaan, dan bahkan dengan ancaman “akan memecat Gubernur”.

Ini adalah peristiwa yang sangat memalukan bagi negara, dimana ada seorang pejabat negara di level Provinsi, telah bekerja untuk menjalankan Pancasila dan Konstitusi Negara, untuk melindungi keselamatan warga negara, lantas diancam dengan sanksi “pemecatan”.

Yang perlu diketahui oleh Pusat, bahwa Dana Otsus tidak bisa membeli nyawa manusia OAP, Jabatan yang dimiliki oleh Gubernur tidak biaa membeli nyawa manusia OAP, bahkan Tembok, aspal, bangunan yang kalian sebut “infrastruktur” tidak bisa membeli nyawa manusia OAP.

Inilah sikap sejati seorang Pemimpin yang belum tentu 100 tahun dimasa mendatang, akan ada orang yang sama, seperti “dedikasi dan pengabdian yang diberikan oleh Lukas Enembe, kepada Negara, Rakyat dan Kemanusiaan di Tanah Papua.

Oleh: Willem Wandik, S. Sos (Anggota DPR RI Dapil Papua)

“Back to Homeland”, Mendefinisikan Nasionalisme dan Religiusitas di Tanah Papua

Wakil Bangsa Papua – Syalom, selamat siang Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya. Kita semua yang hadir dalam acara ini, tentunya mengenali ideologi perjuangan Partai Demokrat, yang mengedepankan “Nasionalisme” dan Religiusitas”. Kedua ideologi ini akan kami kupas secara epistimologi, dalam kaitannya dengan peran seluruh fungsionaris Partai Demokrat di Tanah Papua. Mengapa tema ini begitu penting untuk kita bedah dan dianalisis bersama, sebab, akhir akhir ini, Tanah Papua menjadi sorotan dunia internasional, yang tentunya menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan nasional di Jakarta. Bahkan berbagai “pakar dan tim ahli” yang selama ini bekerja pada sisi Pemerintah Pusat, merasa terheran-heran mengapa “Tanah Papua” menjadi salah satu daerah paling bergejolak di Negeri ini.

Saya sebagai anggota Parlemen RI yang mewakili Tanah Papua, selama hampir 5 tahun lamanya, tidak sekedar menjadi anggota DPR RI, tetapi juga berusaha menterjemahkan banyak akar persoalan, yang selama ini tidak mampu ditangkap oleh elit elit partai, bahkan Pemerintah Pusat sendiri. Kondisi yang terjadi justru, berbagai kebijakan bernegara yang diputuskan oleh Pusat, seperti berada pada ruang pikiran dan ruang realitas yang benar-benar berbeda dengan ruang pikiran yang digagas bahkan berusaha untuk dikomunikasikan oleh “para legislator dan senator Tanah Papua” kepada elit nasional.

Ketika “outbreak” atau “disaster” benar-benar terjadi, seperti peristiwa penembakan 16 orang pekerja PT. Istaka Karya (Perusahaan Asal Jakarta, Kebayoran baru, berdekatan dengan kantor Kemen PUPR di Jakarta), justru seluruh pihak di puncak kekuasaan Pemerintah Pusat, serta merta, seperti mendapatkan “tamparan keras”, dipermalukan oleh “kelompok kecil” orang, yang tergabung dalam TPN, yang kemudian disebut-sebut oleh Orang Orang Jakarta dan Media-Medianya sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Yang parahnya lagi, Presiden justru tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan para tokoh pemerintah di Tanah Papua, sebut saja Gubernur, DPRP, MRP, untuk meminta masukan, dalam bentuk upaya penanggulangan “konflik” yang seharusnya bisa dituntaskan tanpa menimbulkan “kekacauan” bahkan mengundang intervensi media asing dan bahkan Pemerintah Negara Sahabat di regional.

Ketika, perintah Presiden sudah diputuskan, korban dari warga sipil non-combatan dari OAP dikampung-kampung ikut berjatuhan, dan ikut memperburuk suasana di tengah-tengah masyarakat OAP yang sejatinya tidak dalam posisi “mendukung atau tidak mendukung gerakan TPN”, namun turut dikorbankan dalam kegiatan operasi militer, justru menimbulkan masalah yang terus meluas, dan bahkan menimbulkan “kebencian” kepada Negara.

Inikah yang kita harapkan atas operasi fisik yang bernama “nasionalisme” itu? kita secara terus menerus, berulang-ulang, tidak pernah benar-benar sadar, bahwa disetiap arogansi yang ditunjukkan atas nama negara, yang justru mengorbankan rakyat sipil yang tidak bersalah, baik itu pada sisi TPN maupun pada sisi aparat keamanan, bukanlah implementasi dari “sikap nasionalisme” yang kita kenali, itu adalah sama sama sebagai perbuatan “fasisme”. Mohon maaf, dalam forum ini, definisi ini harus saya sampaikan, agar menjadi “pembelajaran dan evaluasi” bagi semuanya.

Dalam definisi Nasionalisme berdasarkan doktrin Partai Demokrat, “Nasionalis” itu berpegang pada isme bahwa tujuan bernegara bisa dicapai dengan menghidupkan semangat kebangsaan yang utuh, tidak parsial. Tidak mendukung sesuatu hanya untuk sekedar menyenangkan orang lain, tetapi berpura-pura melupakan masalah, dan seolah-olah segala-galanya sedang baik-baik saja “everything is fine”. Nasionalisme itu mendasarkan pikiran kepada “cinta tanah air/love the home land”. Tanah Air/Home Land itu mengacu pada pikiran manusia akan kampung yang membesarkannya, memberinya makan, memberinya pekerjaan, memberinya hak hidup, memberinya kebebasan, memberinya hak untuk berkreasi, dan tentunya rumah dimana dirinya tidak perlu merasakan “ketakutan/fear”. Inilah dasar filosofi yang harus dipahami secara mendasar, relasi Nasionalisme dalam peran yang dimainkan oleh Partai Demokrat di Tanah Papua.

Tanpa memahami makna nasionalisme, kita tentunya akan “selalu gagap, berpura-pura, bersikap munafik” dalam menentukan “position/sikap” kita sebagai rakyat Papua dalam percaturan ideologi “kebangsaan” yang selama ini kita kenali sebagai doktrin “NKRI Harga Mati”. Orang Orang Asli Papua harus merasakan “roh nasionalisme” itu kedalam hati dan pikiran mereka, bukan sekedar mengajarkan doktrin yang tidak mereka kenali, bahkan bertolak belakang dengan apa yang dapat ditangkap oleh “pancaindra” mereka dalam kehidupan sehari hari.

Tentunya, “yang ingin diketahui dan diuji” oleh setiap akal sehat, setiap isi kepala dari orang orang asli Papua, bahwa apakah “nasionalisme” yang diajarkan dalam doktrin itu, dapat membuat mereka, hidup dengan aman, tenteram, tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi, tidak menjadi subyek yang dieksploitasi, bahkan mendapatkan jaminan atas hak hidup yang dimilikinya. Inilah “diskursus” mendasar, yang harus kami sampaikan kepada seluruh elemen Partai Politik yang hadir dalam acara ini. Agar kita tidak selalu “terlihat stupid” menggunakan dalil nasionalisme untuk membenarkan perbuatan yang sama sekali jauh dari “realitas yang dirasakan oleh rakyat OAP” di Tanah Papua.

Ideologi selanjutnya adalah Religiusitas, yang berusaha menghantarkan “idealisme Ketuhanan” kepada seluruh manusia yang beragama di Tanah Papua. Saya meyakini bahwa semua agama mengajarkan “nilai-nilai kemanusiaan universal”. Lebih dari itu, Agama bukanlah sekedar “obat penenang” bagi para penderita penyakit mental “skizofrenia”. Ketika kita bermasalah, bebuat dosa, berbuat jahat, maka penyesalan atas kesalahan dan dosa itu, membuat kita membutuhkan obat bernama agama. Itu adalah pandangan yang menghina “Agama dan nilai-nilai religiusitas”.

Agama adalah sistem nilai yang kompleks, berasal dari sang Pencipta, alfa dan omega, yang merupakan awal dan akhir, maka tidak ada sesuatu nilai pun di alam dunia ini, termasuk yang sedang kita perdebatkan dalam hubungan Pusat- Tanah Papua,  tidak dalam kekuasaan-Nya, semuanya “eksis” karena kuasa Tuhan. Ini adalah deklarasi keimanan saya berdasarkan keyakinan saya kepada ajaran Injil, dan filsafat yang saya kagumi, Hegelian-isme.

Agama dapat berfungsi sebagai “master control” moral dan cara berperilaku yang sangat efektif, ditengah-tengah ambisi manusia yang tidak pernah terbatas, sedangkan segala daya upaya manusia terbatas sifatnya (finite), maka nilai religiusitas dibutuhkan sebagai penyeimbang dan control, agar manusia bisa mengenali jati dirinya secara paripurna, dan mengikuti sikap “idealis” ajaran-ajaran Agama, untuk menciptakan keteraturan dan kepatuhan di masyarakat.

Dalam konteks Tanah Papua, saya mengingatkan kepada seluruh “pemuka agama”, jadilah “lentera/suluh” yang menerangi “keimanan” dan “kepercayaan” umat kepada nilai nilai “kemanusiaan” dan “kebenaran”. Tentunya kita tidak ingin menjadikan lembaga keagamaan, sebagai lembaga “juru bicara ketidakadilan”, kita tidak harus berbicara bahwa surga itu berada ditingkat tertinggi bersama Tuhan, tetapi kita pula harus meyakinkan, dalam tahapan empiris, keduniawian bahwa Manusia Harus Menciptakan Surga Kehidupan di Muka Bumi dimana dia bertempat tinggal.

Gambaran surga yang diimpikan oleh manusia, adalah kehidupan yang nyaman, aman, tenteram, tidak miskin, memiliki kebebasan, dapat mengaktualisasikan diri secara merdeka, dan lain sebagainya, perlu kita wujudkan di Tanah Papua. Maka dengan alasan itu pula, kita patut berbicara atas nama Tuhan, kepada siapapun yang menghuni singgasana kekuasaan di Pemerintah Pusat, bahwa mereka tidak perlu memberi hadiah yang terlampau indah ke rakyat OAP di Tanah Papua, janji akan infrastruktur yang bagus, jalan yang membelah bukit, gunung dan lembah, tol laut dan tol udara, namun, manusia asli Papua justru hidup dalam tekanan, ketakutan, kemiskinan, perampasan hak ulayat, dan bahkan tidak terjamin hak hidupnya.

Inilah sumber masalah, yang harus dipahami, dan mengerti dengan “akal sehat”, jika hal itu masih dimiliki oleh Republik ini. Ingat dengan seksama, bahwa Holland/Belanda menjajah Pulau Jawa itu selama 350 Tahun, itu bukan waktu yang singkat untuk sebuah aksi kolonialisme terhadap orang Indonesia-Jawa. Namun, apakah orang orang Holland/Belanda sepenuhnya jahat kepada Indonesia? bisa kita lihat warisan peninggalan Belanda yang masih berdiri hingga saat ini dipulau Jawa, berupa peninggalan Jalur Rel Kereta Api yang melingkar diseluruh daerah Jawa, warisan perkebunan yang sangat luas dan pusat pusat industri yang sampai hari ini terus berevolusi sesuai kebutuhan zaman, Belanda mengajarkan kepada Indonesia sistem pemerintahan modern (bagaimana mengolah pajak, kepemilikan properti, membentuk lembaga pengadilan, merapikan birokrasi setingkat Gubernur/Bupati, dan lain sebagainya). Namun mengapa Indonesia ingin merdeka dari Holland/Belanda? karena orang orang Belanda membangun seluruh infrastruktur, kepentingan birokrasi, pemerintahan, perpajakan, ekonomi, untuk melayani kepentingan orang orang belanda. Disinilah letak persoalan yang harus sama sama dipahami, oleh orang orang OAP dan Non OAP, terutama pandangan menyeluruh antara “Pemangku” Kebijakan Pemerintah Daerah dan “Pemangku” Kebijakan Pemerintah Pusat, bahwa orang orang asli Papua menghendaki, “ada sisipan roh nasionalisme” yang dapat dipahami oleh mereka, dengan hadirnya pembangunan di Tanah Papua.

Jangan yang justru terjadi, pembangunan akan terus dilakukan, namun, dalam waktu yang bersamaan membiarkan orang orang asli Papua, menjadi penonton, duduk dikursi bangku cadangan, tidak pernah menendang bola, dengan alasan kompentensi – putera-puteri Tanah Papua disingkirkan dari persaingan (rekrutmen ASN, menempati jabatan strategis, ingat Jabatan Gubernur/Bupati/Wali Kota itu jabatan Politis, bukan itu maksud saya, tetapi lebih pada pengakuan negara terhadap partisipasi OAP dalam tugas dan tanggung jawab professional), bahkan yang banyak memenangkan tender proyek infrastruktur, bukan berasal dari orang orang daerah, dan inilah salah satu yang menjadi benang merah, mengapa Istaka Karya mengalami nasib naas di daerah Nduga. Mereka yang tidak paham dengan kondisi sosio-kultural daerah tempatan, justru salah menempatkan sikap, dianggap terlalu ikut campur pada urusan politis non proyek, yang pada gilirannya menjadi korban pembunuhan dari kelompok TPN.

Dengan demikian, dalam kesempatan yang terhormat ini, ijinkan saya untuk menyampaikan, mari kembali kecita-cita “back to homeland”, kembali ke Tanah Air yang kita kenali sebagai rumah yang nyaman, sejuk, indah, menyenangkan, mendamaikan, adil untuk semua, aman untuk semua, dan seluruh hak asasi warga negara diakui dan dilindungi oleh Negara.

Oleh: Willem Wandik. S.Sos (Anggota DPR RI Dapil Provinsi Papua)

Realitas Janji Nawacita “Penuntasan Masalah HAM”: Teror Penembakan Warga Sipil di Dogiyai

janji-nawacita-ham-papuaWakil Bangsa Papua – Memasuki tahun ketiga masa pemerintahan Jokowi, di Tahun 2017, rekor kekerasan terhadap masyarakat sipil di Tanah Papua belum juga menunjukkan adanya pengurangan intensitas. Kasus kekerasan aparatus keamanan (gabungan TNI dan Polri) yang mengakibatkan tewasnya 4 orang warga sipil yang tidak berdosa di Kabupaten Dogiyai kembali menjadi tragedi kemanusiaan yang terus menambah rekor pelanggaran HAM di era Pemerintah Jokowi.

Presiden Jokowi telah berulangkali datang ke Tanah Papua,  demikian pula jajaran elit di Kementerian yang membidangi permasalahan politik, hukum dan keamanan nasional (Menkopolhukam). Disela-sela kunjungan itu, baik Presiden maupun jajaran elit yang membidangi permasalahan hukum dan keamanan selalu berjanji akan mewujudkan agenda nawacita di Tanah Papua. Terkait penuntasan pelanggaran HAM, Presiden Jokowi menjadikan isu pelanggaran HAM, sebagai bagian dari program kerja utamanya ketika berkampanye disaat Pilpres 2014 dan merumuskannya menjadi prioritas utama didalam agenda Nawacita, dimana Pemerintahan Jokowi berkomitmen untuk menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia. Bahkan secara spesifik Presiden menyebutkan sejumlah tragedi kekerasan yang terjadi di masa lalu diantaranya Kasus Wasior Papua, Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965 harus segera dituntaskan agar tidak menjadi beban bagi generasi selanjutnya.

Alih-alih menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga sipil, dan menuntaskan pelanggaran HAM dimasa lalu, tragedi kemanusiaan yang merenggut nyawa warga sipil yang tidak berdosa kembali menambah daftar panjang “penghilangan hak hidup” rakyat di Tanah Papua. Hal ini menunjukkan daftar panjang masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua, menjadi semakin “crowded“, dengan tewasnya 4 orang warga sipil yang tidak berdosa di Kabupaten Dogiyai. Kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersalah di Kabupaten Dogiyai oleh aparat gabungan TNI dan Polri adalah gambaran mainstream kekerasan aparatus keamanan yang menjadi fenomena gunung es di Tanah Papua. Seperti menjadi sebuah kebiasaan “habbit” yang sulit untuk dihilangkan, jika peranan aparatus keamanan di Tanah Papua selalu membawa pertumpahan darah di tengah tengah kehidupan warga sipil yang tidak berdosa.

Presiden Jokowi sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata dan satuan pengamanan dari organ kepolisian, seharusnya mengambil tindakan tegas, terhadap setiap perbuatan “sewenang-sewenang/ detourment de pouvoir” yang menghilangkan nyawa warga sipil yang tidak bersalah, sekaligus menunjukkan ketidaktaatan mereka terhadap perintah panglima tertingginya. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan kunjungan ke Tanah Papua berulangkali menyampaikan komitmennya untuk mendukung upaya penegakan HAM di Tanah Papua yang tergambar dalam komitmen nawacita, dimana negara harus hadir bagi seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali bagi rakyat di Tanah Papua.

Presiden Jokowi merumuskan agenda nawacita pada poin yang pertama, yaitu “negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan menghadirkan rasa aman“, yang bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak asasi setiap warga negara, termasuk hak asasi untuk tidak dibunuh dan dirampas hak hidupnya oleh moncong senjata aparatus keamanan. Kekuasaan yang dimiliki oleh aparatus keamanan (Polri dan TNI) bukanlah untuk menciptakan “rasa tidak aman” dan dengan sewenang-wenang dapat merampas hak hidup warga sipil. Sejatinya kekuasaan yang dimiliki oleh aparatus keamanan dipandang sebagi legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties (kewenangan atau wewenang merupakan kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). Sehingga kewajiban untuk melindungi setiap “nyawa” warga sipil menjadi tugas utama organ keamananan, yang dipandang sebagai “obligation of law“. 

Setiap organ kekuasaan di republik ini, diwajibkan oleh konstitusi negara “UUD 1945” untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28A UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pentingnya hak asasi terkait “hak hidup” setiap manusia yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 kemudian dijabarkan secara spesifik dalam Pasal 9 UU Noor 39 Tahun 1999 tentang “Human Rights” dengan redaksi:

(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya

(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin

(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam program aksi agenda nawacita, Presiden Jokowi berulang kali menegaskan komitmennya agar setiap jengkal persoalan rakyat, harus diperhatikan oleh negara dengan tekad negara tidak boleh absen untuk merespon persoalan rakyat, dengan tata kelola pemerintahan yang kredibel “profesional dan demokratis”. Hal ini dapat pula diterjemahkan kedalam praktek pengamanan yang tidak boleh menunjukkan sikap arogansi dan sewenang-wenang.

Kekuasaan yang dimiliki oleh aparatus kemanan, dengan dilengkapi hak memegang senjata api, bukanlah ditujukan untuk menciptakan teror di tengah tengah rakyat sendiri, melainkan untuk melindungi setiap hak hidup rakyat. Penembakan terhadap warga sipil yang mengakibatkan tewasnya 4 warga sipil yang tidak bersalah, justru dilakukan dalam operasi cipta kondisi menyambut pesta demokrasi di Tanah Papua. Tindakan menghilangkan nyawa warga sipil ditengah tengah rakyat menyambut event pesta demokrasi, merupakan tindakan yang bertentangan dengan “kewajiban hukum” untuk memelihara keamanan dan melindungi setiap “hak hidup” warga sipil, yang tengah bersiap-siap menggunakan hak konstitusionalnya untuk berpartisipasi dalam event pesta demokrasi di daerah.

Dalam agenda nawacita, Presiden Jokowi juga mengkampanyekan pentingnya revolusi karakter bangsa, dimana tindakan penghilangan secara paksa dan tidak bertanggung-jawab terhadap nyawa warga sipil yang tidak bersalah, bertentangan dengan moralitas dan prinsip “rule of law“. Ajaran moralitas mengutuk dengan keras setiap tindakan yang menghilangkan nyawa manusia, demikian halnya dalam prinsip-prinsip hukum, setiap orang tidak boleh dihakimi bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh lembaga peradilan, terlebih lagi tindakan orang lain yang merampas nyawa orang-orang yang tidak bersalah.

Tindakan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, justru semakin merenggangkan restorasi sosial di tengah tengah kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Papua. Rakyat sipil di Tanah Papua, akan semakin tidak senang dengan kehadiran aparat keamanan dan simbol simbol Pemerintah. Hal ini semakin memicu perasaan tidak suka terhadap simbol-simbol negara. Sampai kapan organ negara dan Pemerintah, secara persisten memelihara “monster” atau “mesin pembunuh” yang menciptakan siklus kekerasan dan pertumpahan darah yang tidak pernah berkesudahan di Tanah Papua. Janji nawacita untuk menuntaskan dan memutus “praktek” detourment de pouvoir, aparatus keamanan yang menciptakan “bencana kemanusiaan” selama hampir satu abad di Tanah Papua, terlihat seperti retorika dan janji manis yang tidak pernah benar-benar diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Papua.

Amnesia Janji Republik: “Karya Swadaya” Pada Logo Provinsi Papua, Bangsa Papua Telah Lama Memilih Kemandirian

kemandirian rakyat papua-3Wakil Bangsa Papua – Pasca reformasi, diakui sebagai titik balik yang mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara di atas Tanah Papua. Pada masa inilah, untuk pertama kalinya Tanah Papua diakui sebagai daerah yang bersifat khusus dalam kerangka ketatanegaraan nasional. Pengakuan terkait kekhususan Tanah Papua dalam sistem ketatanegaraan nasional tersebut diakui memang sangat terlambat, sebab jauh hari sebelum Tanah Papua berintegrasi bersama wilayah Republik, Bung Karno jauh-jauh hari telah mendeklarasikan pemberian otonomi yang bersifat khusus kepada Bangsa Papua.

Baik dimasa-masa awal Bung Karno, maupun setelah reformasi bergulir, Pemerintah Pusat telah salah memaknai Otonomi yang bersifat khusus bagi rakyat dan bangsa Papua, dengan praktek yang hanya didefinisikan sebagai “praktek subsidi pusat“. Padahal kunci keberhasilan pelaksanaan “otonomi daerah biasa” maupun yang bersifat “khusus” terletak pada kemandirian daerah untuk mengelola sumber pendapatannya sendiri. Inilah yang menjadi sumber konflik yang berkepanjangan, yang terus hadir ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Papua. Terlebih lagi, dalam 2 Tahun terakhir tekad daerah untuk memperoleh kemandirian semakin kuat, melalui skema divestasi saham dan pembangunan smelter PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua.

Dalam perjalanan sejarah dimasa lalu, harapan yang diberikan oleh Bung Karno dengan janji otonomi seluas-luasnya, ternyata tidak pernah terjadi di masyarakat Papua. Rezim kemudian berganti sebelum pelaksanaan Pepera dilaksanakan pada Tahun 1969, dimana penguasa militer orde baru berhasil mengambil alih kekuasaan tertinggi republik, dan merubah perjalanan sejarah Bangsa Papua kedalam lembah pertumpahan darah yang hanya mewariskan penderitaan dan air mata dari generasi ke generasi.

Luka yang begitu tajam dan membekas sekian lama pasca referendum 1969, telah membentuk persepsi orang-orang Jakarta dalam melihat Tanah Papua dan rakyatnya, hanya sebagai wilayah Provinsi biasa saja, yang dapat dikendalikan dengan bedil peluru dan kekerasan bersenjata. Sepertinya, sejarah perlawanan rakyat yang muncul di Tanah Papua, bukanlah warisan konflik kolonial Belanda, tetapi tragedi demi tragedi yang terus dipelihara oleh sistem yang militeristik dan sentralistik yang terjadi di masa lalu, yang kemudian membentuk warisan sejarah yang salah hingga hari ini.

Sehingga, apapun yang sedang diupayakan baik atas nama rakyat Papua, maupun demi rekonsiliasi perjalanan sejarah Bangsa Papua, selalu dipandang sebagai sebuah ancaman dan benalu dalam prinsip-prinsip Republik oleh elit-elit nasional. Benar sekali bahwa perjalanan sejarah Bangsa Papua pasca dikendalikan oleh rezim militeristik dan sentralistik, telah membentuk mentalitas “monster konflik” yang hingga hari ini membayang-bayangi setiap kebijakan Pemerintah Pusat terhadap Tanah Papua.

Sejarah Bangsa Papua telah berubah, dari harapan akan kehidupan yang sejahtera, aman, sentosa, dalam sebuah kehidupan ketatanegaraan yang mandiri dan berdikari. Telah dipaksa oleh rezim yang berkuasa dimasa lalu, masuk kedalam peperangan ideologi “orde baru” yang melupakan janji-janji tuan sebelumnya “Bung Karno”, untuk memberikan angin kebebasan kepada segenap rakyat dan Bangsa Papua, untuk dapat hidup sebagai anak negeri yang dapat berdaya dan berkemampuan secara berdikari.

Warisan yang masih tersisa, dan membekas sebagai prasasti, hanyalah slogan yang terpampang dengan rapi pada simbol Provinsi Papua. Para Pemimpin di Provinsi Papua dari generasi ke generasi mewariskan slogan ini tanpa pernah mempertanyakan kembali kepada tuan-tuan penguasa di Republik ini. Dua suku kata yang begitu jelas, mengakar, dan membumi, yang bersumber dari semangat Bangsa Papua untuk mandiri dan berdikari, yang pada saat ini telah banyak dilupakan oleh kebanyakan Pemimpin dan memori rakyatnya sendiri. Simbologi tersebut bernama “Karya Swadaya”.

Karya Swadaya” berasal dari dua suku kata, “karya” yang berarti kreasi atau segala proses kreatif yang dapat dilakukan oleh manusia, menyangkut “pekerjaan”; “hasil perbuatan”; “ciptaan”. Sedangkan “swadaya” memiliki makna sebagai kemandirian atau melakukan sesuatu dengan kemampuan sendiri/kekuatan (tenaga) sendiri. Sepertinya, satu-satunya yang bertahan dari warisan semangat “kekaryaan” dan “kemandirian” hanyalah simbol-simbol kemandirian yang telah lama di cita-citakan oleh para pendahulu di Tanah Papua.

Simbologi “Logo Daerah” yang digunakan sebagai identitas Pemerintahan Daerah sejak Provinsi Papua berdiri untuk pertama kalinya, sejatinya merupakan simbol kemandirian yang menginspirasi semangat berdikari Bangsa Papua untuk bangkit, mandiri, dan sejahtera, yang saat ini telah menjadi visi-misi Gubernur Lukas Enembe. Persamaan ide tersebut, bukanlah sebuah kebetulan, yang hanya didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan tertentu, atau mitologi-mitologi tertentu, tetapi hal tersebut menunjukkan “jalan kebenaran” bahwa sejauh apapun sebuah rezim dimasa lalu berusaha menenggelamkan “semangat kemandirian” yang terpatri di setiap dada rakyat dan Bangsa Papua, maka sejauh itu pula, semangat kemandirian akan terus hidup di dalam jiwa setiap generasi-generasi Bangsa Papua.

Semangat ini terus bergelora, melampaui masa-masa sulit yang penuh dengan tekanan dan diskriminasi sejarah, dan terus mewarnai cara pandang sebagian besar rakyat Papua hingga hari ini. Beragam cara dilakukan oleh anak-anak negeri Papua bertahan dengan ideologi kemandirian tersebut, baik melalui perjuangan yang berdarah-darah, hingga melalui pintu diplomasi yang dijalankan melalui sistem bernegara.

Namun pada sisi yang lain, sejarah panjang dan cita-cita kemandirian yang menjadi wajah ideologis perjuangan Bangsa Papua tersebut, dimaknai berbeda oleh orang-orang di luar Papua. Mereka membuat tuduhan “justifikasi” bahwa semangat dan tekad baja Bangsa Papua untuk memperoleh kemandirian dinilai sebagai “benalu ideologi” yang digiring pada isu makar terhadap negara.

Stereotip kebodohan menjadi stigma yang sering dikaitkan terhadap orang-orang Papua, yang disertai dengan pandangan negatif, bahwa Bangsa Papua tidak mampu mengelola kekayaan sumber daya alamnya secara mandiri. Keberpihakan itu adalah masalah “selera“, apakah kepentingan elit nasional “berselera” terhadap ideologi kemandirian yang telah lama di cita-citakan oleh para pendahulu/seluruh rakyat di Tanah Papua atau berselera memaksakan kehendak dan cara pandangnya sendiri kepada rakyat di Tanah Papua.

Pada hari ini, bukanlah sebuah peristiwa kebetulan, dimana para pemimpin di Tanah Papua bersama-sama elemen intelektual, mulai sadar dari “amnesia sejarah” yang begitu panjang, untuk memilih hidup mandiri dan berdikari, dibandingkan terus-menerus mengangkat tangan dan meminta belas kasihan Jakarta, serta untuk terus-menerus diberikan subsidi yang katanya dapat menolong masa depan rakyat, Bangsa, dan Tanah Papua.

Para pemimpin di Tanah Papua pun saat ini telah menyadari, bahwa untuk menjadi sebuah daerah otonom yang kuat serta mampu mensejahterkan rakyatnya, tentunya dibutuhkan kemandirian dalam pengelolaan keuangan daerah (bukan dengan penyakit subsidi pusat). Hal ini sejalan dengan keinginan Provinsi Papua untuk menjadi bagian dari pemilik investasi asing terbesar di Tanah Papua yang dikuasai oleh PT. Freeport McMoran melalui mekanisme “divestasi saham” oleh Pemerintah Daerah.

Sejalan dengan itu, seluruh instrumen industri yang dapat berguna bagi penguatan perekonomian di Tanah Papua, wajib pula berada di tengah-tengah rakyat, Bangsa, dan Tanah Papua. Dengan kata lain, industrialisasi pertambangan yang sedianya akan dieksekusi oleh Pemerintah Pusat, wajib memprioritaskan pembangunan industri di daerah penghasil seperti Tanah Papua. Para pemimpin nasional di era saat ini, harus menyadari bahwa penyakit “sentralistik: termasuk sentralisasi pembangunan industri” dan penyakit “militerisme” merupakan biang kerok kegagalan sejarah Republik membentuk Tanah Papua sebagai tanah, rakyat dan Bangsa yang sejahtera dan mandiri.

Selain itu, dalam sistem ketatanegaraan nasional, seluruh kepentingan Bangsa Papua perlu mendapatkan pengakuan dan perlindungan, melalui regulasi yang benar-benar nyata dan bukan sekedar proyek “first order” dari pemikiran dan konsep yang dikembangkan oleh Jakarta. Kehadiran The Statute/ Undang-Undang/ Regulasi dalam sebuah negara yang berdaulat, merupakan bentuk pengakuan terhadap eksistensi suatu negara. Sehingga Pemerintah Pusat tidak perlu berpersepsi negatif, jika terdapat aspirasi dari rakyat di Tanah Papua untuk memperkuat pelaksanaan praktek berdaerah, dengan prinsip-prinsip kemandirian daerah, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, kedalam bentuk revisi Undang-Undang Otonomi Khusus versi Tahun 2001 kedalam skema Otsus Plus yang sedang digagas bersama oleh Pemerintah Daerah.

Sudah saatnya, elit-elit nasional kembali pada sejarah yang sebenarnya, bukan bercermin pada sejarah manipulatif yang dibentuk oleh rezim “the new order” yang mempraktekkan kekuasaan secara sentralistik dan otoriter di masa lalu. Ingatan yang telah lumpuh oleh sistem yang dibangun lebih dari 32 Tahun, dengan kebohongan sejarah yang diceritakan secara berulang-ulang melalui generasi yang lahir di periode 1968 – 1998, merupakan fakta sejarah yang kelam (era kegelapan), yang mengubur cita-cita dan semangat “karya swadaya” Bangsa Papua begitu sangat lama, sehingga tidak mengherankan generasi-generasi di Tanah Papua pada hari ini, telah banyak yang lupa dan tidak menyadarinya, serta masih beranggapan bahwa visi “kemandirian” masih sebatas impian dan optimisme belaka.