Beranda » Tokoh
Category Archives: Tokoh
31 Juli Putusan Pemilu Bupati Tolikara Dibacakan di MK: Tidak Ada Perubahan Terhadap Putusan KPU
Wakil Bangsa Papua – Setelah sekian lama menunggu putusan sengketa Pemilu Bupati Tolikara yang menghabiskan waktu selama 5 bulan (pemeriksaan perdana di MK pada tanggal 17 Maret 2017), kini kepastian hukum atas sengketa Pemilu Bupati Tolikara akan memasuki tahapan putusan Mahkamah, yang sedianya akan dijadwalkan pada hari senin, 31 Juli 2017, pukul 14.00 WIB.
Rakyat di Kabupaten Tolikara harus menunggu begitu lama pembacaan putusan final sengketa Pemilu Kepala Daerah, disebabkan penyelenggaraan PSU di 18 Distrik, dan polemik yang dimunculkan oleh Unit Gakkumdu Papua, yang sempat menetapkan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai tersangka Pidana Pemilu, yang sejatinya merupakan tuduhan yang salah alamat, sebab tidak menyangkut “konten” larangan kampanye menurut Pasal 69 UU Pilkada No.10 Tahun 2016.
Alhasil, penyidik Kepolisian yang tergabung dalam Unit Gakkumdu Papua, harus mengeluarkan putusan penghentian penyidikan (SP3) yang telah diumumkan pada tanggal 13 Juli 2017. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menunda pembacaan putusan sengketa Pemilu Bupati Tolikara pada akhir bulan Juli ini.
Sengketa Pilkada Tolikara Merugikan Anggaran Tolikara 2017 dan 2018
Dalam keadaan terpisah, sengketa Pemilukada Tolikara juga merugikan masyarakat Tolikara secara keseluruhan. Sebab, sejumlah realisasi anggaran yang seharusnya berjalan normal di Tahun 2017, mengalami gangguan, disebabkan tidak kondusifnya, penyelenggaraan Pemilu Bupati Tolikara, karena harus melewati hingga 2 kali penyelenggaraan Pemilu (15 Februari dan 17 Mei).
Dampak yang telah dirasakan oleh masyarakat Tolikara, yaitu munculnya keluhan pegawai paramedis di Rumah Sakit Umum Daerah Karubaga, yang mengeluhkan belum menerima pembayaran gaji honorarium selama beberapa bulan. Kondisi ini dapat terjadi, disebabkan, penyelenggaraan Pemerintahan Daerah selama kekosongan pejabat Bupati definitif, telah menimbulkan kekacauan manajemen Pemerintahan, terutama dalam rangka pelaksanaan pelaporan anggaran di Kementerian Dalam Negeri, yang mengakibatkan pemberian sanksi berupa penundaan transfer anggaran daerah.
Perlu menjadi catatan, bahwa realisasi transfer daerah disepanjang Tahun 2017, dilaksanakan pada bulan Maret dan pada bulan Agustus 2017. Jika terjadi masalah/gangguan dalam pelaporan pertanggung-jawaban penggunaan anggaran dalam termin pertama, maka pihak Kementerian Dalam Negeri dapat memberikan sanksi penundaan transfer anggaran daerah.
Sehingga polemik yang muncul dari sengketa Pemilu Kepala Daerah di Tolikara, telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat Tolikara, dan membebani pelaksanaan Pemerintahan, bagi siapapun Bupati terpilih hasil putusan Mahkamah Konstitusi.
Hasil Sidang Perdana Pasca PSU Tolikara 6 Juli 2017
Pihak KPU selaku penyelenggara Pemilu PSU Bupati Tolikara pada tanggal 17 Mei 2017 (berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi) telah melaporkan pelaksanaan pemungutan suara di 18 distrik, meliputi 251 TPS, pihak KPU juga telah menyelesaikan proses rekapitulasi di tingkat kabupaten pada tanggal 24 Mei 2017.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU tersebut, telah diperoleh total perolehan suara masing-masing kandidat, meliputi:
1). Kandidat Nomor Urut 1 memperoleh suara 73.205 suara,
2). Kandidat Nomor Urut 2 memperoleh suara 1.439 suara, dan
3). Kandidat Nomor Urut 3 memperoleh suara 25.260 suara.
Dimana dalam pelaksanaan Pemilu PSU di 18 Distrik tersebut, mencakup jumlah suara sah 99.904, dan suara tidak sah = 85, dengan referensi total DPT = 99.989.
Dengan melihat pembacaan hasil perolehan suara ketiga pasangan Bupati/Wakil Bupati pada sidang 6 Juli 2017, dan mencermati tuntasnya perkara pidana Pemilu Tolikara dengan dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) di Unit Gakkumdu Papua, maka bisa dipastikan, tidak akan ada perubahan putusan atas rekapitulasi suara yang telah dilakukan oleh KPU Tolikara, yang memenangkan pasangan Nomor Urut 1 dengan perolehan suara mencapai 73.205 suara.
Lukas Enembe Mampu Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Papua Lebih Tinggi Dibanding Pulau Jawa
Wakil Bangsa Papua – Provinsi Papua dibawah kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe terus melakukan pembenahan di sektor perekonomian daerah. Memang nilai current ekonomi di Provinsi Papua tidaklah sebesar kapitalisasi perekonomian yang bergerak di Pulau Jawa, dimana nilai kapitalisasi perekonomian di Provinsi Papua hanya mencapai 131,2 Triliun, sedangkan di Provinsi Jawa Timur mampu mencetak kapitalisasi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 1689,8 Triliun (Sumber: Diolah Dari BI). Kapitalisasi pertumbuhan di Pulau Jawa, tentunya akan terus meningkat jika menghitung keseluruhan kontribusi perekonomian yang ada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jakarta dan Banten.
Namun secara agregat (YoY %), nilai pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Provinsi Papua di era Lukas Enembe pada Tahun 2016, ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan pencapaian rata-rata pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh mayoritas Provinsi di Pulau Jawa. Berdasarkan grafik 2, nilai pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua mencapai 9,21%, jauh lebih besar jika dibandingkan pergerakan ekonomi di Provinsi Jawa Timur yang hanya mencapai 5,55%, DI. Yogyakarta 5,05%, Jawa Tengah 5,28%, Banten 5,26%, Jawa Barat 5,67% dan DKI Jakarta mencapai 5,85%. Sedangkan memasuki Tahun 2017, kinerja pergerakan perekonomian di Provinsi Papua mampu mencetak pertumbuhan hingga 16,01% (average TW1 dan TW2).
Sekalipun nilai current pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa memang sangat besar, misalnya current pertumbuhan Provinsi Jawa Timur yang mencapai 1689,8 Triliun, namun Provinsi Jawa Timur menyumbang beban impor yang cukup tinggi mencapai 669,5 Triliun (beban impor dihitung sebagai variable pengurang pertumbuhan ekonomi, seringkali disingkat dalam rumus X-M).
Perlu menjadi catatan dalam pengambilan kebijakan di Provinsi Papua disepanjang Tahun 2017, bahwa agregat belanja rumah tangga di Provinsi Papua menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, dengan nilai current 53,59 Triliun di Tahun 2016. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk menekan laju inflasi harga-harga kebutuhan pokok, menjadi kunci utama memelihara trend pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua.
Selain itu, nilai pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua juga ditopang dengan adanya struktur belanja Pemerintah Daerah. Sekalipun proporsi belanja Pemerintah Daerah tidak sebesar konsumsi rumah tangga “masyarakat”, namun nilainya yang mencapai 25,3 Triliun, ikut berkontribusi terhadap pergerakan perekonomian di Tanah Papua. Apakah angka ini sudah cukup besar? Dibandingkan dengan alokasi belanja Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur yang mencapai 110,19 Triliun, tentunya nilai spending belanja Pemerintah Daerah di Provinsi Papua masih perlu ditingkatkan dimasa mendatang, mengingat proporsi luas wilayah yang begitu sangat besar di Provinsi Papua, dan tantangan pembangunan yang masih dihadapkan pada keterisolasian dan less aksesibilitas kegiatan Pemerintahan Daerah/masyarakat/pelaku ekonomi keseluruh kawasan di Provinsi Papua.
Untuk mendukung penguatan spending belanja Pemerintah Daerah yang lebih besar, Gubernur Lukas Enembe telah berhasil mendorong pengalihan Corporate Tax PT. Freeport Indonesia menjadi komponen pendapatan milik Provinsi Papua. Tentunya, untuk memberikan kepastian hukum penyelenggaraan DBH PPh Badan bagi Provinsi Papua dimasa-masa mendatang, saat ini masih dibutuhkan dasar regulasi setingkat Undang-Undang yang dapat mengisi kekosongan UU otsus No 21 Tahun 2001 yang dipandang sudah ketinggalan zaman “kadaluarsa”, dan membutuhkan pembaharuan sejumlah kebijakan substantive yang didasarkan pada kebutuhan yang terus mengalami penyesuaian (berdasarkan aspirasi rakyat di Tanah Papua).
Tentunya kebijakan populis lainnya yang telah lama diterapkan oleh Lukas Enembe selaku Gubernur di periode 2013 – 2018, adalah memindahkan transfer Dana Otsus mencapai 80% kepada daerah Kabupaten/Kota. Kebijakan ini menjadi stimulus belanja yang telah terbukti memperkuat peran Kabupaten/Kota menjadi subyek utama pembangunan di Tanah Papua.
Invisible Hand (Pro Justicia) : Upaya Menjatuhkan Gubernur Papua
Wakil Bangsa Papua – Tidak diragukan lagi, kiprah Gubernur Papua, Lukas Enembe, yang seringkali bersikap “non-kompromis” dengan sejumlah persoalan penting di Tanah Papua, sebut saja persoalan Perpanjangan Kontrak PT. FI (masalah divestasi, smelter, pengalihan perpajakan PPH Badan PT. FI), menyoal pelanggaran HAM yang tidak kunjung tuntas, dan lain-lain, diyakini banyak menimbulkan resistensi di kalangan pusat.
Bagi mereka yang berkepentingan dengan agenda “monopoli aset-aset strategis” di Tanah Papua, menghadapi Gubernur Papua, Lukas Enembe, seperti menghadapi “gunung besar/barrier yang kokoh”, yang tidak mudah untuk di rayu dengan janji-janji atau perbuatan gratifikasi. Jika Gubernur Lukas Enembe berorientasi pada “kapitalisasi proyek”, tentunya kebijakan pengelolaan dana otsus yang bertahan sejak UU otsus disahkan (2001), yang menyerahkan pengelolaan dana otsus kepada Provinsi sebesar 80%, sisanya kepada Kabupaten/Kota 20%, tidak akan berani diubah/direvisi oleh Lukas Enembe, setelah dilantik menjadi Gubernur pada Tahun 2013 silam.
Komitmen untuk membagai “kapasitas fiskal” bagi terselenggaranya pembangunan yang berkeadilan bagi ujung tombak pembangunan di Pemda Kabupaten/Kota, segera diwujudkan oleh Lukas Enembe, dengan meneruskan agenda perubahan, formulasi distribusi dana otsus menjadi 80% milik daerah Kabupaten/Kota, kepada Presiden SBY pada tahun 2013, dan mendapatkan persetujuan oleh Presiden SBY pada saat itu, dan menjadi keputusan yang monumental pada saat itu, bagi daerah Kabupaten/Kota yang selama ini sering mengeluhkan mengalami defisit anggaran.
Dalam kasus yang hampir serupa, sekiranya Gubernur Lukas Enembe tertarik dengan tawaran PT. Freeport Indonesia dan Pemerintah Pusat, untuk tidak mempersoalkan jatah saham bagi rakyat di Tanah Papua, sudah barang tentu Lukas Enembe tidak akan bertahan sampai saat ini, untuk tetap meminta konsistensi Pemerintah Pusat, melaksanakan agenda penyerahan sebagian saham PT. FI kepada rakyat Papua, tanpa kompromis. Bahkan dalam kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan elit politisi – pengusaha nasional beberapa waktu lalu, menunjukkan adanya upaya yang dilakukan secara sistematis melalui kekuasaan legislatif dan eksekutif pusat, untuk mengambil alih secara paksa penyerahan saham PT. Freeport Indonesia dari tangan rakyat Papua.
Nyatanya, agenda invisible hand, untuk meruntuhkan “gunung besar” yang menghalangi tujuan para kelompok yang merasa terusik dengan kehadiran Gubernur Lukas Enembe, mulai menggunakan upaya melalui instrument hukum “memanfaatkan alat negara, seperti KPK, Kepolisian, kejaksaan” untuk melemahkan bahkan mendiskualifikasi Lukas Enembe dalam perannya sebagai “the guardian” yang selalu melindungi kepentingan rakyat di Tanah Papua.
Stigma yang ditimbulkan dalam peristiwa “kasus korupsi”, selama ini dipandang efektif untuk menjegal jabatan politik seorang pejabat publik, tesis inilah yang kemungkinan sedang dimainkan untuk membungkam Lukas Enembe dari peran sentralnya selama ini.
Upaya menunggangi “instrument hukum” bukanlah barang baru dalam percaturan politik dewasa ini, hal ini menjadi semacam “new pattern” semenjak maraknya penggunaan “instrument hukum” untuk mengkriminalisasi tokoh-tokoh tertentu yang berlawanan kepentingan dengan kehendak kelompok yang lebih berkuasa.
Mendekati momentum Pilkada 2018, operasi penggulingan Lukas Enembe dimulai dengan kegiatan penggeledahan KPK di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua, pada awal Februari 2017 (1/2/2017). Kemudian dua hari setelahnya (3/2/2017), KPK menetapkan Kepala Dinas PU Provinsi Papua, Michael Kambuaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pembangunan ruas jalan Kemiri – Depapre, Jayapura. Pokok perkara dugaan korupsi yang disangkakan terhadap Kepala Dinas PU Provinsi Papua terkait dengan pekerjaan konstruksi yang dianggarkan dalam APBD 2015 melalui pengadaan lelang elektronik (LPSE).
Setelah beberapa bulan penetapan tersangka Michael Kambuaya, tampak sejumlah politisi mulai mengarahkan bandul dugaan kasus korupsi pengadaan paket lelang pekerjaan konstruksi di Dinas Pekerjaan Umum kepada Gubernur Papua, Lukas Enembe. Sekalipun belum ada keterangan resmi dari KPK, untuk melakukan pemanggilan Lukas Enembe sebagai saksi/terperiksa menyangkut pemberian keterangan kepada KPK, namun berbagai upaya mengaitkan Gubernur Papua sudah mulai diopinikan oleh sejumlah politisi, yang tergambar dari beberapa aktivitas mendesak penangkapan Gubernur di depan Gedung KPK, Jakarta (31/5/2017).
TUDUHAN KORUPSI YANG ANEH
Yang menarik, kinerja keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Papua di Tahun 2015 berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) seperti tampak pada diagram dibawah ini:
Dalam kurun waktu 3 tahun masa pemerintahan Lukas Enembe sebagai Gubernur Papua (2013-2015), terjadi perbaikan kinerja keuangan daerah yang sangat signifikan, dimulai dari pemberian predikat WDP pada tahun 2013, disusul pemberian predikat WTP DPP pada tahun 2014, dan predikat sempurna WTP di pemeriksaan LKPD Provinsi Papua pada tahun 2015. Penetapan hasil audit WTP oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang meneliti proses akuntansi keuangan daerah, berasal dari keyakinan auditor terhadap pengelolaan keuangan negara di daerah yang dipandang tidak mengandung kesalahan materil dan dapat disajikan secara transparan, dimana Pemda dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi dalam pengelolaan keuangan daerah secara kredibel.
Hasil yang dicapai oleh Gubernur Lukas Enembe, tampak kontras 180 derajat dengan raihan hasil pemeriksaan kinerja keuangan pejabat Gubernur 2 tahun sebelumnya yang sama sekali tidak mendapatkan penilaian dari Badan Pemeriksa Keuangan (disclaimer of opinion). Sekali lagi, untuk apa KPK secara tiba tiba melakukan pemeriksaan di SKPD Provinsi Papua? Jika melihat rekomendasi BPK yang tidak memberikan “justment” adanya penyimpangan keuangan daerah, berdasarkan monitoring LKPD yang dilaporkan secara berkala disetiap tahunnya kepada lembaga auditor yang berwenang?
LAZIMNYA PENGGELEDAHAN DIDAHULUI ADANYA BUKTI KUAT MELALUI OPERASI OTT
Melihat rekam jejak pelaporan LKPD Pemda Provinsi Papua terkait pelaksanaan anggaran APBD Tahun 2015 yang menjadi subyek pemeriksaan dugaan korupsi, berdasarkan hasil penggeledahan “kilat” petugas KPK di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua, justru tidak diawali dengan adanya “justment” dari Badan Pemeriksa Keuangan yang menunjukkan adanya penyimpangan dalam pelaporan kinerja keuangan Pemda Provinsi Papua. Dalam resumen kegiatan penggeledahan KPK di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua, juga tidak ditemukan adanya transaksi suap/gratifikasi sebagaimana temuan TIM OTT KPK dalam sejumlah kasus korupsi yang lazim ditangani oleh KPK. Lalu apa dasar KPK menetapkan status tersangkanya Kepala Dinas PU Provinsi Papua?
Yang tampak ganjil, justru rekanan pengusaha, David Manibui, yang memenangkan tender lelang dalam proyek jalan Kemiri – Depapre, baru ditetapkan sebagai tersangka pada pertengahan Maret 2017 (22/3/2017), tepatnya 48 hari setelah penetapan tersangka Kepala Dinas PU Provinsi Papua, Michael Kambuaya. Tampak processing pemeriksaan perkara tender lelang jalan Kemiri – Depapre, pada awalnya adalah temuan kasus yang muncul dari hasil penggeledahan di Kantor PU Provinsi Papua, tanpa didahului adanya “bukti fisik” temuan aktivitas suap/gratifikasi yang lazim dilakukan oleh pengusaha kepada pejabat publik dalam banyak kasus yang ditangani oleh KPK selama ini.
Lalu apa dasar materil yang menjadikan kasus tender lelang jalan Kemiri – Depapre pada Tahun 2015, menjadi obyek tindak pidana korupsi sebagaimana yang diklaim oleh KPK?
TIDAK BENAR JIKA DITUDUH PROYEK FIKTIF
Pertama-tama kewenangan KPK dalam menetapkan obyek perkara menjadi kasus Tipikor merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Tidak ada bantahan terkait kewenangan secara kelembagaan yang dimiliki oleh KPK untuk menetapkan suatu obyek perkara menjadi sebuah kasus yang bernilai pidana. Namun, seluruh proses yang mendasari sikap kelembagaan harus dapat di uji dengan penilaian yang benar-benar dapat dipertanggung-jawabkan dihadapan publik.
Menyoal permasalahan dasar materil apa yang digunakan oleh KPK untuk menetapkan tender lelang jalan Kemiri – Depapre, tahun 2015, yang sedianya telah dijalankan melalui proses lelang secara terbuka, dengan skema e-procurement yang benar-benar dapat awasi oleh masyarakat, justru dinilai oleh lembaga anti rasuah melanggar Pasal 12 ayat 1 /pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.
Satu-satunya informasi yang dapat dielaborasi terkait dasar penetapan tersangka oleh KPK adalah pernyataan press release biro humas KPK (Jubir KPK) yang menyebutkan adanya potensi kerugian negara mencapai Rp 42 Miliar. Menurut KPK terdapat dugaan jika proses lelang tender yang diselenggarakan dengan skema e-procurement tersebut fiktif/tidak benar-benar ada.
Apa benar seperti itu? Mari kita simak secara lengkap kronologis pengadaan lelang pekerjaan konstruksi jalan Kemiri – Depapre sebagai berikut:
Informasi Lelang Peningkatan Jalan Kemiri – Depapre Sepanjang 24 KM |
|
Kode Lelang | 2358041 |
Kategori | Pekerjaan Konstruksi |
Metode Pengadaan | e-procurement |
Tahun Anggaran | APBD 2015 (DAK) |
Nilai Pagu Paket | Rp 89.530.250.000,00 |
Nilai HPS Paket | Rp 89.530.250.000,00 |
PESERTA LELANG |
||
No | Nama Perusahaan | NPWP Badan Usaha |
1 | PT. TOMBANG | 01.213.049.8-122.000 |
2 | PT. BIRI INDAH MANDIRI | 02.658.637.0-952.000 |
3 | PT PAPUA AKBAR BERSATU | 02.096.284.1-952.000 |
4 | PT. GEOTECHNICAL SYSTEMINDO | 02.520.664.0-015.000 |
5 | PT. YOUTEFA INDAH | 02.453.426.5-952.000 |
6 | PT. NINDYA KARYA (Persero) | 01.001.612.9-093.000 |
7 | PT. CENDERAWASIH MAS | 02.138.529.9-955.000 |
8 | PT BUMI INFRASTRUKTUR | 31.672.887.2-952.000 |
9 | PT. SIOS PERMAI | 01.738.069.2-954.000 |
10 | PT. DUTA INDOFARMA PAPUA | 01.615.810.7-952.000 |
11 | PT. LINTAS INDONESIA KHATULISTIWA | 02.965.896.0-432.000 |
12 | CV. MANDIRI URAK JAYA | 02.570.357.0-952.000 |
13 | PT.URAMPI INDAH PRATAMA | 01.956.185.1-952.000 |
14 | PT.BINTUNI ENERGY PERSADA | 31.299.211.8-955.000 |
15 | PT. NAFRI JAYA PRATAMA | 03.308.204.1-952.000 |
16 | PT. Pamelati Raya | 02.813.119.1-952.000 |
Tahapan Lelang |
|
Tahapan | Time line |
Pengumuman Pascakualifikasi | 24 Agustus 2015 (21:00) – 31 Agustus 2015 (21:00) |
Download Dokumen Pengadaan | 24 Agustus 2015 (22:00) – 31 Agustus 2015 (22:00) |
Pemberian Penjelasan | 27 Agustus 2015 (11:00 ) – 27 Agustus 2015 (11:00) |
Upload Dokumen Penawaran | 28 Agustus 2015 (09:00 ) – 31 Agustus 2015 (11:00) |
Pembukaan Dokumen Penawaran | 31 Agustus 2015 (11:30 ) – 31 Agustus 2015 (15:00) |
Evaluasi penawaran | 31 Agustus 2015 (16:00 ) – 7 September 15 (10:00) |
Evaluasi Dokumen Kualifikasi | 2 September 15 (11:00) – 7 September 15 (16:00) |
Pembuktian Kualifikasi | 3 September 15 (11:00) – 7 September 15 (13.30) |
Upload Berita Acara Hasil Pelelangan | 8 September 15 (9:00) – 8 September 15 (16:00) |
Penetapan pemenang | 8 September 15 (14:00) – 8 September 15 (16:00) |
Pengumuman Pemenang | 8 September 15 (14:00) – 8 September 15 (16:00) |
Masa Sanggah Hasil Lelang | 9 September 15 (8:00) – 14 September 15 (8:00) |
Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa | 14 September 15 (9:00) – 14 September 15 (15:00) |
Penandatanganan Kontrak | 16 September 15 (9:00) – 16 September 15 (15.00) |
Berdasarkan informasi tahapan pelaksanaan lelang yang diselenggarakan oleh Biro Layanan Pengadaan Setda Pemerintah Provinsi Papua, terkait peningkatan jalan Kemiri – Depapre, pada tanggal 8 September 2015 dimenangkan oleh PT. Bintuni Energy Persada, dengan nilai penawaran yang disetujui (terkoreksi) mencapai Rp 86.893.711.000,00 atau lebih rendah Rp 2.636.539.000,00 dari harga HPS yang ditetapkan dalam pagu lelang. Nilai penawaran yang diberikan PT. Bintuni Energy Persada justru dapat menghemat APBD Provinsi Papua sebesar Rp 2,6 Miliar.
Tahapan pelaksanaan lelang dilakukan mengikuti kaidah pengadaan barang secara terbuka, melalui mekanisme lelang elektronik (LPSE), yang berlangsung dari tanggal 24 Agustus 2015 (dimulai pada tahapan pengumuman pascakualifikasi) sampai pada tahapan pengumuman pemenang tender pada tanggal 8 September 2015. Sehingga tidak benar, jika ada tudingan, pihak PT. Bintuni Energy Persada memperoleh pekerjaan konstruksi dengan jalan mendapatkan bantuan dari pejabat eksekutif daerah (seperti diskenariokan adanya keterlibatan pejabat daerah).
Ketentuan Pasal 36 ayat 1 “Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya pada prinsipnya dilakukan melalui metode Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi” (Perpres 54/2010).
Pasal 36 ayat 3 “Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya melalui Metode Pelelangan Umum diumumkan paling kurang di website K/L/D/I, dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE, sehingga masyarakat luas dan dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya” (Perpres 54/2010).
DUGAAN PENGALIHAN JALUR PEMBANGUNAN JALAN (ALIH TRASE) OLEH PT. BINTUNI ENERGY PERSADA
Pokok perkara terkait penetapan prosedur lelang, telah dicermati bersesuaian dengan kaidah penyediaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010, sehingga dengan sendirinya tudingan penyimpangan dalam proses lelang tereliminasi dalam kasus ini. Adapun dalam pelaksanaannya, setelah proses tender telah dimenangkan oleh PT. Bintuni Energy Persada, merupakan persoalan kepatuhan Penyedia Barang/Jasa “pekerjaan konstruksi” terhadap dokumen pengadaan/kontrak, yang dapat dikenakan sanksi berdasarkan Perpres 54/2010.
Dalam pengakuannya, Kuasa Hukum PT. Bintuni Energy Persada, Sugeng Teguh Santoso, menyebutkan memang terjadi pengalihan ruas jalan yang sebelumnya direncanakan disepanjang 2 KM dengan topografi jalan yang berkelok-kelok, terdapat lembah dan pemukiman warga (memungkinkan adanya permintaan ganti rugi lahan, yang semakin menambah biaya pembebasan jalan), kemudian diputuskan untuk melakukan alih trase (berdasarkan perjanjian addendum nomor 0505962, 27/9/2015) atas persetujuan PPK, dimana pihak kontraktor kemudian membelah gunung dengan mengurangi waktu tempuh pengerjaan jalan menjadi 800 Meter. Pihak PT. Bintuni Energy Persada menjelaskan, jika sebelumnya lebar jalan hanya 6-7 meter saja pada rencana 2 KM, kini pada pengerjaan jalan 800 Meter lebar jalan ditambah menjadi 22 Meter.
Tampak dalam perubahan rencana pembangunan jalan berdasarkan dokumen kontrak dilakukan setelah Perusahaan penyedia barang/jasa melakukan konsultasi dengan petugas PPK di Dinas PU Provinsi Papua (atas persetujuan PA/KPA dalam hal ini Kepala Dinas PU). Ketika melihat pengurangan pengerjaan ruas jalan yang direvisi oleh kontraktor, tampak jelas terdapat ketidaksesuaian antara rencana dokumen anggaran dengan pengerjaan dilapangan. Kemungkinan, KPK melihat perubahan ini sebagai potensi penyimpangan yang disinyalir menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 42 Miliar.
Uraian tugas dan wewenang pejabat PPK terkait pengadaan barang/jasa serta proses pengawasan/pengendalian kepatuhan pelaksanaan kontrak yang dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa dalam hal ini PT. Bintuni Energy Persada dijelaskan secara cermat dalam Perpres 54/2010 sebagai berikut:
PPK berwenang: 1). Menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi: spesifikasi teknis Barang/Jasa, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan rancangan Kontrak. 2). Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa; 3). Menandatangani Kontrak; 4). Melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa; 5). Mengendalikan pelaksanaan Kontrak (bertanggung-jawab terhadap kepatuhan pelaksanaan kontrak oleh penyedia barang/jasa); 6). Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA (dalam hal ini Kepala Dinas PU); 7). Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan; 8). Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan (Pasal 11 ayat 1). Selain itu, PPK juga berwenang untuk mengusulkan kepada PA/KPA untuk melakukan perubahan paket pekerjaan (Pasal 11 ayat 2).
Sehingga tidak relevan jika ada pihak-pihak yang tidak mengerti subyek perkara, justru berusaha memanfaatkan momentum penetapan tersangka Kepala Dinas PU Provinsi Papua (sebagai penanggung jawab PA/KPA di Dinas Pekerjaan Umum) untuk menyeret Gubernur Lukas Enembe dalam pusaran kasus yang tengah ditangani oleh KPK tersebut.
Tampaknya upaya para “aktor politik” yang merasa diuntungkan dengan adanya penetapan tersangka Kepala Dinas PU Provinsi Papua benar-benar telah memanfaatkan momentum kasus ini untuk “memancing di air yang keruh”. Tidak begitu penting “judul substantif/kebenaran material” dalam kasus yang melibatkan Kepala Dinas PU beserta PT. Bintuni Energy Persada (PT. BEP), menjadi pesakitan dalam dugaan kasus tipikor yang tengah ditangani oleh KPK.
Bagi kelompok ini, siapapun yang dijadikan tersangka “tidak menjadi masalah” untuk dimanfaatkan sebagai pintu masuk “menjadi tumbal” dalam upaya penggulingan Lukas Enembe, secara kebetulan “Kepala Dinas PU Provinsi Papua” beserta “PT. BEP” dijadikan mediator kasus, untuk menarget sasaran “politis” yang lebih besar yaitu Gubernur Lukas Enembe. Bisa dipastikan kasus ini akan dijadikan “martir” untuk mengganggu kinerja Gubernur Lukas Enembe dalam waktu yang tersisa disepanjang tahun 2017-2018. Publik di Tanah Papua akan menyaksikan tarik menarik isu pidana yang akan dimainkan untuk menyerang secara persisten pribadi Gubernur Lukas Enembe, sebagai alat “politis” untuk sekedar menciptakan tekanan psikologis hingga meruntuhkan kredibilitas Gubernur dalam event Pilkada 2018 mendatang.
Save Gubernur Papua, Save Para Pejuang Bangsa Papua.. Wa Wa
Willem Wandik: Menteri ESDM Tidak Pantas Menyalahkan Bapak SBY Soal PETRAL
Senator Tanah Papua – Sikap menteri ESDM yang menyalahkan Presiden SBY terkait persoalan Petral, tidak menggambarkan sikap seorang penyelenggara Negara yang bertanggung-jawab. Sebagai Menteri yang memegang otoritas di sektor migas, seharusnya mengutamakan kinerja dan fokus menemukan solusi konkret untuk menuntaskan persoalan mafia migas yang telah lama menjadi masalah nasional.
Untuk menuntaskan persoalan mafia migas, Presiden Jokowi telah membentuk unit khusus yang fokus mengkaji persoalan mafia Migas, yang didalamnya termasuk melibatkan pihak Kementerian ESDM, yang bertugas untuk melakukan pengakajian dan evaluasi secara komprehensif terkait penyelenggaraan migas secara nasional. Namun hasil yang diharapkan tidaklah sesuai dengan harapan Presiden dan antiklimaks dengan harapan publik.
Seolah-olah mencari alasan pembenaran dan tidak mau disalahkan oleh publik dan pemberi mandat “presiden Jokowi”, pihak Kementerian ESDM justru sibuk mencari-cari alibi atas kegagalan menertibkan sektor migas yang telah lama menjadi obyekan para mafia migas nasional maupun internasional.
Posisi Menteri ESDM yang terdesak untuk segera memberikan pertanggung-jawaban terkait persoalan mafia migas, diantaranya menyoal peran petral, telah menempatkan Presiden SBY sebagai pihak yang turut disalahkan. Padahal dimasa lalu, Menteri ESDM saat ini juga menjadi bagian dari “official” Pertamina yang juga turut serta memberikan andil dalam persoalan Petral. Seperti yang diketahui oleh publik, bahwa Petral yang menjadi polemik pada saat ini merupakan bagian dari anak perusahaan Pertamina.
Melihat daftar kerja yang perlu dituntaskan oleh Menteri ESDM, yang didalamnya termasuk persoalan mafia migas, menjadikan pekerjaan rumah Kementerian ESDM terlalu banyak untuk tidak dipersoalkan. Sehingga terlalu naïf jika Menteri ESDM hanya sibuk mencari-cari kesalahan Pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Bapak SBY. Saat ini publik mengharapkan agar Menteri ESDM segera bekerja lebih cepat untuk menuntaskan persoalan-persoalan substantif di Kementerian yang dipimpinnya, dibandingkan sibuk bergosip tentang kinerja Pak SBY dimasa lalu. Setiap era Pemerintahan memiliki urgensi persoalan yang menuntut sikap kenegarawanan setiap pemimpinnya, termasuk para menteri yang saat ini memimpin institusinya masing-masing.
Selain masalah mafia migas yang sampai hari ini masih menjadi polemik terkait kinerja Menteri ESDM dalam melaksanakan tupoksinya, sejumlah persoalan lainnya yang masih menuai polemik diantaranya persoalan pembangunan smelter PT. Freeport yang seharusnya berpihak pada pembangunan di daerah penghasil tambang “Tanah Papua”. Kewenangan menentukan pembangunan Smelter PT. Freeport berada pada otoritas Menteri ESDM.
Representasi pemerintah pusat di Papua yang terdiri dari Gubernur, MRP, DPRP, Bupati/Walikota, DPRD, dan wakil rakyat di DPR RI telah berulangkali melayangkan keberatan dan meminta kepada pihak kementerian ESDM agar pembangunan smelter harus memprioritaskan Tanah Papua, sebagai daerah penghasil sumber daya tambang, sesuai dengan amanah UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Namun pihak Kementerian ESDM justru memuluskan sentralisasi industri smelter di Pulau Jawa.
Penyelenggaraan daerah otonom di Tanah Papua bukanlah dalam status sebagai daerah otonom biasa, melainkan penyelenggaraan daerah otonom yang diatur secara lex specialis, yang diperkuat oleh hadirnya UU Otsus tahun 2001. Kekhususan tersebut juga telah memperkuat penyelenggaraan desentralisasi di Tanah Papua, yang tidak hanya menyangkut aspek pemerintahan semata, tetapi pengelolaan sumber daya alam yang diharapkan menjadi kekuatan fiskal Tanah Papua untuk mendorong kemandirian keuangan daerah.
Tanpa kebijakan desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua, berupa industrialisasi smelter yang terdistribusi secara adil di Tanah Papua. Maka justifikasi yang menyebutkan pulau jawa selalu memonopoli kepentingan industri dan pertumbuhan ekonomi nasional, merupakan realitas berbangsa yang terpampang secara transparan dan dapat disaksikan oleh masyarakat daerah.
Hasil dari kebijakan monopolistik dan sentralistik tersebutlah yang menjadikan masyarakat di Tanah Papua pada hari ini semakin apatis dan skeptik terhadap sikap Jakarta. Seolah-olah Jakarta berhak memonopoli “kebajikan pembangunan” untuk menentukan sejumlah prioritas pembangunan yang berada di daerah-daerah, tanpa peduli dengan kepentingan dan aspirasi daerah.
Padahal sikap yang tergambar dari kinerja sejumlah menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi, belum tentu sejalan dengan pikiran-pikiran presiden, termasuk menyoal masalah Papua. Atau jangan-jangan para menteri tidak bisa menterjemahkan dan mengimplementasikan nawa cita Presiden Jokowi, yang menjadi visi besar Presiden Jokowi dalam memimpin bangsa ini.
Sejumlah isyarat keberpihakan Jokowi pada persoalan di Tanah Papua, dapat dilihat dari sikap yang ditunjukkan oleh Jokowi untuk memulai kampanye politiknya disaat pemilu Presiden beberapa waktu lalu, dengan menginjakkan kaki untuk pertama kali ke Tanah Papua.
Setelah dilantikpun, Presiden jokowi-pun melanjutkan safarinya dengan melakukan kunjungan kerja kembali ke Tanah Papua, bahkan menghadiri acara natal bersama-sama rakyat Papua. Presiden Jokowipun telah mendeklarasikan “dialog Jakarta-Papua” sebagai wadah untuk menemukan resolusi persoalan berbangsa dan bernegara di Tanah Papua.
Tentunya sejumlah kunjungan Presiden Jokowi ke Tanah Papua telah memberikan isyarat penting kepada bangsa ini, bahwa posisi Tanah Papua dipandang penting oleh Presiden. Disamping itu, Presiden Jokowi juga menempatkan Tanah Papua sebagai bagian dari simpul-simpul yang wajib dibangun dengan skema jalur sutra maritim. Pokok-pokok pikiran Presiden Jokowi yang menegaskan posisi Papua sebagai bagian dari simpul kekuatan maritim nasional juga memberikan isyarat bahwa pembangunan Indonesia harus dimulai dari wilayah paling Timur nusantara.
Keliru menterjemahkan posisi strategis Tanah Papua dalam pandangan Presiden Jokowi itulah, menjadikan Menteri ESDM salah mengambil keputusan dalam menyoal persoalan Papua. Seharusnya Menteri ESDM menempatkan kebijakan kementerian yang dipimpinnya sejalan dengan pikiran-pikiran Jokowi, yaitu penguatan pembangunan di Tanah Papua yang dapat dilakukan dengan penguatan industri smelter yang menjadi kekuatan perekonomian di Tanah Papua.
Keliru jika saat ini Menteri ESDM pun, menyalahkan pak SBY atas kegagalan tugas kementerian yang dipimpinnya untuk menuntaskan mandat presiden Jokowi dan rakyat Indonesia, untuk menuntaskan persoalan mafia migas, termasuk masalah Petral. Posisi bapak SBY, sebagai mantan presiden tentunya telah banyak berkontribusi bagi pembangunan nasional. Secara jujur harus diakui bahwa bapak SBY telah berhasil membawa kondisi perekonomian nasional, politik dan keamanan lebih stabil dibandingkan awal-awal masa reformasi.
Pak SBY telah meletakkan pondasi perekonomian bangsa, stabilitas politik dan keamanan, kedalam posisi yang jauh lebih stabil dibandingkan awal-awal masa refomasi bergulir. Realitas tantangan berbangsa selalu ada disetiap zaman, namun tidak etis rasanya menyalahkan pemimpin sebelumnya atas kegagalan kinerja saat ini dalam mencapai tujuan-tujuan bernegara. Yang patut di apresiasi adalah mandat pembangunan yang diterima oleh Presiden Jokowi pada hari ini, merupakan bagian dari kerja keras Bapak SBY dalam membangun bangsa ini selama 1 dasawarsa terakhir.
Para pembantu Presiden di jajaran Kabinet Kerja saat ini, termasuk para Menteri “tidak terkecuali menteri ESDM”, terlihat gagap dan tidak mampu menterjemahkan pikiran-pikiran Presiden. Sehingga sejumlah sasaran penuntasan persoalan berbangsa dan bernegara mendapatkan treatmen yang keliru, dan terkesan mengalami sub-ordinasi.
Harapan rakyat terhadap Presiden Jokowi semenjak diusung menjadi calon Presiden dan saat ini terplih secara demokratis melalui Pemilu dan mendapatkan mandat rakyat, tentunya tidaklah mudah untuk diwujudkan. Hanya kerja keras dan konsistensi pada tujuan-tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat menjadi jawaban dari tuntutan yang besar dari rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, diharapkan para pembantu Presiden yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan “termasuk para menteri”, agar terus fokus bekerja untuk menemukan solusi dan terobosan bagi penuntasan masalah pembangunan nasional dan persoalan berbangsa lainnya. Kini saatnya para menteri membuktikan mandat yang diberikan oleh Presiden Jokowi, untuk konsisten bekerja menuntaskan tugas dan tanggung-jawabnya dalam memimpin institusinya masing-masing, tanpa harus mencari-cari kesalahan pemimpin sebelumnya.
Capaian dan Harapan Mahasiswa Asal Tanah Papua 10 Tahun SBY Memimpin Indonesia
Senator Tanah Papua: Sejumlah tokoh dari Tanah Papua menempatkan kepemimpinan SBY kedalam figur yang dipandang memberikan ketauladanan kepemimpinan dengan karakter wisdom. Di era demokrasi yang serba kebablasan, setiap orang dapat mengkritik dan menyoroti masalah pribadi setiap pemimpin. Dengan ketenangan yang dimiliki oleh SBY dalam mengendalikan diri, perjalanan kepemimpinan SBY sampai pada penghujung pemerintahan yang ditandai dengan penyerahan estafet kepemimpinan yang berjalan harmonis.
Hadirnya pemerintahan baru yang ditandai dengan serah terima jabatan dalam acara kenegaraan secara resmi, melalui sidang paripurna DPR secara terhormat, adalah salah satu tradisi baru dalam sejarah kepemimpinan nasional.
Diberbagai belahan dunia, negara-negara yang mengalami konflik politik antar elit yang berkuasa, umumnya menjurus pada perpecahan bangsa. Namun kondisi demikian tidak terjadi di negeri kita tercinta. SBY selama ini sanggup menahan diri untuk tidak tergiur menggunakan kekuatan kekuasaan dengan sewenang-wenang untuk mengintervensi setiap pihak yang berseberangan dengan dirinya.
Dampak konflik elit yang dibungkus dengan perseteruan politik, dapat menguras energi “seluruh sumber daya” negeri yang kaya ini, sehingga setiap upaya pembangunan tidak akan berhasil di wujudkan, karena konflik politik menyandera kepemimpinan nasional dan menghambat pembangunan. Pada akhirnya setiap upaya yang dilakukan tidak dapat mengangkat posisi negara ke level kemandirian bangsa.
Rekan-rekan mahasiswa asal Tanah Papua bersikap atas capaian SBY dalam memimpin pemerintahan selama 10 tahun. Agus Kusai, mahasiswa asal Tanah Papua, pada semester akhir di Universitas Kristen Indonesia (UKI) menceritakan bahwa apa yang dirasakan oleh masyarakat di Tanah Papua selama 10 tahun terakhir dalam segala aspek jauh membaik jika dibandingkan era pemerintahan sebelumnya.
Ruang demokrasi selama masa kepemimpinan SBY dipandang sangat positif, menurut Agus Kusai terdapat situasi berbeda yang dirasakan oleh masyarakat asli Tanah Papua, dalam aspek penegakan kehidupan demokrasi.
Kristian Madai yang juga tercatat sebagai mahasiwa UKI, semester 8, menambahkan terdapat hal positif yang terjadi di era pemerintahan SBY, dimana terjadi penguatan kelembagaan seperti KPK, BPK, PPATK, MK, KPU, DKPP, dan lain-lainnya, yang dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa dan menjadi hal yang benar-benar baru di negeri ini. Kehidupan demokrasi terlihat berjalan meskipun terdapat kekurangan di sana sini, namun masih lebih baik dibanding era sebelumnya.
Namun dalam pandangan seorang Agus Kusai, yang menjabat sebagai Ketua DPW Asosiasi Pegunungan Tengah Papua, memberikan catatan khusus terkait pendekatan pemerintah pusat selama ini terhadap persoalan di Tanah Papua. Sejak rezim orde baru berkuasa, pemerintah pusat menempatkan persoalan di Tanah Papua kedalam posisi darurat militer.
Watak militeristik tersebut belum sepenuhnya menghilang hingga hari ini. Terdapat dualisme pendekatan yang digunakan oleh pemerintah pusat di Tanah Papua dalam menjawab tuntutan rakyat. Pendekatan pertama yaitu melalui mimbar publik, pemerintah pusat mengirimkan pesan rekonsiliasi persoalan papua kedalam posisi damai.
Namun dalam waktu yang bersamaan terdapat operasi senyap, operasi diam-diam, yang berbau militeristik, untuk menekan hak-hak demokrasi masyarakat sipil di Tanah Papua. Menurut Agus Kusai terdapat pihak-phak tertentu yang dengan sengaja melaksanakan operasi senyap itu di Tanah Papua.
Pendekatan militeristik di Tanah Papua, menurut Agus Kusai harus segera dihentikan, karena tidak menyelesaikan masalah, justru yang terjadi adalah penguatan simpul-simpul kebencian diantara masyarakat asli di Tanah Papua terhadap negara.
Pendekatan kecurigaan terhadap setiap aktivitas yang menuntut perbaikan kondisi di Tanah Papua dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan melanggengkan kekuatan militer dengan bisnis militer yang selama ini telah banyak memberikan keuntungan bagi pemilik modal asing di Tanah Papua. Service dari penjaga keamanan seperti TNI dan Kepolisian memenuhi kantong-kantong bisnis besar di Tanah Papua.
Ruang komunikasi harusnya menjadi pintu masuk pendekatan yang mengedepankan hati, dan berpandangan konstruktif dalam membangun Tanah Papua. Tidak ada tempat bagi setiap tindakan represif di Tanah Papua. Segala upaya yang dengan sengaja menciptakan konflik harus segera di hentikan.
Agus Kusai pun menambahkan dalam masa detik-detik menjelang pergantian pemerintahan di Jakarta, situasi di Papua saat ini turut mendapatkan pengaruh. Entah by design ataupun muncul secara kebetulan, kondisi di Tanah Papua menjadi begitu menegangkan. Dalam beberapa kegiatan di lingkungan masyarakat akhir-akhir ini mendapatkan pengawasan yang cukup serius oleh aparat. Aktivitas kumpul-kumpul yang dilakukan oleh warga langsung di curigai oleh aparat kemanan sebagai kegiatan yang membahayakan, dan berimplikasi pada penangkapan sejumlah orang.
Willem Wandik: 10 Tahun SBY Memimpin Indonesia dengan Wisdom
Senator Tanah Papua – Tanggal 20 Oktober mendatang sebagai babak baru pergantian kepemimpinan nasional. Belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, pergantian kepemimpinan nasional terlaksana dengan suasana yang penuh persahabatan antara dua pucuk pemimpin nasional.
Presiden SBY yang akan mengakhiri masa purna tugasnya, memberikan ruang yang begitu besar bagi presiden terpilih 2014-2019, Joko Widodo untuk merumuskan rencana kerja dan mengakses berbagai informasi strategis terkait pemerintahan pada masa SBY menjabat sebagai presiden.
Sejarah baru terbentuk dimana transisi pemerintahan berlangsung secara damai dengan terbangunnya komunikasi yang konstruktif diantara pemimpin bangsa. Gaya komunikasi SBY yang cenderung akomodatif dan santun, menjadi kunci mulusnya transisi estafet pemerintahan saat ini.
Dalam kehidupan politik, SBY dipandang mampu menjaga dan memelihara tensi politik di masa pemerintahannya tanpa terpancing untuk menggunakan kekuasaan “abuse of power” dalam rangka menciptakan stabilitas politik seperti yang terjadi pada era orde baru.
Huru-hara perpolitikan nasional sepanjang 10 tahun SBY memimpin pemerintahan, tidak pernah menciptakan perseteruan politik yang mengarah pada konflik yang serius. Stabilitas politik menjadi salah satu kunci kesuksesan yang menandai keberhasilan SBY menciptakan pemerintahan yang efektif, tanpa harus terjebak pada pendekatan militeristik dan represif.
Dalam upaya penegakan supremasi pemerintahan yang bersih, SBY menjalankannya dengan tanpa kompromi. Terhitung beberapa legislator dari partainya sendiri turut menjadi pesakitan di KPK, berkat sikap SBY yang tidak kompromi dengan persoalan korupsi. SBY boleh saja menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kepentingan afiliasi politiknya, namun lagi lagi SBY memilih jalan yang konsisten dengan prinsip dan keyakinannya untuk menjadi panglima terdepan dalam upaya memerangi korupsi di negeri ini.
Terlepas dari segala kelemahan SBY sebagai insan manusia biasa, sebagai warga negara yang mendedikasikan hidupnya selama 10 tahun terakhir dalam pengabdian kepada rakyat, bangsa dan negara. Tentunya kita patut berterimakasih atas sumbangsih pemikiran dan kerja yang tanpa lelah dengan menghadirkan kondisi kedamaian, kesejukan politik, yang dirasakan begitu sangat berbeda dibandingkan kondisi pada awal-awal reformasi bergulir 16 tahun silam.
Bagi masyarakat di Tanah Papua, terdapat kondisi yang jauh berbeda dirasakan semenjak SBY memimpin negeri ini. Rakyat di Tanah Papua merasakan adanya atensi pemerintah terkait kebebasan rakyat sipil di Tanah Papua, hak hak politik, pengakuan hak adat, perlindungan terhadap “human rights” dan perjuangan mencapai tujuan keadilan sosial “social justice” bagi rakyat di tanah papua.
Pengalaman pahit menjadi rakyat yang termarginalkan sepanjang perjalanan republik ini dirasakan betul oleh rakyat di Tanah Papua, karena paradigma pemerintah selalu menggunakan pendekatan konflik dalam menanggapi kompleksitas persoalan di tanah papua. Pendekatan konflik tersebut terasa begitu berubah semenjak SBY mulai memimpin negeri ini, dan masyarakat di Tanah Papua seolah olah memperoleh ruang kebebasan yang begitu luas untuk berperan lebih banyak dalam mengakses pemerintahan.
Terasa singkat 10 tahun lamanya SBY memimpin negeri ini, dengan segala karunia dan berkat yang telah diterima oleh rakyat di Tanah Papua, karena wisdom kepemimpinan yang di tunjukkan oleh SBY dalam menjalankan mandat rakyat dengan kerja keras dan kesantunan yang menjadi “trendsetter” kepemimpinan SBY selama ini.